Untuk saat ini hatiku masih terbalut kesedihan akan kehilangan seorang bapak. Pria yang selalu ada untuk mendidikku telah pergi dari dunia. Aku tahu memang kehidupan dunia adalah kehidupan yang fana dan yang abadi adalah kehidupan di alam arwah bersama yang Maha Kuasa. Bagiku, bapakku adalah orang yang baik meskipun manusia tak luput dari kesalahan namun beliau selalu mengajariku untuk menjadi orang yang bijak, setidaknya itu yang selalu kuingat.
Enam bulan sudah bapakku meninggal dunia, keadaan ibuku tentu berubah total. Dulu, beliau semangat menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga walau lelah namun sekarang semangat itu berkurang banyak.
“Aku belum memasak, lha mau memasak untuk siapa?” kalimat itu terlontar dari bibir tipis ibuku. Jujur, hatiku tersayat dengan kalimat itu. Aku teringat akan pria tua yang melemah akibat kadar gula yang berlebih di dalam darahnya. Kenyataan itu memang harus aku terima karena Tuhan pasti telah menitipkan hikmah yang besar untuk kita.
“Kemarin kakakmu ke sini, ia bilang katanya bapakmu itu meninggal akibat diguna-guna orang” ucap ibuku saat aku datang berkunjung ke rumahnya. “Ibu, siapa yang membuat bapak sedemikian?” tanyaku “Entahlah nak, kakakmu hanya berbicara seperti itu. Saat ini kakakmu akan berpuasa setiap hari untuk mencari tahu siapa pembunuh bapakmu” ucap ibuku dengan raut muramnya. “Ibu.. bapak itu meninggal bukan karena guna-guna melainkan karena kadar gula dalam darahnya yang telah merusak seluruh organ tubuhnya. Ibu masih ingat saat kita membawa bapak ke rumah sakit sebelum bapak menghembuskan nafas terakhirnya?” tanyaku “Iya ibu ingat. Waktu itu nafas bapakmu tersenggal, beliau tak mampu berjalan. Ibu juga masih ingat bapakmu ke rumah sakit digotong oleh orang 3” ucap ibuku
“Berapa kadar gula dan tensi bapak bu?” tanyaku “Waktu itu tensinya 170/100 dan gulanya 527” jawab ibuku “Tuh… ibu ingat semuanya. Aku juga masih ingat waktu itu bapak tak lagi mengenaliku lalu mau guna-guna dari mana bu? Ibu jangan berfikir yang macam-macam, nanti ibu bisa sakit” ucapku “Iya tapi ekspresi kakakmu kemarin sangat serius aku takut kalau itu memang benar” jawab ibu “Sudahlah bu, zaman sudah millennial guna-guna sudah kalah sama whatsapp. Hehehe” ucapku menghibur. “Hahaha. Kau ini bisa saja menghiburku” ucap ibu
“Ibu, ibu sekarang tinggal di rumah hanya bersama kak Reno dan kak Reno pun baru pulang kerja pukul 17.00 sedangkan aku juga jarang kemari. Jadi, ibu harus bisa menjaga kesehatan ya, jangan berfikir yang macam-macam” ucapku “Iya, kau benar” jawab ibu
Hari hari telah berganti, tak terasa sudah 8 bulan kepergian bapakku. Aku masih sering teringat bapak, baik ketika aku mengajar anakku ataupun membetulkan mainan anakku. Terkadang, dalam kesendirianku, aku merindukan bapak. Rinduku padanya akan kusampaikan lewat do’a karena hanya itu saja yang bisa kulakukan sambil berharap semoga dengan do’aku bisa meringankan siksa kuburnya. Seusai kupanjatkan do’a untuk bapak, tiba-tiba ponselku berdering.
“Ibu. Ada apa dengannya?” gumamku, tanpa banyak kata kuangkat telfon darinya. “Apakah kau bisa mengunjungi ibu sekarang?” Tanya ibuku “Oh iya bu, sekarang aku masih kerja nanti seusai kerja aku akan mengunjungi ibu” ucapku “Iya. Usahakan hari ini bisa yak arena ibu mau bicara penting denganmu” ucap ibu “Baik bu” ucapku sambil menutup telfon ibu karena aku tak enak dengan bosku kalau menerima telfon saat jam kerja.
Seperti perintah ibu, kukunjungi beliau setelah jam kerja berakhir namun sebelum ke rumah ibu terlebih dahulu aku mengunjungi pusara bapakku. Pusara seorang pria yang selalu mendo’akanku menjadi pewaris barisan perempuan yang terpuji, itulah arti dari namaku. Salah satu kenangan yang diberikan bapakku. Setelah membaca do’a di atas pusaranya, aku pergi mengunjungi ibuku. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang janggal yang terjadi pada ibuku. Kejanggalan itu yang membuatku bergegas ke rumah ibu.
10 menit kemudian aku telah sampai ke rumah ibuku, kuparkir dulu sepeda motorku dengan benar kemudian aku masuk ke rumah ibuku. Sejak awal aku masuk rasanya rumah itu semakin suram, seperti ada penghuni baru maksudku penghuni halus alias jin.
Kedatanganku disambut hangat oleh ibu dan kak Reno. “Duduklah Sil, sekarang saatnya kita berunding” ucap kak Reno “Iya Kak, mau berunding apa ya?” tanyaku “Gini nak, bapakmu sudah 1 tahun meninggal dan sekarang saatnya kita membagi warisan” ucap ibuku tiba-tiba. “Ibu, kenapa tiba-tiba membaginya? Bukankah kemarin ibu tidak ingin membicarakan warisan dulu?” tanyaku bingung merasa ada yang ganjil. “Begini Nak, kemarin kak Eliya kemari dengan bijaknya ia membagi harta warisan bapakmu. Kak Eliya dapat rumah di pinggir jalan dan mobil sedangkan kak Reno dan ibu mendapat rumah ini” ucap ibu “Lha terus aku bu?” tanyaku “Kata kak Eliya kau tidak dapat apa-apa jadi ya sudah diamlah” ucap kak Reno “Loh kak, ya nggak bisa gitu. Aku kan juga anaknya bapak, kalau kalian dapat mengapa aku tidak dapat? Apa aku ini bukan anak bapak bu?” tanyaku “Kau memang anak bapakmu namun keputusan kak Eliya sudah bulat jadi kau harus menurutinya, lagipula dia adalah saudara tertua jadi kau harus menurut” ucap ibu “Ibu, saudara tua akan dituruti jika ia benar namun jika ia salah maka ia harus kita ingatkan. Aku tidak setuju bu” ucapku “Setuju atau tidak setuju sertifikat rumah dan mobil sudah ada di tangan kak Eliya” ucap kak Reno
“Kalian ini kenapa sih? Kok jadi aneh begini?” tanyaku bingung merasa ada keganjilan yang mencolok. “Ini sudah keputusan kak Eliya nak, kau harus ikut” ucap ibu “Baiklah bu, aku terima keputusan kak Eliya. Aku hanya ingin ibu mendo’akanku agar aku bisa menjadi anak, istri dan ibu yang baik. Dan aku ingin ibu mendo’akanku agar aku menjadi PNS” ucapku “Iya Amin, ibu sangat senang kalau kau jadi PNS” ucap ibu
Aku sangat kecewa dengan keputusan berat sebelah ini namun apalah dayaku sebagai anak, yang jelas sertifikat rumah yang ada di tepi jalan itu atas nama ibuku. Jadi, jika ingin dijual atau diubah nama harus ada tanda tanganku. Biarlah ia merebut dengan segala cara yang ia bisa namun Tuhan tak akan tinggal diam pikirku.
“Ibu, ini sudah sangat sore. Jadi, aku pulang dulu ya” ucapku menahan kecewa “Oh ya, sebelum pulang bawalah makanan ini” ucap ibuku sambil menyodorkan 3 kaleng cornet dan 3 bungkus nasi. Deg, ada apa ini? Kecurigaanku semakin bertambah dengan adanya makanan ini. “Berikan ini pada anak dan suamimu. Cornetnya enak lo kemarin aku makan dengan itu, rasanya sangat enak. Aku jadi lahap makan” ucap kak Reno “Cornet darimana ini bu?” tanyaku “Ini cornet dari kakakmu, kak Eliya. Kakakmu sekarang jualan frozen food juga kok. Alhamdulillah dagangannya semakin beragam, ibu sangat senang mendengarnya” ucap ibuku Ya Allah, apa mungkin kak Eliya membubuhi makanan ini dengan do’a-do’a jahat? Bukankah hal itu bisa membuat hidup kita semakin sengsara? Pikirku. “Iya bu, anakku pasti suka makan dengan cornet goreng” ucapku. Akupun segera pulang sambil dag dig dug membawa makanan itu.
Saat aku sampai di lampu merah, kulihat ada seorang pengamen yang tengah bernyanyi dengan suara sumbangnya. Aku jadi punya ide gila memberikan cornet itu ke pengamen. “Mas, ini ada cornet. Terimalah” ucapku sambil memberikan cornet itu padanya. Sang pengamen kaget dengan pemberianku karena cornet termasuk makanan mahal. “Terimakasih banyak mbak. Semoga mbaknya diberikan kelapangan Rejeki dan apapun cita-cita mbaknya semoga terlaksana. Amin” ucap pengamen itu sebelum lampu hijau menyala. akupun meng amini do’a si pengamen sebelum berlalu pergi meninggalkannya.
30 menit kemudian aku sampai rumah dengan selamat. Aku masih terngiang-ngiang kalimat kak Reno, kau tak dapat apa-apa, sertifikat rumah dan mobil sudah ada di tangan kak Eliya ditambah lagi kalimat ibuku kak Eliya adalah kakak tertuamu jadi apapun keputusannya kau harus ikut. Apakah kebijaksanaan ibuku telah dilunturkan makanan itu? Ah.. sudahlah yang penting aku tidak boleh dendam pada keluargaku dan jika mendapat makanan dari mereka harus segera kuberikan pada orang lain.
Benar saja, semenjak saat itu ibuku jadi sering mendapat kiriman makanan dari kakakku. Ya, namanya saja ibu ketika ia mendapat makanan pasti ia aka teringat anak-anaknya dan itu juga terjadi pada ibuku. Setiap kali kakakku memberi makanan, aku selalu diberi sedikit oleh ibu bahkan terkadang kakakku juga memberikan khusus untukku namun dititipkan ke ibu. Aku semakin curiga dengan tabiat kakakku. Bagaiman tidak? Ia meminta bagian rumah dan mobil namun rumah itu tak kunjung ditempatinya sedangkan ia terus saja memberi makanan pada ibuku dan anehnya setiap kali ibuku memakan makanan kiriman kakakku, beliau semakin menurut dengan apa yang dikatakan kakakku.
“Berikan ini pada suamimu ya, yang ini harus kau berikan pada suamimu” ucap ibuku sambil memberikan sebungkus kue kering padaku. Kue itu kuterima saja namun tak akan dimakan oleh keluarga kecilku karena pasti akan kuberikan ke pengamen di lampu merah ataupun pengemis jalanan. “Ibu, maafkan anakmu ini. Aku hanya tidak ingin keluargaku diganggu oleh hal-hal gaib” pikirku
Rumah di tepi jalan itu, tak kunjung ditempati kakakku namun kiriman makanan itu terus saja diberikan kakakku lewat ibuku dan akupun juga terus memberikan makanan itu ke orang lain. Puncak keserakahan kakakku terjadi di sepertiga malam.
Malam itu adalah malam jum’at, seperti biasa aku bangun pukul 02.15 dini hari untuk makan sahur dan lanjut sholat tahajud. Seusai sholat tahajud, aku membaca Al-Qur’an sebisaku dan tentu saja aku juga sudah berdo’a untuk bapakku. Aku tahu di waktu sepertiga malam, adalah salah satu waktu yang mujarab untuk berdo’a karena malaikat tengah turun untuk meng aminkan do’a manusia. Saat itu, aku merasa ada orang di luar rumahku namun orang itu tiba-tiba lari, menghilang pergi. Aku sangat takut melihat kejadian itu, dengan segera kulanjutkan membaca Al-Qur’an supaya keluargaku selalu aman.
Matahari telah memunculkan diri, seperti biasa aku melakukan tugas sebagai ibu rumah tangga sebelum aku bekerja freeline. Saat aku tengah ayik mencuci piring, ponselku berbunyi. “Mama, nenek telpon” ucap anakku sambil memberikan ponsel padaku “Oh iya, mana ponselnya” ucapku sambil mengulurkan tangan “Iya bu, ibu masak apa hari ini?” tanyaku “Gawat nak.. gawat” ucap ibuku tergopoh “Apa yang gawat bu?!” tanyaku sontak kaget “Sertifikat rumah yang di tepi jalan itu hilang” ucap ibuku dengan tergopohnya “Ibu, ibu pasti lupa menaruhnya” ucapku “Enggak. Ibu nggak lupa kok. Sertifikat itu, ibu taruh di dalam almari” ucap ibu “Ya sudah, kalau begitu nanti saya ke situ. Kita cari sama-sama ya bu” ucapku
Akupun pergi ke rumah ibu, kulihat ibuku tengah bingung akibat sertifikat itu. Dicari-carinya sertifikat itu kemana-mana namun tetap saja tidak ada. Ibu juga sudah mengeluarkan seisi lemari namun juga hasilnya tetap sama.
“Ibu, coba ibu ingat-ingat lagi dimana ibu menaruhnya” ucapku. Kemudian ibuku berpikir keras mengingat kejadian-kejadian sebelum sertifikat itu hilang. “Waktu itu ibu habis makan lobster goreng dari kak Eliya kemudian ibu memberikan sertifikat itu ke kak Eliya” ucap ibuku “Berarti ya ada di kak Elya bu. Lagipula ibu kan sudah memberikan rumah beserta mobil ke kak Elya” ucapku “Kapan ibu memberikannya? Ibu tidak pernah membagi warisan” ucap ibu “Loh, yang ibu telpon saya pagi-pagi. Waktu itu ibu nyuruh saya ke sini untuk membicarakan pembagian warisan. Ibu bilang kalau kak Elya dapat rumah di tepi jalan dan mobil sedangkan kak Reno dapat rumah ini” jelasku “Lha terus kamu dpaat apa?” Tanya ibuku “Nggak dapat apa-apa” ucapku “Hei! Kau ini kan juga anak bapakmu, mana mungkin aku membagi berat sebelah begitu” ucap ibuku. Dalam hati aku sangat senang karena ibuku telah terbebas dari guna-guna.
“Sekarang ibu tenang dulu, kita ambil sertifikat itu ke rumah kak Elya ya” ucapku namun belum sempat ibu mengiyakan ajakanku terdengar orang berteriak. “Bu! Bu..! bu..! Aku mengembalikan sertifikat rumah dan mobil!” teriaknya. Akupun dan ibu berlari menemui suara itu dan benar dugaanku ternyata itu adalah suara kak Elya dan suaminya. Ia datang ke rumah membawa sertifikat dan mengembalikan mobil.
“Hei Sisil! Kau ada di sini? Kau ini kemarin mau kusintingin tapi nggak bisa akhirnya jinnya kembali pada kita. Horee!” ucap kak Elya.
Aku tersentak kaget dengan pengakuaannya. Mau kusintingin? Jinnya kembali padaku? Berarti yang kemarin datang ke halaman rumahku adalah jin yang bertugas menyintingkanku? Ya Allah kak, jahat nian tabiatmu. Bukankah kita ini saudara sekandung yang seharusnya saling menguatkan bukan menghancurkan? Setan apa yang telah merasuki otakmu? Pikirku
“Ya sudah dik, ayo kita berkelana! Kita mau ada pertemuan besar bu” ucap kakak iparku sambil meyodorkan sertifikat beserta kunci mobilnya. “Ya Allah, jadi kalian selama ini bersekutu dengan jin? Maafkan ibu nak, ibu tidak mau bertemu dengan kalian” ucap ibuku menahan tangis “Ya itu terserah ibu. Habis ibu sih, nggak mau memberikan semua hartanya padaku padahal aku kan anak pertama jadi aku lebih berhak daripada yang lainnya. Hahaha” ucap kakakku sambil berlalu meninggalkan kami.
Kejadian itu selalu mengingatkanku untuk tetap sholat 5 waktu dan juga sholat tahajud. Sudah 1 bulan kejadian itu berlalu, dan betapa bahagianya aku, aku diterima menjadi PNS di sebuah instansi. Dan yang paling membuatku bahagia adalah meskipun aku sudah menjadi PNS namun aku masih bisa merawat anakku dan terlebih lagi aku masih bisa memberikan secuil gajiku untuk ibuku. Terimakasih ya Rab, karena kau telah mengabulkan do’aku. Semoga aku selalu bisa menjadi orang yang istiqomah. Amin
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho