Hu.. hu.. hu.. hu.. hu.. hu Suara itu selalu menemaniku setiap malam, kucari-cari namun tak bertemu jua bahkan terkadang berpindah-pindah. Kadang di depan rumah, di samping dan terkadang di kamar mandi. Siapakah dia? Kulihat-lihat semua tetanggaku tidak memiliki anak kecil, kalaupun punya anak mereka telah tertidur lelap di jam 12 malam dan anehnya lagi, jika kudengarkan lebih lama lagi suara itu sangat menyesakkan seperti ada suatu ganjalan yang ingin diucapkan.
Aku memang baru 2 bulan ini pindah kontrakan, dulu aku kontrak di dekat kampus namun di sana sangat ramai jadi aku susah berkonsentrasi membuat sebuah karangan. Maka dari itu, aku pindah ke kontrakan yang agak jauh sedikit dari kampus supaya bisa menulis dengan nikmatnya. Rumah kontrakanku tidaklah terletak di sebuah pedesaan terpencil namun di desa yang sudah maju, dekat dengan kantor polisi, sekolah ataupun minimarket dan kalau aku sedang malas memasak ada banyak pedagang makan yang berjualan, setiap pagipun juga ada pedagang sayur keliling yang lewat di depan gang hanya saja gangku yang agak sepi. Dari ujung gang ke rumahku hanya ada 3 rumah, itupun dengan jarak yang lumayan. Di sebelah kiri rumahku adalah pemilik kontrakanku sedangkan di samping kananku adalah reruntuhan rumah. Katanya, dulu itu rumah sudah tua namun sudah rusak berat sehingga perlu banyak renovasi. Yah, aku sih tenang-tenang saja tanpa ada rasa curiga sedikitpun bagiku yang penting ada tempat untukku menulis.
Namun, seiring berjalannya waktu dan seringnya aku mendengar tangisan, aku jadi penasaran siapakah anak yang menangis itu? Pagi itu seperti biasa aku berbelanja di tukang sayur keliling yang lewat di depan gang. Akupun menyapa para tetanggaku dengan seebuah senyuman manis.
“Mbak, kalau boleh tahu mbak ini yang kontrak di gang depan ya?” “Iya bu. Saya baru 2 bulan ini pindah ke sini” “Ooo tinggal di sana sama siapa?” “Sendirian bu, saya masih belum menikah. Kedua orangtua saya ada di Medan dan kakak-kakak saya juga ada di luar kota Batu namun masih di pulau Jawa” “Kakaknya ada di kota mana Mbak?” “Yang satu ada di Banyuwangi kalau yang nomor 2 ada di Bandung bu” “Ooo mbaknya kok berani tinggal di sana sendirian?” “Lah, memangnya kenapa bu?” “Mbak nggak sering dengar ada anak kecil nangis?” “Kalau itu sih tiap malam bu, memangnya anaknya siapa ya bu yang jam 12 malam belum tidur?” “Aduh mbak ceritanya panjang” “Memangnya ada apa bu?” “Wah kalau ngobrol di sini nggak enak mbak, mending mbaknya ke rumah saya saja tak kasih tahu” “Oh iya bu”
Seusai memilih sayur yang ingin aku masak, akupun pergi ke rumah tetanggaku itu, beliau bernama bu Sum. Rumahnya tak jauh dari gangku, hanya menyeberang sedikit kemudian ada tukang las dan rumah Bu Sum di samping tukang la situ.
“Silahkan duduk mbak” “Terima kasih bu” “Saya buatkan teh hangat dulu ya”
Beberapa menit kemudian bu Sum keluar dengan membawa segelas the hangat dan cemilannya kripik singkong. “Silahkan mbak” “Iya bu, terimakasih” “Mbak, kalau boleh tahu mbak ini namanya siapa dan kerja apa?” “Nama saya Rina bu, saya seorang penulis. Saya itu lebih mudah menulis jika berada di tempat yang sepi, mangkanya saya ngontrak di sini cari yang sepi tapi ya nggak sepi-sepi amat sih bu” “Gini lo mbak, saya itu bukan bermaksud menakut-nakuti mbak Rina namun mbak Rina harus tahu siapa yang menangis setiap malam” “Iya bu katakan saja, siapa tahu bisa ngasih saya inspirasi menulis”
“Jadi gini lo mbak Rina, dulu rumah itu adalah rumah seperti rumah-rumah pada umumnya. Pemilik rumah itu adalah bu Siti, bu Siti adalah janda kaya jadi untuk menambah penghasilannya rumah itu di kontrakkan. Suatu ketika, rumah itu dikontrak oleh sepasang suami istri yang beranak 6. Setiap harinya sang istri sering marah-marah pada anaknya” “Kenapa bu?” “Ya pusing mbak, mengasuh 6 orang anak. Yang satu dibilangin yang satu cari gara-gara. Kadang yang satu udah cantik dan bersih, eh.. yang satu nyipratin pakai lumpur jadi kotor lagi kan. Nah, melihat itu ibu mana yang nggak uring-uringan mbak capek banget” “Ooo gitu ya bu, kemudian gimana bu?” “Kemudian saya masih ingaaat betul, waktu itu bulan puasa, sepasang suami istri itu mengadakan buka bersama dengan kawan-kawannya. Entah mereka memperoleh omongan apa sehingga mereka tambah semakin galak kepada anak-anaknya terutama yang nomor 1, 2, 3, 4. Setiap hari mereka dimarahi, dibentak-bentak padahal hanya melakukan kesalahan kecil, hingga suatu malam saya mendengar sebuah teriakan tolong”
“Tolong.. tolong.. tolong!” “Ada apa mbak In? kok teriak teriak? Itu rumah bu Siti kebakaran!” “Ha? Ya Allah! Tolong tolong.. tolong..”
Dan kerumunan wargapun segera datang untuk memadamkan api namun api sudah terlanjur besar seatap melalap separuh dari rumah itu. Di sana saya tidak bisa berbuat apa saja hanya lemas melihat keempat anak pasangan suami istri itu hangus terbakar. Kepala mereka tak lagi berambut api dengan sigap pak RT menelfon pemadam kebakaran, secepat kilat pemadam kebakaran datang memadamkan kobaran api namun nyawa ke empat anak itu tetap tak terselamtkan. Dan pada saat api telah padam, saya tambah lebih mules lagi. Anak-anak itu diambil dari TKP, ada yang punggungnya nempel di jendela, ada yang badanya nempel di spring bed dan yang paling besar sujud mbak sehingga pas diambil dia nggak punya wajah”
“Hiihh kok ngeri sekali bu? La pada waktu kejadian itu bapak dan ibunya kemana? Kok sampai nggak tahu ada api besar?” “Itulah yang aneh mbak, mereka tidur pulas dan si bapaknya itu bangunnya setelah ada tetangganya menyiram. Kan aneh ya mbak?” “Iya sih bu, harusnya kan si bapak mencium aroma menyengat asap” “Nah, itu mbak yang jadi pertanyaan sampai sekarang dan yang paling membuat kita penasaran pada saat keempat anak itu diambil, si bapak dengan tenangnya bisa menyebut mayat anaknya padahal pak RT yang ngrekam video masih mules sampai sekarang” “Lalu?”
“Tujuh hari setelah kematian keempat anak itu, saya bersama jama’ah tahlil ke panti asuhan dimana ia tinggal sementara namun ibunya sudah biasa seperti tidak ada masalah yang melanda” “Kok tinggal di panti asuhan bu? Memangnya sepasang suami istri itu kerja apa?” “Kalau ditanya mereka bilangnya kerja di panti asuhan mbak” “Loh, terus yang ngasih info ke panti asuhan kalau ada kebakaran di situ siapa bu?” “Ya bapaknya bocah yang kebakaran itu?” “Heh? Anaknya gosong bapaknya masih ingat telfon?” “Iya mbak. Aneh kan? Kalau saya jadi kedua orangtua mereka mungkin sudah gila. Kan ya nggak ada mbak kebakaran sejanggal itu, mana langsung 4 lagi”
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho