“Bu, yang 2 anak kok bisa selamat?” “Kan gini lo mbak, anaknya yang nomor 1 sampai 4 itu tidur di kamar sendiri dan yang nomor 5 dan 6 tidur sama kedua orangtuanya” “Ngomong-ngomong kamar mereka letaknya dimana bu?” “Nanti kalau pas dari sini mbak lihat reruntuhan ruangan di sebelah utara, itulah kamar mereka sedangkan yang di timur itu adalah kamar kedua orangtuanya” “Terus penyebab kebakaran itu apa bu?” “Sampai saat ini tidak ada yang tahu mbak bahkan polisipun juga angkat tangan namun bapaknya anak yang kebakaran itu menolak anaknya diautopsi”
“Oh iya bu hampir kelupaan, keempat anak itu usia berapa saja bu?” “Waktu itu mereka berumur 10, 9, 8 dan 6 tahun” “Loh bu, bukannya usia segitu kan anak sudah bisa lari? Kenapa kok tidak lari? Apa mereka terkunci?” “Nggak mbak, sebenarnya jendela kamar mereka itu langsung ke halaman rumah jadi kalau mereka mau lompat pasti langsung ke halaman rumah” “Kok aneh ya bu? Daripada duduk manis nempel di jendela kan mending lompat keluar jendela” “Nah itu kalau pikiran kita mbak tapi mereka sepertinya kebalikan dari kita”
“Lalu, kedua orangtua anak-anak itu tinggal dimana bu sekarang?” “Saya dengar mereka tinggal di kampung sebelah mbak di rumah mereka yang baru” “Dapat uang dari mana bu?” “Ya banyak sumber mbak, dari orang yang lalu lalang di jalanan depan, yayasannya suami istri itu kemudian yayasannya anak-anak itu” “Ooo banyak juga ya bu dapatnya”
Keterangan-keterangan dari bu Sum membuat tanganku gatal untuk segera membuka laptop dan mulai menulis. Akupun segera memasak dan sarapan walaupun hari itu sarapan pagiku jam 11 siang. Baiklah Rin sarapan sekaligus makan siang tak masalah yang penting aku ada bahan untuk menulis biar bisa jadi duit.
Segera setelah sarapan kubuka laptopku, kutulis semua keterangan dari Bu Sum serinci mungkin dan kutambahi sedikit bumbu penyedap membaca. Tak terasa kali ini durasiku menulis cukup lama hingga adzan ashar berkumandang. Akupun mengakhiri tulisanku waktu itu dengan tanda Tanya, dalam benakku masih belum jelas bagaimana bisa keempat anak itu terbakar tanpa ada penyebab dan kedua orangtuanya bisa santai-santai saja. Pertanyaan itu masih mendiami pikiranku hingga malam hari namun aku mendapatkan jawabannya lewat mimpiku semalam.
Malam itu aku tidur pukul 9 malam, entah mengapa kali ini mataku tak sanggup terjaga seperti biasanya. Akupun segera ambil air wudhu kemudian pergi tidur dan dalam mimpiku aku didatangi oleh bocah laki-laki kira-kira usianya 6 tahun. Bocah itu menarik-narik tanganku, ia mengajakku ke sebuah rumah besar, kira-kira rumah itu kalau dijadikan dua rumah masih bisa. Di sana kulihat dengan jelas ada seorang ayah dan ibu sedang berbicara dengan ke enam anaknya. Anak perempuannya ada 5 sedangkan yang laki-laki ada 1, wajahnya mirip sekali dengan bocah yang menggandengku.
“Kuharap kalian mengerti ayah dan ibumu sudah tidak sanggup mendengar hinaan-hinaan itu” ucap si ibu “Tapi bu, kami berjanji akan berubah tidak nakal lagi dan tidak berteriak-teriak lagi” ucap si anak perempuan berambut lurus “Sudah terlambat nak, mereka sudah terlanjur menjulukimu sebagai anak yang terlantar dan amoral” ucap si ayah “Amoral? Apa itu yah?” Tanya si anak laki-laki itu “Amoral itu ya tidak punya aturan. Jujur, ayah dan ibu sudah tidak sanggup lagi kalau harus mendengar hinaan, sindiriran bahkan cibiran dari mereka. Ayah dan ibu hanya ingin kita hidup bahagia” ucap si Ayah “Bagaimana caranya hidup bahagia ayah?” “Dengan ini” ucap si ayah sambil menyodorkan beberapa buah pil “Ini obat apa ayah” ucap si sulung “Ini adalah obat pelupa rasa sakit, minumlah nak sebelum tidur. Ingatlah apapun yang terjadi ayah dan ibu tetap mencintai kalian karena sejatinya tidak ada orangtua di dunia ini yang ingin anaknya celaka” ucap si ayah sambil berkaca-kaca matanya “Baiklah ayah” ucap si anak satu persatu mengambil obat itu dari genggaman tangan ayahnya Merekapun meminum obat itu dan ibunya telah mengambilkan 4 gelas air putih untuk keempat orang anaknya.
Seusai minum, keempat anak itu mendapat pelukan dari ayah dan ibunya. Aneh, dalam pelukan itu kedua orangtua mereka menangis sejadi-jadinya terutama sang ayah. “Pergilah tidur anakku, ayah antar ke kamar kalian ya” ucap sang Ayah pada keempat ayahnya. Keempat anak itu diantar ayahnya ke kamar sedangkan sang ibu menidurkan anaknya yang ke 5 dan 6. Setelah mengantar keempat anaknya, sang ayah masuk ke kamar menemui istrinya.
“Kau sudah menidurkan mereka semua Yah?” Tanya sang ibu berlinang air mata “Sudah bu” ucap sang ayah singkat
10 menit kemudian, sang ayah dan sang ibu melihat ke kamar ke empat anaknya. Dilihatnya keempat buah hatinya yang masih polos tak berdosa itu, wajah imutnya yang masih lugu belum tergores guratan dosa sedikitpun. “Ayo bu, kita harus segera menata mereka” ucap sang Ayah “Aku takut Yah, aku kasihan melihat mereka. Bagaimanapun juga mereka adalah anak kita yah” ucap sang ibu “Aku tahu bu tapi mau bagaimana lagi? Apa ibu mau mereka disindir-sindir terus dan dicibir di setiap langkah kaki mereka? Belum lagi si Wati yang sangat jijik melihat anak dan rumah kita dan ia selalu bilang kalau anak kita ini aanak dari kampung kumuh” ucap si ayah “Iya” ucap sang ibu singkat kemudian mereka menata posisi keempat anaknya, 2 orang duduk bersandar di jendela, yang satu dibiarkan berbaring di atas ranjang dan yang paling besar ditata dalam posisi sujud.
“Ayo kita pergi ke kamar sebelah timur pura-pura tidur lelap! Sebentar lagi mereka akan terbakar” ucap sang ayah sambil menarik tangan sang ibu
Benar apa yang dikata sang ayah, perlahan-lahan tubuh keempat anak itu mengeluarkan panas, namun mereka masih sanggup bergesek sedikit kemudian gesekan itu berubah menjadi percikan-percikan kecil, asap yang berapi menyahut tumpukan-tumpukan pakaian mereka dan jadilah api yang berkobar melalap separuh rumah itu. Kemudian kulihat sang ibu keluar dari kamarnya, ia berusaha memadamkan api dengan melemparkan kain namun usahanya menambah kobaran api. Namun, firasat sang ibu begitu tajam ia tahu ada dua buah mata yang mengetahuinya. Cepat-cepat sang ibu keluar dari rumah meminta tolong dan orang yang mengetahuinya itu adalah bu Iin yang dengan segera berteriak-teriak meminta tolong di halaman rumahnya. Teriakan itu memang mengundang langkah kaki para wrga untuk memadamkan api namun langkah api jauh lebih cepat dibandingkan dengan langkah para warga. Rumah itu hangus beserta keempat anak itu.
“Jadi, ini penyebab kepergian kalian?” tanyaku pada bocah yang masih menggandeng tanganku. Bocah itu hanya terdiam mengangguk. Bocah itu sepertinya sangat sedih karena ia masih ingin hidup seperti kawan-kawannya di sekolah
“Aku mengerti sekarang, aku akan menulis kisah ini hingga usai. Terimakasih karena kau telah membantuku. Aku akan memberi kau dan kakak-kakakmu hadiah al-fatihah” ucapku pada bocah malang itu dan bocah itu hanya mengangguk padaku kemudian aku membaca al-fatihah untuk mereka dan bocah itu melepaskan gandengan tangannya.
Akupun terjaga dari mimpiku. Kulihat jam menunjukkan pukul 03.00, akupun segera ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan sholat malam. Seusai sholat malam, kutepati janjiku pada keempat bocah itu, kukirimkan al-fatihah untuk mereka. Pukul 04.00 adzan subuh berkumandang, segera kutunaikan sholat subuh dan kemudian kuselesaikan karyaku, kutulis semua informasi yang kudapatkan dari bocah itu. Semoga kalian tenang di sana sayang, Al-Fatihah..
Cerpen Karangan: Hamida Rustiana Sofiati Facebook: facebook.com/zakia.arlho