“Sesungguhnya… aku tidak terlalu mengingatnya…” Akhirnya, salah seorang di ruangan ini membuka mulutnya. Tapi, dia tetap tidak ingin mengatakan yang sejujurnya. “Katakan!” “Aku.. aku tidak ingat! Aku terbius!” Berkali-kali sudah dia bilang itu.
Pria tinggi dengan jas biru terang yang mencolok itu mulai berdiri dengan sempoyongan sambil memegang kepalanya. Ia berjalan ke meja kayu panjang dengan para manusia yang sedang tidak sadar diatasnya. Dia mengambil segelas air. Ruangan ini, tidak seperti ruangan untuk bersenang-senang lagi. Ruangan besar dengan ornamen klasik khas kerajaan masa pertengahn ini mulai diisi dengan aroma obat-obatan dan juga bau amis.
“Jadi, apa yang kalian lakukan kemarin malam?” Lio terus menerus bertanya kepada satu-satunya orang yang sadar di ruangan ini, meskipun tidak terlalu waras. Jawabannya selalu sama dan tidak memuaskan kami yang sudah berada disini selama tiga jam terakhir. Dan, sepertinya Lio mulai kehabisan kesabarannya, ia menggebrak meja dan menanyakan pertanyaan yang sudah ia ingin sampaikan dari tadi. “Siapa diantara kalian yang sudah meracuni Iona?”
Lio mengajakku keluar dan menghirup udara segar. Dia mendongakkan kepalanya keatas dan menghembuskan napasnya kasar lewat mulutnya. Kemudian, dia meluruskan kembali tatapannya dan berbicara dengan lemah, “Apakah kita harus berbicara dengan orang mati, Klis?”. Aku hanya mengangkat bahu dan meneguk soda yang kupegang daritadi. “Boleh aku minta sodanya?” tanyanya dengan nada pasrah. Sepertinya, dia sudah kehabisan akal. Dia mengambil soda milikku dan meneguknya kencang. “Jangan dihabiskan!” pintaku sambil melihatnya tidak percaya. Dia meneguk habis sodanya sampai botolnya ia tegakkan diatas wajahnya. “Maaf, aku haus.” jawabnya datar. Aku tidak percaya dia menghabiskan soda terakhirku. Dia harus mentraktirku soda sehabis ini.
“Baiklah. Sampai dimana tadi?” Lio masih duduk di tangga dengan polesan cat mahal ini sejak tiga puluh menit yang lalu dengan tangannya yang dikepal diatas kedua pahanya yang agak terbuka. Aku terpaksa duduk disampingnya dengan napas yang berat. Dan, dia masih diam. “Menurutmu, dia berperan sebagai apa pada malam reuni kemarin?” tanyanya tiba-tiba sambil menatap tajam orang yang sedang berjalan sempoyongan daritadi dan terus mengelilingi ruangan itu beberapa kali. “Entah. Mungkin teman pengganggu tetapi setia. Atau mungkin, dia anak baik yang terjebak dalam reuni ini dan menjadi anak yang menyebalkan.” jawabku asal saja karena melihat pakaiannya yang rapi. Lio menggeleng, “Menurutku tidak. Mungkin dia adalah anak baik yang pura-pura tidak peduli dengan lingkungan teman-temannya, tetapi ia kadang suka menjadi penganggu dan menjadi sangat menyebalkan disaat-saat ia bosan. Tetapi, sebenarnya dia adalah teman yang setia. Mungkin, karena itu dia berpakaian rapi tetapi warnanya agak mencolok.” Aku masih berpikir kalau itu hanya jawabanku yang ia susun kembali dengan rapi, dan itu membuatku kesal. Tetapi, aku kagum dengan perputaran kata-katanya.
“Apa hubungannya dengan warna mencolok?” “Mungkin saja dia ingin menjadi pribadi yang baru dari dirinya beberapa tahun yang lalu dan mungkin juga dia ingin mencari perhatian kepada anak perempuan yang dulu ia sukai. Tapi, kupikir, dia tidak menjadi dirinya sendiri. Kupikir, dia mungkin ingin memberikan kesan baru untuk teman-temannya setelah beberapa tahun terakhir.” “Jadi, dia hanya mencari perhatian untuk mendekati anak perempuan yang sudah lama ia sukai?” “Ya, benar. Dan, itu adalah Iona.” “Apa?!” “Ya. Lihat! Dia terus berjalan-jalan memutari ruangan ini. Pastinya dia depresi.”
“Apa kau berpikiran kalau dia yang meracuni Iona?” “Tidak, Kawan. Kita tidak boleh langsung menyimpulkan. Kita bahkan belum menyelidikinya. Tapi, kupikir pertemanan tidak semulus yang kukira. Pasti ada seseorang yang membenci Iona.” “Betul juga.”
Tiba-tiba saja kawanku yang satu ini berdiri. Dia menepuk-nepuk jasnya dan berjalan kearah pria sempoyongan itu. Dan, dia menepuknya keras sampai pria itu terkejut sambil berkata, “Iona.” Apa yang Lio lakukan sebenarnya? Tiba-tiba saja, pria itu merubah ekspresi wajahnya dari hanya datar menjadi super sedih. Dia menangis sampai lututnya terjatuh ke lantai. Dia menutup wajahnya dan meneriaki nama Iona.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku sangat bingung dan hampir tidak mengerti jalan pikiran Lio. “Aku hanya ingin melihat reaksinya. Mungkin, kita bisa bertanya.” Pria itu terduduk lemas dengan pundaknya menurun. Wajahnya sangat menyedihkan. Kalau benar apa yang diceritakan Lio, pastilah dia sangat patah hati.
Lio duduk bersila didepannya. Ia menepuk pundaknya seolah-olah ia sedang menghipnotisnya. Aku hanya duduk disebelahnya dan melihat apa yang ia akan lakukan selanjutnya. Kau tidak pernah tahu. “Hei.” ucapnya lembut seperti sedang menyapa hewan peliharannya. Dia hanya melihat matanya dengan tatapan kosong. “Namamu Wern, kan?” Dia hanya mengangguk. “Kau bisa menjawab pertanyaanku?” Dari pertanyaan itulah ceritanya dimulai dengan sangat panjang-lebar. Aku bahkan sampai mengantuk mendengarnya. Kuakui, Lio sangat hebat.
Kurasakan tubuhku sedang diguncang. Aku membuka mataku perlahan dan melihat Wern melihatku dengan tatapan kosong tapi tajam. Membuatku merinding saja. “Ada apa? Sudah selesai?” “Ya. Kau tidur?” Aku mengangguk. “Ya.” dan menjawab tanpa rasa bersalah.
Lio mengajakku keluar lagi dari ruangan itu dan mengobrol di taman dekat air pancur. Hari sudah mulai gelap dan ini masih belum selesai. Saat duduk di kursi, aku menguap dan dia hanya melihatku heran. “Ada apa?” “Aku tidak percaya kau tidur tadi.” “Percayalah.” “Baiklah. Akan kuceritakan secara singkat.” “Oke.”
Aku mulai mendengarkan Lio dengan seksama dan kadang menunjukkan ekspresi berlebihan. Lio sangat menjiwai cerita yang sedang ia ceritakan, sampai-sampai aku tidak mengerti apa intinya. Tapi, dia menangis di ujung cerita. “Kenapa kau menangis?” “Tidak… tidak. Hanya terbawa suasana.”
Lio mengajakku kembali ke dalam ruangan itu dengan Wern yang sudah hampir sadar dan duduk diantara manusia-manusia tidak bernyawa itu. Dia memasang wajah tanpa ekspresi dan tidak bermakna itu, aku jadi merinding lagi. Dan, Lio bertanya kepadaku. “Jadi, apa menurutmu tentang cerita yang baru saja kuceritakan? Apa kesimpulannya?” “Menurutku ini adalah pembunuhan berencana yang disusun oleh teman-teman Iona, termasuk Wern.” jawabku lugas dan menatap tajam kearah Wern, “Dan kau! Teganya kau.” aku menggelengkan kepalaku dan berjalan mendekat kearahnya. “Kenapa kau meracuni Iona?” kupikir aku saja yang akan bertanya kepada Wern tentang ini, tapi Lio berpikiran hal yang sama. “Jawab Wern!” teriakku. “Tidak, Klis. Kau jawab.” Aku membalikkan badanku dengan cepat, “Apa? Lio, apa maksudmu?” “Aku tahu kau mengenal Iona selama ini, Klis. Jadi, jelaskan kenapa kau tertidur saat Wern bercerita tadi?” “Aku bosan, Lio! Itu cerita panjang.” “Tidak, Klis. Kau adalah pendengar yang baik. Kau mendengar seluruh cerita yang kubuat dan itu lebih lama dari cerita Wern.” “Aku tertidur cukup lama, Lio. Mungkin dua puluh menit.” “Dan kau tidak tertidur saat aku bercerita kepadamu selama tiga puluh menit, Klis. Jelaskan saja, Klis! Cukup sudah kau berbohong. Aku tahu kau menghadiri reuni ini kemarin malam.” “Lio, kau sudah hilang akal!”
Lio berjalan mendekat kepadaku dan mencekikku, “Katakan yang sejujurnya, Klis!” “Bu..bukan… aku!” Dia melepaskan cekikkannya yang kencang itu dan berjalan ke meja panjang dan berdiri didepan Wern, “Mungkin kau bisa menjelaskannya, Wern.” “Sesungguhnya… aku tidak terlalu mengingatnya…” “Katakan!” “Aku.. aku tidak ingat! Aku terbius!” Wern berteriak mencoba melindungi dirinya sendiri dan Lio mulai melihatku lagi dengan tatapan tajam.
“Di ruangan ini hanya kau yang seorang dokter, Klis. Dan, kau tahu ini adalah bau obat-obatan yang sering kau pakai untuk membius pasien-pasienmu itu. Tetapi, kau menggunakannya berlebihan sampai mereka semua mati dan hanya menyisakan Wern sebagai ‘tersangka’ agar dia bisa dituduh. Aku ini seorang detektif, Klis. Jangan main-main. Sebelum kau datang kemari tadi pagi, aku sudah menyelidikinya dan aku tahu ini perbuatan kau.
Kemarin sore, kau pergi dari rumah sakit tanpa melihatku dan memakai pakaian yang sama dengan yang Wern pakai. Kau tahu, Wern sudah menyukai Iona sejak lama, begitu juga kau. Jadi, kau menuangkan obat bius itu dengan dosis berlebihan di panci minuman mereka, kecuali milik Wern. Kau memberikannya sendiri kepada Wern dengan sedikit obat bius di dalamnya. Saat mereka semua tidak sadarkan diri, kau menukar pakaian kau dengan pakaian Wern yang saat ini sedang ia pakai. Kau tahu, kau akan dipanggil ke kasus ini bersamaku hari ini, jadi kau bersikap ‘tidak bersalah’. Aku melihat kerutan di keningmu saat kau sedang ‘tertidur’ saat Wern bercerita kepadaku; kau mendengarnya.” “Omong kosong macam apa ini?!” “Aku tahu kau meminum soda itu untuk menenangkan dirimu. Aku tahu kau selalu mengepal tanganmu saat kau sedang terdesak. Aku tahu kau mencoba untuk tidur agar kau bisa tenang. Tapi, itu gagal karena kau mendengarnya.” Aku mengangguk mendengar omongan Lio yang… hampir semuanya benar itu.
“Tapi, kau tahu?” aku berjalan mendekatnya, “Apa kau lupa, Wern dan kau sudah meminum air disini.” Lio mengerutkan keningnya. “Ya, soda itu membuatku tenang. Tapi, kau menghabiskan sisanya dan aku sengaja menyisakannya untukmu, karena kau mudah haus. Dan Wern, aku tahu kau juga pasti akan minum air itu, karena tenggorokanmu sangat kering. Mungkin sebentar lagi kalian akan duduk diantara mereka…” aku menarik kursi disamping Lio, “..duduklah Lio. Mukamu sudah pucat dan oh! Rupanya Wern sudah ‘duduk’ disini. Aku akan menunggumu, Kawan.”
Meja itu sudah lengkap sekarang, Lio dan Wern. Dan juga Iona. Orang terdekatku yang sudah menkhianatiku, aku musnahkan. Dan, ‘teman-teman’… tidak, kupikir bukan. Mereka bukan orang terdekatku, jadi aku biarkan mereka memulainya duluan. Dan Lio, kawanku, sayang kau menyelidiki kasus ini saat kau sudah tahu jawabannya. Tenang saja. Mungkin polisi sedang kemari dan aku tidak akan menyia-siakan ini. Botol kaca ini masih di tanganku dan Lio sudah ‘duduk’.
Sebaiknya, pecahan botol ini aku letakkan di tangan kawanku, membantunya untuk ‘membunuhku’ dan polisi akan mengira dialah dalang dari semua ini. Tenang saja, semua sidik jari atas nama Lio. Jadi… Aku tidak bersalah dan bisa mati dengan tenang.
Cerpen Karangan: Windy Arista Blog: bulukucing12.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com