Pandanganku buram, tak sangup bernafas, tubuhku seolah melayang di luar angkasa, perlahan turun ke dasar. Di sana, kulihat seorang gadis yang mirip denganku, wajahnya pucat pasi sedang tersenyum sembari mencoba menggapaiku dengan tangan putihnya untuk menariku ke ke dasar.
Seharusnya tak terjadi seperti ini, kenapa selalu ada halangan ketika ingin menepati janji kami untuk selalu bersama? saat dia berhasil menyentuhku seolah ada pewarna dengan kadar yang cukup banyak, merambat seperti akar menghitamkan air hingga semuanya gelap.
Beberapa jam yang lalu…
Aku terkadang gemetar ketika bersentuhan dengan air, apalagi saat melihat pantulan diriku dari air yang menggenang, bukan karena aku tak sanggup berenang, mungkin karena sesuatu dimasa lalu, kenangan yang samar seolah terhalang kabut tebal.
Orangtua angkatku mengatakan aku hampir tenggelam di kolam saat masih kecil dulu, mereka jadi overprotective setiap aku ingin berenang. Entahlah, aku bahkan tidak bisa mengingat masa kecilku dulu, siapa aku sebenarnya dan bagaimana diriku dulu. Anehnya aku akan merasakan kecemasan berlebih ketika kata ‘tenggelam’ itu diucapkan.
Sebenarnya apa hubunganku dengan air hitam? Ada seorang gadis selalu berniat mencelakaiku, ketika kulihat pantulan diriku di kolam, wajah bayanganku berubah pucat secara perlahan lalu sebuah tangan putih tiba-tiba muncul dari dalam kolam mearikku untuk menggelamkan diriku, aku bisa saja mati jika Kakakku tak sempat menyelematkanku.
Bukan hanya itu saja, ketika aku mandi di bathtub airnya berubah hitam lalu tangan itu muncul lagi menarikku kembali ke dalam membawa diriku seolah berada di lautan luas, sebelum leherku dicengkram dan airnya menghitam semakin pekat. Setelah kejadian itu, aku biasanya akan terbangun dengan keadaan pucat seperti mayat.
Seorang gadis dan semua ilusi itu terus menghantuiku sampai aku sendiri tak ingat kapan ini dimulai, sejak aku diadopsi bertahun-tahun yang lalu aku sudah mengalaminya.
“Kak Ferry, sebenarnya apa yang pernah terjadi padaku sebelumnya?” tanyaku saat duduk di sampingnya ketika kami berada di halaman belakang rumah.
“Andriana, kakak tidak tahu menahu selain kamu berasal dari panti,” jawabnya, masih sibuk dengan tanah yang dia gunakan untuk bercocok tanam.
“Aku sungguh bersyukur memiliki keluarga ini, aku tak ingat apa-apa, maaf jika aku sering menyusahkan selama ini,” ujarku berjongkok di sampingnya, menatap kakakku yang masih tersenyum.
“Ayolah, kamu sudah aku anggap sebagai adikku yang manis, kita pernah meraih berbagai prestasi bersama, ingat kita menang turmamen sebagai absolute duo? Kita ini saudara yang kompak, bukan?” ujarnya sembari melepas sarung tangan itu lalu menyentuh pucuk kepalaku.
“Kenapa, keluarga ini memilihku?” ujarku menurunkan pandangan sampai keningku tiba-tiba disentil Kakak, “Aw! Sakit kakak!” ringisku sembari menggosok kening yang panas karena sentilannya.
“Dulu saat kami memberikan bantuan ke panti aku lihat kamu begitu kesepian,” ujarnya menatapku yang masih manyun, “disaat yang lain sibuk bersalaman kamu malah diam termenung di bangku taman, kamu ingat aku menyapamu dan mengajakmu bermain catur, disaat itu aku selalu memperhatikanmu, cara bicaramu, gerak-gerikmu, seyummu, sikapmu sama seperti adik perempuanku yang meninggal dulu, satu lagi kamu itu imut,” lanjutnya lalu menekan hidungku seperti tombol.
“Ma-makasih,” bisikku yang mencoba menyembunyikan wajahku yang memerah karenanya.
Iya aku ingat dulu saat masih di panti, aku diusia 6 tahun selalu menyendiri, aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berarti bagi hidupku, masalah aku kehilangan apa? Kenapa hatiku begitu sedih ketika mencoba untuk mengingatnya? Bahkan aku akan merasa kecewa jika gagal mengingatnya.
Saat pertama kali kakak datang menyapa saat itulah dia seolah mengembalikan ‘sesuatu’ yang telah hilang dalam hati ini, ketika kami bermain catur saat itu dia memang sedang memperhatikanku, tapi saat itu aku tak peduli denganya.
Kakak senang sekali saat itu, saat aku mengalahkannya, dia langsung meminta ayah dan ibunya untuk mengadopsiku, sejak saat itu aku hidup sebagaimana anak mereka, rasa kehilanganku perlahan memudar dengan kehadiran kakak, namun entah kenapa masih ada sesuatu yang mengganjal di hati hingga saat ini diusiaku yang ke17 tahun.
“Jangan sungkan, aku kakakmu sekarang, sebagai kakak laki-laki aku akan menjagamu, kami semua menyayangimu itu yang pasti,” dia kembali tesenyum padaku, aku memeluknya tersentuh oleh kebaikannya.
Mereka memang orang baik, aku tak pernah sekalipun menceritakan apa yang terjadi padaku, dengan semua gangguan tak masuk akal ini, aku tidak mau membebani mereka dengan ini. Meski begitu aku tak tenang jika terus menerus seperti ini, aku harus mencari tau penyebab kenapa gadis di air hitam itu terus muncul.
kuputuskan untuk mencari tau sendiri, menelusuri tempat dimana awal aku mengingat, untuk itu aku sengaja mengunjungi sebuah panti tempat tinggalku dulu. Aku bertemu dengan orang-orang di sana, sayangnya Ibu panti dan orang-orang di sana pelit infomasi, mereka menutup mulut dan berpura-pura tak tau tentang diriku di masa lalu.
Tak mau menyerah, setelah bertanya kesana-kesimi akhirnya aku mendapat infomasi dari temanku dulu, dia pernah mendengar Ibu panti membicarakan alamat rumahku dulu, untungnya dia mengingatnya sehingga aku segera ke alamat yang dituju. Aku tiba di sebuah rumah yang nampak tak asing, tempat ini sudah diisi sebuah keluarga, meski mereka tak menerima tamu hari ini setidaknya aku diizinkan untuk melihat-lihat sekitar untuk sesaat.
Kepalaku mendengung ketika berada di tempat tertentu, ketika berada di taman aku ingat ada seorang gadis yang menggengam erat tanganku, kami berlarian kesana-kemari tertawa menikmati hari yang indah bersama.
Ketika di gudang kepalaku kembali berdengung, dulunya ini adalah kamar tempat kami mengikrarkan janji untuk selalu bersama.
—
“Aku sayang Kak Adriana, kita akan selalu bersama kan?” ujar adikku menatap polos sembari memeluk bonekanya.
“Tentu saja, meski Ibu dan ayah akan berpisah tak akan ada yang dapat memisahkan kita,” ujarku sembari saling mengaitkan jari kelingking dengannya
—
Terakhir ketika aku mencapai bagasi kepalaku mendengun lebih sakit dari sebelumnya, terasa sakit sampai ke hati. Dalam pandanganku, sebuah mobil sedan yang bersih di sini berubah menjadi mobil hancur sehabis kecelakaan.
Yah aku ingat semua, orangtuaku meninggal karena kecelakaan di dekat sebuah danau dan jasadnya tidak pernah ditemukan, aku menduga mereka kecelakaan karena bertengkar di dalam mobil. Dulu hubungan mereka memang tidak baik tapi aku dan adik perempuanku masih menyayangi mereka, tak jarang kami berusaha membuat mereka akur namun hasilnya percuma.
Aku bergegas menuju tempat kejadian untuk mendapat kepingan ingatan yang terakhir, mencari kembali sesuatu yang hilang dan sempat kulupakan. Di sini kecelakaan terjadi, suasananya tak berubah, masih tertutup rapat oleh kesedinghan dari masa laluku yang kelam.
Tak jauh dari sini setelah melewati hutan ada Danau hitam, hanya namanya saja yang hitam namun sebenarnya airnya jernih, hitam di sini berarti menyembunyikan, seperti artinya konon katanya banyak rahasia yang tersembunyi di danau ini.
Salah satunya terdapat sebuah mitos, jika ada orang yang menghilang di sekitar danau dan hutan, maka danau itu akan menyembunyikan mereka, kita harus memohon di depan danau untuk dapat bertemu dengan orang yang kita sayang, ini tidak hanya berlaku untuk orang hilang tapi juga berlaku untuk orang yang telah meninggal.
Sialnya karena kepolosan kami dulu, aku dan saudara kembarku percaya begitu saja, malapetaka pun muncul,
—
Hari itu langit jingga berawan, angin berembus cukup kencang saat kami menembus hutan demi mencapai Danau hitam.
“Ayo adek, kita harus menemukan ayah dan ibu sebelum gelap!” ujarku menarik lengannya tergesa-gesa
“Kakak yakin? Ke sini jalannya?” tanya adikku nampak terengah-engah.
“Itu dia ayo!” tunjukku girang saat berhasil menemukannya, Danau Hitam.
“Tunggu kakak!”
Kami berlarian di atas jalan yang cukup licin dan terjal, aku yang tak memperhatikan langkah membuat kakiku sendiri menginjak batu dan terpeleset.
“Kakak!”
Saudaraku berhasil menggapai lenganku namun dia kehilangan kesemimbangannya malah ikut terbawa jatuh, aku tak ingat lagi selain saudaraku yang melindungiku hingga lukaku tak terlalu parah saat aku mulai tak sadarkan diri.
—
Air mataku jatuh ketika kulihat kini kembaranku sedang melayang di atas air lenganya mencoba menggapaiku seperti menagih janji kami untuk selalu bersama, dengan terisak aku memasuki danau mencoba menggapai lengan putih pucatnya.
“Maafkan aku Indriana, maafkan kesalahan kakak!” tangisku, “dulu aku masih bodoh, polos dan egois, aku tidak tau sebenarnya apa yang aku lakukan dulu, aku menyesal membawamu ke sini, aku harap akulah yang mati saat itu,” lanjutku sembari terus melangkah menebas air untuk meraihnya.
Sebelum aku dapat menyentuhnya diriku ditarik sesuatu ke dalam bagian danau yang dalam, dan di sinilah tempat di awal cerita, aku pasrah dengan keadaanku, demi menepati janji kami untuk selalu bersama, aku rela tetap di sini bersamanya.
Aku memandang lekat dirinya, wajah pucat pasinya mirip seperti diriku, meski agar buram oleh air tapi aku masih mengenali kecantikannya saat saudaraku tersenyum, aku memeluknya di dalam air yang telah menghitam, menangis, melepas kerinduan dan penyesaalan karena kesalahanku dia meninggal, maafkan aku…
“Dengarkan suara hatiku kakak, aku hanya rindu denganmu, jangan menyalahkan dirimu sendiri, aku bahagia jika kakak baik-baik saja, jaga dirimu baik-baik, ini ucapan selamat tinggal dariku,” batinnya jelas terdengar olehku meski sedang berada di dalam air seperti telepati.
Setelah mendengar itu darinya, kerah bajuku tiba-tiba ditarik seseorang membawaku ke darat dengan cepat, dia adalah kak Ferry yang ternyata mengikutiku sendari tadi.
“Apa kamu sudah gila? Kenapa kamu berniat mengakhiri hidupmu,” teriaknya, “i-itu kenapa ada padamu?” tanya kakaku agak gemetar.
Dia terkejut saat aku masih memeluk saudara kembarku yang telah menjadi tulang belulang.
“Aku mengingat semuanya kak, ini adalah adikku yang selama ini merindukanku, ingatanku memang hilang tapi perasaan kehilanganku tak pernah hilanh,” tangisku, lalu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Sudah ya masih ada kakak yang selalu di sisimu,” dia mendekapku, “kita akan menguburkannya dengan layak, nanti kamu bisa berjiarah untuk ketenangan adikmu,”
Aku mengangguk di bahunya
“Maaf saudaraku, aku tak bisa memenuhi janji kita untuk selalu bersama, setidaknya aku akan memakamkanmu dengan layak dan menghapus rahasiamu dari air hitam ini”
Tamat
Cerpen Karangan: Miftah Wattapad: MAP171615 Facebook: Miftah Abdul Patah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 11 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com