“Alisa… bangun!” Aku tergelak, mencoba membuka mata. Di depanku sudah berdiri guru sejarah. “Dasar!” umpatku dalam hati.
Aku tertidur lagi saat jam pelajaran sejarah. Pasti Bu Ayu akan menyuruhku berdiri di luar kelas yang sunyi dan menyeramkan.
“Alisa! Sekarang juga kamu berdiri di luar kelas sampai jam pelajaran saya selesai!” seru Bu Ayu dengan wajah galaknya. “M-maaf, Bu. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Berdirinya di depan saja, ya, Bu. Jangan di luar, seram,” kataku memelas. “Apanya yang seram? Ini masih siang, Alisa! Ayo berdiri sana! Jangan diulangi lagi!” ketus Bu Ayu.
“Ahh… ini ketiga kalinya aku tertidur saat jam pelajaran Bu Ayu. Menurutku, sejarah itu sangat membosankan. Lagipula apa pentingnya mengungkit masa lalu,” gerutuku sembari berjalan menuju teras kelas.
Detik demi detik berlalu, aku mulai bosan berdiri di sini. Keadaan memang siang, tapi suasananya selalu terlihat suram. Aku jadi merinding. Terlebih lokasi kelasku berada di belakang, jauh dari kelas-kelas lainnya.
Aku memutuskan untuk mengirim sebuah chat kepada teman satu komunitasku, Meisya. Hari ini kelasnya sedang ada jadwal olahraga, barangkali ia mau menemaniku menghabiskan waktu pada menit-menit terburuk ini.
Alisa: Mei, masih olahraga? Kantin kuy! 09.45
Meisya: Sekarang? Oke, aku ke sana yaw! 09.48
Sudah sekitar tiga puluh menit aku menunggu. Namun nihil, tidak ada tanda-tanda kedatangan Meisya. Aku memutuskan untuk pergi ke lapangan belakang, mencoba mencari tahu keberadaan Meisya.
Ketika aku akan melangkah, tiba-tiba kakiku tidak bisa digerakkan. Tubuhku terasa membeku. Guguran salju berjatuhan mengenaiku. Aku melirik ke atas. Atap lorong kelasku berubah menjadi awan hitam yang kelam. Terdengar suara dentuman dari berbagai arah. Aku menggigil ketakutan.
Belum sempat aku memahami keadaan ini, diriku terasa didorong dari ketinggian. Bruuukk! Lalu aku tersadar, berusaha bangun sekuat tenaga. Aku begitu kaget melihat diriku sendiri. Tubuhku dibalut oleh pakaian model kuno. Mataku menyaksikan pemandangan yang memilukan, tampak begitu nyata di hadapanku.
Ini seperti keadaan kota yang mengalami perang dahsyat. Seluruh bangunannya porak-poranda. Juga terdapat beberapa tentara mengenakan baju zirah. Mereka berbisik-bisik tentang rencana penyerangan yang tidak kumengerti.
Aku masih berdiri linglung saat tiba-tiba tanganku ditarik paksa. “Ara, apa yang kamu lakukan di tempat ini? Pergilah! Ini berbahaya!” ucapnya setengah berteriak. “Siapa? Aku bukan Ara. Aku Alisa,” kataku. “Kamu ini bilang apa, sih? Ini bukan saatnya bercanda!” serunya.
Aku teringat sesuatu. Keadaan yang aku lihat tadi, seperti gambar perang di buku sejarah. Bu Ayu sedang mejelaskan latar belakang mengapa perang itu terjadi, lalu aku tertidur. Apakah aku masuk dalam sejarah?
Seseorang itu bernama Elisa. Dia adalah penulis terkenal di zamannya. Penulis yang memenangkan Nobel Perdamaian atas karyanya yang menggebu terhadap perdamaian dunia. Bagaimana tadi dia memanggilku? Ara? Seingatku, Ara merupakan asisten Elisa yang turut andil dalam setiap tulisan hebat Elisa. Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin? Jadi, aku sekarang memasuki tubuh Ara?
Saat aku berusaha melengkapi potongan teka-teki ini, Elisa menghentikan langkahku. “Lihatlah! Sahabatku, Ara. Keadaan di kota kita semakin parah. Banyak penduduk tidak bersalah yang mati sia-sia karena perang saudara ini. Perang hanya akan membawa kesedihan, menurutku,” kata Elisa pilu.
Hatiku terenyuh melihat keadaan para penduduk. Mereka benar-benar kasihan. Kejam sekali orang yang menyerukan perang itu. Elisa kemudian mengajakku ke sebuah rumah—menurutku itu rumahnya. Dari luar, rumah ini terlihat bergaya klasik dengan dua lantai lengkap bersama perabot antiknya.
“Oke, Ara, perjalanan kita hari ini cukup sampai di sini. Silakan masuk dan istirahat yang cukup. Firasatku mengatakan besok akan ada petualangan yang lebih menantang!” ujarnya dengan tatapan penuh semangat. “Iya,” kataku. “Kenapa hari ini kamu banyak melamun? Hmm… ya… sudahlah. Mungkin kamu terlalu lelah. Selamat malam,” ujar Elisa diiringi senyum manisnya.
Elisa pun menuju kamarnya yang kebetulan bersebelahan dengan kamar Ara. Sejauh ini, aku melihat bahwa Elisa memanglah seorang perempuan berjiwa mulia, baik dan ramah.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Entah kenapa, bahkan kamar yang kutempati pun tidak buruk desainnya. Kuputuskan untuk menuju balkon saat ini juga. Menatap jutaan bintang beserta purnama yang indah. Seandainya pemandangan seperti ini juga muncul di permukaan bumi.
Waktu menunjukkan pukul 23:30. Tiba-tiba perutku berbunyi, tanda bahwa aku mulai kelaparan. Sejak tadi aku belum makan atau minum apapun. Dengan langkah hati-hati, aku berjalan menyusuri rumah Elisa untuk mencari dapur. Saat kuyakin itu dapurnya, aku terkejut melihat Elisa.
“Astaga! Aku kira tadi siapa, El,” kataku. “Maaf… maaf sudah membuatmu kaget. Kamu ngapain malam-malam ke dapur?” tanya Elisa. “Aku lapar, mau buat makanan. Kamu mau?” tanyaku sambil mulai mencari bahan untuk dimasak. “Tidak. Terimakasih,” kata Elisa sambil terus menatap bukunya. “Tapi, El, kamu ngapain masih baca buku? Nggak tidur?” tanyaku. “Jadi begini, Ra. Kamu mau nggak bantuin aku? Aku mau menulis sebuah buku tentang perdamaian. Supaya orang-orang sadar bahwa perang tidak ada gunanya. Perang hanya akan membawa kehancuran,” terangnya panjang lebar. “Lalu, apa yang bisa aku lakukan untukmu?” tanyaku. “Tolong bantu aku cari referensi. Pasti akan butuh banyak,” jawab Elisa.
Esok harinya, aku membantu Elisa mencari referensi untuk tulisannya. Kami pergi ke perpustakaan kota. Setidaknya, beberapa bangunan di kota sebelah barat—termasuk rumah Elisa—masih layak untuk digunakan.
Selama berminggu-minggu aku membantu Elisa menyelesaikan bukunya. Tepat pada minggu ketiga, buku itu selesai. Namun, ternyata perjuangan kami belum usai. Masalah datang dari pihak penerbit. Berhari-hari aku dan Elisa mencoba menjelaskan tentang manfaat buku itu. Hingga pada detik-detik kami hampir menyerah, telepon rumah berbunyi. Salah satu penerbit mau menerima buku Elisa. Kejadiannya berlangsung sangat cepat. Buku itu beserta penulisnya mendadak jadi perbincangan hangat.
Tepat setahun setelah penerbitan, Elisa menerima Nobel Perdamaian. Tulisannya telah menyadarkan para pemimpin perang untuk memilih jalan damai.
Sore ini, kami memutuskan untuk berbincang di balkon lantai dua. “Aku tidak menyangka bukunya akan sehebat ini,” kata Elisa sembari menoleh ke arahku. “Ini semua berkat bantuanmu, Ra,” imbuhnya. “Sebagai tanda terimakasih, aku mau memberimu sebuah cincin,” lanjut Elisa.
Ketika Elisa mengenakan cincin itu padaku, aku merasakan tubuhku seperti ditarik ke dalam lubang yang sangat dalam dan gelap.
Tiba-tiba, bruuukk! Aku terbangun. “Alisa! Bangun! Kamu ini, lagi-lagi tidur di kelas!” ucap Bu Ayu dengan nada tinggi. “Bu, bukannya saya tadi sedang di tempat kuno, terus ada perang-perangnya?” tanyaku setengah sadar. “Kamu ini mengigau ya? Cuci muka sana!” seru Bu Ayu.
Saat di kamar mandi, aku merasa hal itu benar-benar terjadi. Tapi kenyataannya sekarang aku benar-benar ada di kelas, dunia nyata.
Aku menyalakan kran dan mulai membasuh muka. Tanganku menengadah untuk mengambil air, dan ahhh…. aku hampir saja menjerit kencang. Cincin yang ada di jariku, persis dengan cincin yang diberikan Elisa.
Aku bergegas kembali menuju kelas. Membuka buku paket sejarahku. Ada coretan bolpoin tinta merah tepat di halaman catatan perang.
“Terimakasih telah membantu! Simpan baik-baik cincin perdamaian itu!” -Elisa
Jadi, apa maksud semua ini? Ataukah aku…
Cerpen Karangan: Dhea Salsabila Blog / Facebook: @dheasbila_ Gadis kelahiran kota angin dan bukan penikmat kopi senja. Gemar mengajak manusia bumi untuk merenung melalui untaian kata. Mari berkenala bersamanya lewat Instagram; dheasbila_
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com