Ada yang bilang sakit hati lebih parah daripada disayat pisau, rasa sakitnya sulit hilang dan terus terngiang, begitupula yang dialami Reza, cowok itu duduk memeluk lutut, matanya menatap cahaya dibalik celah gordeng kamarnya yang gelap, sudah seminggu sejak kematian pacarnya dia nelangsa. Meratapi dirinya sendiri yang enggan hanya untuk keluar kamar.
Di sisi lain seorang Pria muda berjalan memasuki rumah bersama seorang wanita paruh baya, dia adalah teman dari Reza, Deni namanya, wanita paruh baya itu bilang padanya bahwa Reza akhir-akhir ini sering mengunci dirinya di kamar, Ibunya takut Reza sakit karena jarang makan. Akhirnya Deni sampai depan pintu kamar Reza.
Doorr… dorr. doorr (dia mengetuk pintu kasar) “WOI BANGUN! siang gini tidur aja! Udah kayak burung hantu bergadang aja lu!” teriak Deni, namun tak ada jawaban.
“Njir nih anak, mau gue dobrak nih pintu atau lu yang keluar?” ancam Deni namun tetap tak ada jawaban. “Dasar Pe’a gue hitung sampe tiga. Satu… dua… tig–,” Deni terhenti saat mengambil ancang-ancang karena melihat gagang pintu bergerak dan pintu terbuka.
Dari dalam Reza muncul dengan penampilan acak-acakan seperti sesudah bangun tidur, wajahnya kusut sekusut bajunya, garis bawah mata warna hitam semakin memperburuk penampilannya. “Ngapain sih elu datang, pulang aja sana!” usir Reza lalu kembali menutup pintunya, namun Deni menahan tindakan itu. “Mau ikut gue ngelakuin kerjaan detektif? Kita ungkap pembunuhnya.”
Deni memainkan topinya seraya bersandar pada mobil hitam Reza, kali ini dia menunggu temannya berisap-siap, sebenarnya Deni sedang membantu polisi dia melakukan ini hanya untuk temannya, dia tidak tega jika temannya menjadi pemurung seperti itu, Deni sudah dimintai keterangan oleh polisi mengenai kasus ini, tidak ada bukti yang bisa menariknya menjadi tersangka, sekarang posisi Deni adalah saksi dan tugasnya memintai keterangan orang-orang yang dianggap tersangka oleh polisi, itu tugas mudah bagi Deni karena dia adalah teman dekat mereka.
“Bro, lu yang nyetir,” ucap Reza sembari melempar sebuah kunci, Kali ini penampilannya lebih rapi, berbeda 180 derajat dari yang tadi. Mereka mamasuki mobil dan Deni mulai menyetir, Deni bercerita tentang kenangan masa lalu. mereka dan teman-temannya yang lain sering kamping di hutan saat libur panjang tiba, biasanya Reza, Tasya (pacarnya Reza) dan Yudha yang memasak. Deni yang paling banyak makan.
“Sebelum kita ke TKP, kita akan menanyai beberapa orang, Rina dan Ana yang merupakan sahabat Tasya, Yudha temen deketnya, Nadila musuhnya dan…” Deni menatap Reza “Elu sebagai pacarnya.”
Kini mereka sampai di sebuah cafe tempat dimana dulunya jam segini, Tasya, Rina dan Ana berkumpul. Dan hari ini yang terlihat hanya Rina dan Ana, mereka duduk berhadapan di meja dekat kaca, mereka menghampiri kedua gadis itu yang sendari tadi menikmati secangkir kopi.
“Hey Za, kemana aja lu, muka lu tuh kusut banget, gue gak liat lu semenjak kematian Tasya,” cerocos Rina yang kemudian disenggol Ana memintanya untuk diam. “Maaf Za biasa si Rina emang kek gini orangnya,” ucap Ana tersenyum, yah dia pikir tidak baik menyinggung kasus tentang Tasya untuk saat ini. “Iya tak apa,” jawab Reza. Kini kedua pria itu mulai duduk di dekat Rina dan Ana, mereka berbasa basi seperti biasa, sedikit-sedikit mulai menyinggung tentang Tasya.
“Yah kini rasanya ada yang kurang, biasanya diakhir bulan gini Tasya selalu neraktir kita di sini, rasanya lebih sedih darpada ditinggal pacar gue. Mungkin waktu tidak akan sama kek dulu lagi saat kami bersama,” ucap Rina tertunduk, sesaat kemudian Ana merangkulnya. “Terakhir kali kalian liat Tasya sebelum kejadian itu dimana?” tanya Deni yang sebenarnya sendaritadi mengintograsi mereka, secara tidak langsung. “Terakhir di bioskop, saat itu kami janjian malming itu mau nonton ke bioskop, namun keesokan harinya saat kami ke rumahnya pagi itu kami malah syok liat keadaan dalam rumah Tasya, darah dimana-mana dan…” Ana menutup mulutnya menelam muntahnya sendiri, “daleman perutnya itu… ah sudahlah aku tak bisa jelasin lagi.”
“kalau elu Za, malam itu lu kemana?” Deni menatap Reza, kini giliran dia yang diinterogasi. “Gue push rank ngabisin kuota gratis, sambil nunggu chat dari dia, tapi pas gue tunggu sampe jam 9 malem gak ada, gue mau ke rumahnya tapi gak enak, soalnya dia kan tinggal sendiri, masa cowok ke rumah cewek malem-malem nanti kalau gue dikira mau ngapa-ngapain dia gimana? Lu tau sendiri kan warga disana kek gimana? Apalagi ibu-ibunya tukang gosip.” jawab Reza. “Gue gak terima Den, gue udah mau ngelamar dia minggu depan,” Reza mengeluarkan sebuah kotak merah kecil, “kini cincin ini enggak akan pernah terpakai di jarinya yang lembut itu.” Reza tertunduk dan menangis di atas meja itu. Ana menepuk bahu Reza, “Sabar ya Za, suatu saat kamu akan mendapat pengganti yang lebih baik.”
—
“Seorang pria kekar berbadan tegap pun dapat menangis jika hatinya terluka, ironis memang. Sepertinya lu masuk kategori ini, gak nyangka juga,” ucap Deni sementara pandangannya fokus ke jalan.
Reza sendari tadi bergeming, Pandanganya kosong menatap jalan dari balik kaca mobil. Matanya masih merah, dan Perasaan hatinya hancur seperti kaca pecah. Di tengah jalan Mobilnya mengerem mendadak, kalau mereka tak pakai sabuk pengaman, kepala mereka pasti sudah terbentur.
“Lu kenapa ngerem ngedadak gitu? Kalau kepala gue benjol gimana pe’a!” Reza ngegas, sementara Deni keluar dari mobil..
Di sana Deni menghampiri seorang gadis sedang sibuk dengan ponselnya, dia merasa tidak nyaman saat Deni mendekatinya, di sisi lain Reza yang mengenali gadis itu, ikut mendekatinya.
“Nadila,” Panggil Deni. “Apa?” jawabnya ketus. “Lu mau gak—” “Gak!!!! ” “Dengerin dulu cantik,” Rayu Deni. Nadila menghela nafas sembari memutar bola matanya “Iya lu mau apa?” tanya-nya. “Ini tentang Tasya, terakhir lu liat dia dimana?” tanya Deni. “Ah gue males, gak tau apa-apa. Kirain mau apa, mending gue pergi aja,” dia melengos pergi, namun tangannya di tahan oleh Reza. “Lu tetangganya, Serius lu gak tau apa-apa?” tanya Reza serius.
“Oke, gue terakhir liat dia malam minggu kemarin, dia di jalan dianterin naik motor bareng cowok, gak tau tuh siapa, yang jelas cowoknya pakai jacket kulit hitam, helm full pass warna hitam juga dah gitu aja. Baguslah dia mati, musuh gue berkurang 1 gak ada yang ganguin gue lagi,” setelah berucap itu Nadila menaiki motor Ojek Online “Gue pergi, jangan nanyain Tasya lagi, gue bukan emaknya.”
“Njir gila tuh cewek, ketipu gue sama rupanya, gak jadi gue tembak dah,” gerutu Deni sembari menggaruk kepalanya meski tak gatal. Sementara Reza menghela nafas, “Dia itu temen SD gue, dulu dia orangnya baik banget, sampe sekarang dia masih baik kok kalau elu lebih kenal dia, sebenernya yang bikin dia kek gitu–” Reza tehenti di dekat pintu mobil. “Apa yang bikin dia kek gitu?” Ucap Deni tak sabar. “Cinta…”
Mereka kembali melanjutkan penyelidikan, sekarang hanya tinggal satu orang yang belum dimintai keterangan, yah tinggal Yudha saja, sempanjang perjalanan ada Reza sepertinya merasa tidak nyaman entah kenapa itu.
“Lu kenapa? Kayak ikan di darat aja lu gak mau diem,” Deni membuka pembicaraan. “Gak papa mending lu nyetir aja,” jawab Reza tanpa sedikitpun menoleh ke arah Deni. “Bro kalau ucapan lu bener, setelah gue nyelesain kasus ini gue bakalan nembak si Nadila,” ucap Deni semangat. “Good luck my brother,” jawab Reza masih seperti tadi. “Lu liat aja entar.”
Kini mereka berhenti di rumah yang cukup luas, yah ini rumahnya Yudha dia tinggal sendirian di rumah ini, mereka menekan bell beberapa kali namun tak ada yang keluar, karena pintu tak dikunci mereka masuk tanpa permisi.
“Ngapain lu berdua masuk rumah gue tanpa izin?” Tiba-tiba seseorang keluar dari dapur sembari memutar-mutar pisaunya, tatapanya dingin, tersungging senyum kecil di wajahnya. Untuk beberapa saat Reza dan Deni terdiam, tak lama sebuah pisau melesat cepat ke arah mereka, tak ada reaksi mereka masih diam hingga pisau itu menancap pada tembok di belakang mereka.
“Njir ada Psikopath mau bunuh gue!” Teriak Deni. “Bacot lu yet! Noh rak hampir jatoh, kalau enggak nanclep tuh pisau kepala lu dah benjol,” sanggah Yudha sembari memperhatikan rak yang tadi hampir menimpa Deni, “lagian gue pake pisau bukan untuk ngebunuh, gue pake pisau tuh kayak nyokap gue buat masak.” “Hehehe kaget gue, lagi masak ya cok?” tanya Deni, “Ada makanan gratis mantap inimah ea.” Deni menjilat bibirnya bersamaan perutnya yang berbunyi. “Iya gue tau lu datang ke sini mau makan, udah selesai masaknya kok, kalian duduk aja dulu,” ucap Yudha lalu membereskan peralatan masaknya.
Reza dan Deni duduk di depan meja yang hampir penuh dengan makanan, tak lama Yudha pun ikut bergabung, Deni yang terlihat paling lahap makan daripada tuan rumahnya, sementara Reza memakan makanannya sambil melamun.
“Za lu kenapa? Kok daritadi diem? Masakan gue gak enak?” tanya Yudha dan Reza menengadah. “Mitos masakan lu gak enak Yud, kenapa gak ikutan master cheff aja coba?” serobot Deni, sementata Reza menggelengkan kepala. “Gakpapa Yud, cuman ngelamun aja,” jawab Reza membuat Yudha mengangguk.
“Gue turut berduka atas kematian pacar lu, dulu kita biasanya kemping masak bareng, mumgkin kalau kita masak bareng lagi saat kemping akan berbeda.” ucap Yudha yang dijawab Reza dengan anggukan. “Lu juga temen deketnya, lu liat dia terakhir dimana?” tanya Deni dengan mulut penuh. “Malam minggu kemarin, gue abis pulang di rumah temen gue dan liat dia jalan sendirian deket bioskop, dia bilang lagi nunggu ojol, hari udah malam daripada dia nunggu sendirian ya udah gue anter dia pulang,” jelas Yudha lalu dia memakan suapan terakhir.
“ouh jadi Elu, sepertinya gue hampir tau siapa pelakunya, awas Yud lu masih gue anggap tersangka,” ucap Deni. “Njir lu lagi main detektif yet? Otak paspasan gitu mau jadi detektif?” Yudha nyengir meremahkan Deni. “Njir penghinaan inimah, liat setelah di TKP gue bakal tau siapa pelakunya, Hadiahnya lu harus ajarin gue masak dan nyuciin motor gue setahun, itupun kalau bukan lu pelakunya,” ucap Deni lalu meminum segelas air putih. “Oke kalau lu gak berhasil lu harus jadi pembantu gue selama sebulan,” tawar Yudha. “Deal!” Deni menjabat tangan Yudha.
“Terimakasih makanannya, gue kenyang,” tungkas Reza lalu mengajak Deni pergi.
Tujuan terakhir dari penyelidikan kasus ini ke TKP, mereka tiba di sebuah rumah bercat hijau yang dililit garis polisi, mereka menembus garis polisi tersebut terlihat rumah berantakan lantai masih dipenuhi bercak darah, bau amis masih dapat tercium. Reza gemetaran sendari tadi Deni tau pasti Reza sedang sangat marah.
“Kita selesain kasus ini hari ini juga, hanya perlu sedikit lagi,” Deni mulai menelusuri rumah. “Kenapa lu mau bantu gue Den?” tanya Deni tiba-tiba, selagi sibuk menelusuri rumah. “Kok lu ngomong gitu, yang jelas lu tu temen gue, gue gak mau kalau lu sedih dan nolep terus, lagian kalau kita berhasil kita bakalan dapet penghargaan di kepolisian, lu juga nanti bakalan ketemu polwan cantik, siapa tau ada yang mau sama lu,” jelas Deni, membuat Reza kembali menggelengkan kepala. “Di otak lu cewek mulu njir, nanti lu bakalan dibenci Nadila kalau kek gini terus.”
Mereka berbincang seperti biasa, sudah sejam lebih mereka menelusuri rumah itu, tak ada satupun hasil yang atau petunjuk yang mereka temukan.
“kita gak nemu apapun di sini,” ucap Reza yang berjalan keluar halaman belakang. “ah polisi hanya nemu sebagian dari isian perutnya, jasadnya masih dicari, tapi tak apa lagian,” Deni terseyum puas, “gue udah tau kok siapa pelakunya.”
Bersambung
Cerpen Karangan: Miftah Blog / Facebook: Miftah Abdul Fatah Silakan klik FBnya untuk profil 🙂
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com