“Siapa Den?” tanya Reza seperti orang panik. “Bukan saatnya lu tau.” “Jawab Den!” Paksa Reza sembari menarik kerah baju Deni. “Lu bisa tenang dulu gak? bantu gue tarik pohon pisang itu dulu.”
Mereka menghampiri pohon pisang itu, pohon itu hanya berukuran sepinggang orang dewasa, suatu hal yang membuat Deni heran adalah, pohon pisang itu layu, jadi seperti sudah dicabut sebelumnya. Deni dan Reza menarik paksa pohon itu dan mendapati sebuah lubang, tangan Deni mengoreh lobang itu dan menangkap sesuatu. Sebuah pisau khusus memasak berada di genggaman Deni, pisaunya agak berkatat, namun masih ada bekas warna merah beserta bau anyir meski hanya sedikit.
“Kayaknya prasangka gue salah, kita ke pelaku sebenarnya!” ucap Deni sembari mengamankan pisau itu ke dalam plastik pipet.
—
“Yud mending lu ngaku aja! Gue tau elu kan yang bunuh Tasya? Ngaku!” Teriak Deni ketika sampai di rumah Yudha. Yudha yang sendari tadi bermain game sontak kaget melihat Deni datang dengan senjata api, sementara Reza menyusulnya dari belakang.
“Lu ngomong apaan sih? Buat apa gue ngelakuin itu?” jawab Yudha lantang. Deni mengeluarkan plastik pipet yang berisi pisau tadi, “Ini pisau milik elu kan? Gue yakin ini milik elu, kenapa lu lakuin ini Yud, gue gak nyangka.” “Oke bener itu pisau milik gue! Tapi lu pikun atau gimana sih? Pisau itu gue pinjemin saat terkahir kita kemping,” jelas Yudha seketika membuat Deni terdiam, “Emang lu belum ngeinterogasi temen di belakang lu?” “Dugaan awal gue bener,” guman Deni saat dia hedak menoleh, Reza menyambar lengan Deni dan merebut senjata apinya
Door… Satu peluru menembus pinggang Deni, hingga dia menggerang. Sementara Reza tertawa kesetanan setelah melakukan itu.
“Gu… Gue udah duga, sejak awal lu ngunci di kamar demi ngehindari polisi, lu sedih karena rasa bersalah, gue nanya lu jawab ngawur, sikap lu daritadi aneh, dan… Uhu.. Uhuk, lu panik saat gue bilang tau siapa pelakunya dan—” Deni batuk berdarah tak sanggup lagi berucap. “DAN IYA GUE PELAKUNYA! Hahahah terus lu mau apa? Masukin gue ke penjara gitu? Hah!” ucap Reza sudah seperti orang tak waras. “Za ini bukan lu, lu gila atau kenapa sampe–” ucapan Yudha terpotong “DIEM LU SIALAN! Ini semua karena ELU! Malming kemarin lu gak langsung nganter Tasya pulang, elu ngajak dia jalan kan? LU PIKIR GUE GAK TAU, HAH!” emosi Reza semakin meledak. Yudha tak sanggu menjawab
“Hahaha lu liat deh Den, kalau bukan karena dia gue gak akan lakuin ini, dia ngambil Tasya dari gue Den, dia nembak Tasya malam itu, dan bodohnya si Tasya malah mau sama dia. selain gue gak ada yang boleh memiliki Tasya!” kali ini Reza mengarahkan pistol ke arah Deni.
“Za lu harus tau selama ini Tasya gak cinta sama Elu, yang cinta sama elu itu Nadila, masa elu gak pekak sama dia dari dul–” “Diem bego!!!” Dor… dor… Dorr Beberapa peluru keluar dari barrelnya, namun dengan sigap Yudha dapat menghindar, dia melesat cepat ke arah Reza lalu mengahantamnya hingga pistol itu terlepas. Reza dengan cepat mengambil sebuah belati pajangan lalu menebas Yudha, alhasil dadanya tergores.
“Sini lo maju!” tantang Reza.
Belum sempat membalas, pisau reza bergerak untuk menikam Yudha, sebelum itu terjadi dengan cekatan Yudha mematakan pergelangan tangan Reza lalu membantingnya ke meja kaca hingga pecah. Deni tak berdaya ketika melihat mereka.
“HAHAHA! Boleh juga lu?” Reza bangkit lalu meludahi lantai. Deni berucap pelan. “Bro ini gak bener, ini bukan elu, lu mending—” “DIAM!!! Mending lu diem, agar gue bikin Lu tidur untuk selamanya!” potong Reza yang sepertinya sudah dipenuhi amarah.
Tiba-tiba sebuah sirine terngiang di telinga, tak sampai satu menit banyak anggota polisi datang menodongkan senjatanya. “Jangan ada yang bergerak!” titah salah satu polisi itu.
Reza mengangkat kedua tangannya, sebelah tangan melepaskan pisau, ketika pisau tepat mengahantam lantai Reza berlari dengan cepat meloncat dan menembus jendela berlapis kaca, larinya begitu cepat sampai polisi terpaksa melepaskan sebuah tembakan, satu peluru sepertinya berhasil nemembus pinggangnya, namun Reza memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam mobil.
Reza memacu kendaraannya dengan kecepatan maksimum, tak peduli berapa banyak mobil polisi yang mengikutinya dan berapa banyak ledakan peluru yang dia dengar, tepat di perempatan jalan reza menerobos lampu merah, sebuah truk bahan bakar datang dari samping hampir menabrak mobil Reza, namun truk itu hilang kendali dan terjadilah tabrakan beruntun termasuk beberapa dari polisi yang mengejar Reza.
Reza memarkirkan mobilnya di sebuah hutan, dengan badan yang limbung dia memasuki hutan, langkahnya yang sempoyongan terus dia paksa hingga dia sampai di sebuah pohon besar, dia masih memegangi perutnya yang semakin banyak mengeluarkan darah, tak lama lagi dia akan kehabisan darah, dia hanya sedang menunggu ajalnya.
“Kita akan tinggal di sini bersama, sayang”
—
“Begitulah akhir darinya, ” Sepatah kata itu membuat kami tersadar dari ceritanya, kami telah kembali ke dunia nyata setelah Fauzan menarik kami ke dunia ceritanya. Yah kami sedang kemping, setiap kemping gini Fauzan akan menawarkan sebuah cerita, biasanya dia menceritakan cerita horror, entah kenapa kami sepeti memasuki dunia ceritanya setiap dia bercerita, atau mungkin ini karena pengaruh api unggun? “Yah ending tak tertuga,” ucapku lalu meminum secangkir kopi hangat.
“Lia, kau percaya? Ini adalah kisah nyata loh,” Fauzan menatapku dengan senyum menakuti. “Hahahah… ngaco lu, elu nya aja yang kepinteran ngarang,” sangkal Deva tak percaya. “Serius, lihat itu?” Fauzan menunjuk sebuah pohon besar, “itu tempat dimana hidupnya berakhir, konon katanya karena dulu kegemarannya kemping, setiap ada yang kemping di sini, dia akan mengikutinya, bahkan tak jarang dia ikut bergabung.” “Ah udahlah gak pernah denger juga beritanya,” aku menatap Nanda yang sendari tadi menatap api unggun, “anter aku ya, udah kebelet nih” Nanda mengangguk, lalu kami menjauh dari Fauzan yang kini mematung, kami menelusuri semak-semak, suara gemersik daun tertiup angin terasa berbeda, sesuatu bayangan hitam datang dari depan, cahaya senterku menyorotinya, apa yang aku lihat membuat badan terasa beku, mataku melebar tak bisa menutup, begitu pula Nanda.
“Eh Lia, gue udah selesai, nih kayunya, sekarang elu masak ya, nanti gue ceritain kisah misteri,” ucapnya, aku tak sanggup menjawab, kini aku menatap ke arah tenda, dan ya dia masih duduk di sana, diantara api unggun dan Deva.
“Eh kalian kenapa? Kayak udah liat setan aja!” dia kembali berucap. Kali ini mulutku yang gemetar kupaksa menjawab, “ka… kalau kamu Fauzan,” Aku menelan saliva, benar dia memang tadi bilang mau mencari kayu bakar. “siapa yang sendari tadi bercerita?” “Siapa dia?”
Tamat
Cerpen Karangan: Miftah Blog / Facebook: Miftah Abdul Fatah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com