Di keheningan waktu ini, tak kutahu engkau ada di mana. Kenangan fatamorgana yang pernah terbang di ufuk langit senja, masih kuingat. Aku masih saja terperangkap dalam putaran waktu. Alunan detik yang menjelma bak angin malam, begitu cepat berembus dan berlalu. Tumpukan buku tebal, lembaran-lembaran kertas, dan bolpoin yang berhamburan di mana-mana.
Sebelum rangkaian aksara ini memanjang, kuingin memberitahu kalian. Kisah ini sebenarnya adalah sebuah curahan hati seorang anak IPA sekaligus santri tahfiz Qur’an. Satu hal penting lain yang perlu kalian ingat adalah bahwa tidak ada yang bisa melarikan diri dari takdir Tuhan.
Aku mempunyai seorang teman, biasa dipanggil Zain. Jangan berfikir dia itu seperti Zayn Malik. Nama Zain sebenarnya adalah Jaenuri Ahmad. Dia sedikit aneh, sialnya lagi dia adalah teman satu kelas sekaligus teman sekamarku di pesantren. Yang kutahu, Zain itu pandai fisika, tapi tak bisa hitung-hitungan. Suka sejarah, tapi tak pandai menghafal. Beruntungnya, dia selalu menjadi juara Olimpiade bahasa Arab.
Selain Zain, aku punya satu sahabat perempuan bernama Aisya. Dia suka pisang, tapi bukan monyet. Dia suka jadi vegetarian, tapi bukan kambing. Dia sangat suka jus wortel, tapi bukan kelinci. Dia suka aku, tapi… itu dulu. Sekarang? Ah, sudahlah. Diriku sendiri, hingga detik ini aku masih berpikir, siapa aku? Aku itu apa ya?
Namaku Iqbal, tapi bukan Dilan. Sekitar 10 tahun yang lalu, aku dibuang oleh ibuku ke sebuah pesantren tahfiz Qur’an di Jawa. Padahal, aku sama sekali tidak tertarik dengan yang namanya pondok pesantren. Yang ada di pikiranku saat itu adalah tentang sebuah tempat kuno yang pastinya horor seperti penjara. Tapi sekali lagi, tak ada yang bisa lari dari takdir Tuhan.
Jika kalian bertanya kemana ayahku? Ayah telah lama minggat dari rumah, setelah sebelumnya selalu bertengkar dengan ibu, mirip dengan adegan di sinetron-sinetron TV Indonesia, jika kalian pernah nonton, sih.
Hari ini adalah malam Jumat, aku dan Zain mendapat giliran bertugas menjaga keamanan di pesantren. Ada banyak ruangan yang mengisi bangunan 7 lantai ini. Konon katanya, para santri dilarang untuk menghitung anak tangga ketika naik turun lantai 7 pesantren ini.
Banyak rumor horor yang beredar dikalangan para santri. Dan yang terbaru adalah isu tentang nenek payung. Aku sebenarnya tak habis pikir, apakah kehadiran nenek payung itu untuk menyaingi popularitas nenek gayung? Atau malah kakek cangkul yang sudah go public?
Malam ini, aku dan Zain akan berpencar. Zain mengamankan lantai 5 dan aku berada di lantai 7.
“Bro, lu yakin mau keliling lantai 7 sendirian?” “Emang kenapa?” “Konon katanya nih, orang yang berjalan sambil menghitung tangga lantai 7, jika beruntung dia bakal dapetin apa yang diinginkan!” “Allahumma…. Yaampun Zain yang tamvan sejagad raya top markotop prikitiuww.. Ini tuh udah zaman nya hp android, kalo mau dapet apa-apa yang diinginkan tinggal pesen di go-jek, beres.” “Yaelah… kan gue cuma bilang, kali aja lu mau nyoba.” “Kalo emang bener, aku mau oppa-oppa Korea itu insaf jadi grub sholawatan aja!” “Sstttt… dasar halu!” “Udah ah, gue mau mangkat untuk menjadi abdi keamanan,” ucap Zain dengan gaya sok pahlawan. “Yaudah sono.”
Aku mengikuti jejak Zain. Patroli malamku dimulai. Pukul 22.30, arloji yang kupakai berdetik kencang. Seiring dengan detakan jantungku. Aku berjalan menyusuri lorong lantai 7. Pintu-pintu kamar santri telah tertutup, menandakan semua sudah terlelap di alam mimpi masing-masing.
Di penghujung lorong, aku menatap sebuah ruangan kecil rusuh tak terawat. Dari jendela luarnya yang penuh debu, kaca yang sedikit pecah, serta meja-meja usang di dalamnya. Sekitar 7 tahun yang lalu, ruangan ini sudah tak terpakai. Minimnya dana yang dimiliki pesantren membuat perbaikan ruang ini menjadi terbengkalai.
Dulunya, ruang ini adalah ruang tunggu, tempat untuk orangtua santri yang ingin menjenguk anaknya. Ada ribuan kenangan manis disini. Mulai saat aku marah-marah pada ibu karena membuangku ke pesantren, momen haru saat ibu melepasku dan kembali pulang, hingga pada akhirnya ibu tak pernah kembali lagi ke sini. Aku mencoba mengingat, kala itu ibu duduk manis di ruangan ini. Tersenyum sumringah saat melihat aku berjalan dari kejauhan. Sore itu, ibu membawakan brownis coklat favoritku, sembari memberi petuah. “Nak, engkau sekarang tinggal di kota orang. Aku tidak mau menyebutmu anak rantau, sebab engkau tetap dekat dengan Ibu.” “Dekat darimananya? 780 km dari rumah itu jauh, Bu!” “Nak, kita itu dekat. Meskipun kita tak saling memandang, doalah yang menghapus jarak antara kita.”
Aku menatap layar ponselku, berharap ada telepon masuk atau sekedar pesan singkat dari ibu. Di ponselku masih ada nomor hp ibu, walaupun sudah lama tak bisa dihubungi. Dalam aplikasi SMS ponselku tertera terakhir kali aku berkirim pesan dengan ibu. Kurang lebih 5 tahun yang lalu.
27 April 2016 Baik-baik di sana Iqbal, jangan menangis karena rindu ibu 17.03 Haha, ibu meledekku ya :p Ibu, Iqbal akan segera pulang, tunggu di rumah ya! 17.09
Beberapa minggu setelah itu, di penghujung bulan Mei aku memutuskan untuk pulang ke rumah. “Ibu… aku pulaanggg…,” teriakku di depan gerbang ketika baru saja tiba di rumah.
Hening. Tidak ada jawaban, aku berjalan lurus ke dalam rumah dan menuju ke arah kamar. Sampai di depan pintu, aku mematung. Kulihat ibu sedang mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Ibu pun tampaknya tak menyadari kehadiranku.
“Ibu? Ibu mau pergi?” tanyaku cemas sembari berjalan mendekati ibu. “Ya Allah!! Iqbal.. kok tiba-tiba sudah sampai sini,” ucap ibu sambil menoleh dan memelukku. “Ibu mau kemana?” “Iqbal, ibu mau pergi sebentar, tidak jauh kok. Ada bisnis dengan teman SMA ibu dulu. Kamu di rumah sama nenek ya, jangan lupa jaga diri baik-baik, Nak!”
Kurasa ingatanku berhenti sampai di sini. Aku tak lagi mengingat percakapanku kala itu, wajar saja, usiaku masih 12 tahun saat itu.
Seminggu setelah keberangkatan ibu, aku kembali ke pesantren. Seringkali aku menelepon nenek, menanyakan apakah ada kabar dari ibu. Sebenarnya aku tahu, ibu tidak akan menelepon nenek, karena sebelum berangkat ibu telah berpesan bahwa di tempat ibu pergi tidak ada sinyal, dan mungkin ibu hanya bisa mengirim surat.
Hampir setiap sore aku menghubungi nenek, memastikan apakah ada surat dari ibu untukku. Tapi hasilnya nihil. Pernah suatu ketika, saat aku bercakap-cakap dengan nenek lewat telepon, sering kali terdengar suara TV yang berisi berita korban tenggelamnya kapal. Aku tak berpikir panjang, memang sudah biasa nenek hobi menonton berita. Tapi hari itu, nenek berkata padaku bahwa ibu akan segera pulang, dan mungkin akan menjengukku di pesantren.
Semenjak itu, setiap malam aku selalu berada di depan pintu pesantren. Bersiap menyambut kalau-kalau ibu datang menjengukku. Tiga minggu aku melakukan hal itu, namun nihil. Tidak ada tanda-tanda kedatangan ibu.
“WOYY IQBALL!” teriakan Zain membuyarkan lamunanku. “Dasar kamu gentong! Ngagetin aja!” “Elu sih.. bukannya patroli malah ngelamun mulu. Tidur gih.” “Yaudah let’s go.” “Dasar kebo, giliran suruh tidur aja semangat 45.”
Aku dan Zain berjalan menuruni tangga lantai 7. Menuju kamar tidur kami di lantai 6, belum ada 5 menit aku dan Zain tertidur pulas.
“Iqbal.. Iqbal..” suara lembut seseorang sayup-sayup terdengar memanggilku “Hmm??” jawabku lirih tanpa membuka mata “Ada sesuatu yang tertinggal di lantai 7 Iqbal, bangunlah, ambillah benda itu di ruang tunggu.”
Aku terperanjat, benarkah itu tadi ibu? Meskipun ibu telah lama meninggalkanku, aku masih ingat betul suara halusnya. Segera kupakai sarung dan kaos panjangku, berlari kencang menaiki tangga lantai 7, aku tak peduli dengan para santri yang menatapku berlari kencang di sepanjang lorong.
Ruang tunggu yang rusuh dan terkesan angker tak membuat nyaliku ciut. Yang ada di fikiranku adalah ibu, aku ingin bertemu ibu. Aku yakin ibu telah menungguku disana.
Beberapa detik saja, aku telah sampai di depan ruang tunggu. Cukup gelap, hanya ada lampu kecil warna kuning di dekat pintu. Terkunci, ruang tunggu ini sepi sekali, tidak ada siapapun disini. Tidak ada ibu. Apakah aku tadi hanya mimpi? Namun suara ibu begitu jelas. Ingin aku berteriak sekencang-kencangnya. Aku yakin ibu ada disini, ibu pasti telah lama menungguku.
Aku melihat ke dalam ruang tunggu, lewat jendela kaca yang pecah cukup lebar. Ada kertas coklat diatas meja. Tanganku meraba-raba meja itu, berusaha menggapai kertas coklat diatasnya. Benar saja, ini adalah amplop surat, seperti telah bertahun-tahun disini. Penuh debu dan sedikit terkena runtuhan material. Kertasnya pun tak lagi berwarna putih, sudah sedikit kuning, sangat usang. Perlahan kubaca satu demi satu rangkaian aksara surat ini. Mencoba menerka setiap makna yang tertera.
Dariku yang merindukan dunia. Teruntuk engkau yang merindukan surga.
Iqbal Fauzan, apa kabar putraku? Ibu tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Entah di usia berapa engkau akan membaca surat ini. Maaf, membuatmu menunggu kabar dari ibu. Ibu telah mengirimkan surat ini padamu sebelum ibu pergi.
Namun saat itu, kata pengurus pesantren engkau masih ada pelajaran. Baiklah, ibu tak mau mengganggumu mencari ilmu. Ibu hanya berharap semoga pengurus pesantren tidak lupa memberikan surat ini padamu.
Iqbal, ayah dan ibu pernah cemas saat engkau akan hadir. Tapi saat engkau benar-benar telah ada di dunia ini, ayah dan ibu sangat senang. Kami merasa memiliki harta yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ibu sadar. Bahwa semua yang ada di bumi ini milik Allah, dan semua akan kembali pada-Nya.
Begitu pula ibu. Ibu pun milik Allah. Jika engkau merindukan ibu, ingatlah Allah. Mintalah surga pada Allah. Karena, ibu ada disana.
Secarik rindu, dari aku, Ibumu.
Cerpen Karangan: Dhea Salsabila Blog / Facebook: Dhea Salsabila Gadis kelahiran kota angin dan bukan penikmat kopi senja. Gemar mengajak manusia bumi untuk merenung melalui untaian kata. Mari berkenala bersamanya lewat Instagram; @dheasbila_
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com