Omong-omong soal Mama, Nyiioo memalingkan wajah melihat sang Mama. Namun, wanita itu mendadak hilang seperti nggak pernah ada sebelumnya. Nyiioo mencoba bangkit mencari sang Mama yang entah ke mana.
“Ma … Mama di mana? Maafkan aku, aku janji nggak bakal nyakitin Mama. Mama di mana?”
Gadis kecil itu tertawa, saking kerasnya sampai-sampai membuat gendang telinga Nyiioo sakit. “Mama? Ha ha ha ha … sadarlah Nyiioo! Sadarlah sekarang juga!” Nyiioo benar-benar nggak paham maksud dari gadis kecil sialan itu, bagaimana bisa ia mempermainkannya seperti ini?
“Diam! Gara-gara kamu, aku hampir membunuh Mamaku. Aku nggak tahu salahku apa sampai kamu seperti ini. Dasar Iblis,” cecarnya. Nyiioo kemudian kembali mencari si Mama. “Ma … Mama. Mama di mana! Nyiioo janji nggak akan nakal lagi.”
Gadis kecil itu menyilangkan tangan, ia kemudian memiringkan kepala menatap Nyiioo lekat. Penampilannya sudah tak seseram tadi, cenderung seperti anak kecil seusianya yang menyebalkan. “Kamu mencari Mama? Sadarlah … Apa Neon nggak memberitahumu soal Mama?” “Neon?” Nyiioo mengernyit, entah kenapa ia seperti pernah mendengar nama itu. “Siapa Neon?” Gadis kecil itu mendecih. “Kamu beneran nggak ingat? Neon akan marah besar sama kamu.”
Nyiioo mendekat ke arah anak kecil itu lalu memegang pundak dan menggungcangnya. “Jangan main-main denganku, katakan siapa Neon dan di mana Mamaku?” Bukannya takut, anak kecil itu menantang Nyiioo. “Kalau aku nggak mau memberitahumu, apa yang akan kamu lakukan?” “Aku akan membunuhmu, jadi cepat katakan!” “Baiklah.” Anak kecil itu menyeringai setelah Nyiioo melepaskan cengkramannya. Baginya, bertemu dengan makhluk kecil sialan itu adalah bencana.
“Lihat ke kanan,” suruhnya. “Lihat baik-baik dan perhatikan.” Tanpa banyak berpikir, Nyiioo menurut dan dikejutkan dengan adanya sebuah pintu. Padahal seingat dia, pintu tersebut sebelumnya nggak pernah ada. Ia mengucek mata, tetapi malah tempatnya berpijak berubah menjadi ruang hampa yang kosong. Sejauh mata memandang, ia nggak menemukan apa-apa selain pintu itu dan si anak kecil. Jelas saja hal tersebut membuat Nyiioo ketakutan. “Apa yang kamu lakukan? Jangan main-main. Tempat apa ini?” “Bukannya kamu ingin tahu kebenaran soal Mama dan Neon? Buka pintu itu maka kamu akan tahu.”
Plak! Nyiioo gregetan, tanpa sadar ia melayangkan tamparan keras di wajah anak kecil itu. Anak kecil tertawa dan tawanya lebih menggelegar daripada yang tadi. Ketika Nyiioo ingin memberinya pelajaran lagi, tiba-tiba saja pintu itu membuka dan menarik Nyiioo ke dalamnya.
Nyiioo tiba-tiba berada tepat di tengah-tengah taman belakang rumah. Ketika sibuk mencari, ia dikejutkan oleh suara anak kecil bercakap-cakap. Anak kecil itu tampak bermain dengan seeokor kucing berwarna hitam. Anak tersebut terlihat sangat gembira. Masih mengamati, Nyiioo merasakan kalau ada seseorang yang sedang menarik ujung bajunya, seorang anak kecil laki-laki yang entah datang dari mana.
Nyiioo menoleh dan bertanya, “Apa kamu tahu di mana tempat ini?” Bukannya menjawab, anak itu malah mengajak Nyiioo bermain kejar-kejaran. Karena ini bukan hal yang tepat, Nyiioo menolak halus tawaran itu dengan dalih kalau ia ingin mencari Mamanya dan jalan pulang.
Anak laki-laki itu kemudian menujuk ke arah anak kecil perempuan tadi. “Di sana … dia mencekiknya hingga mati.” Mengernyit, Nyiioo menoleh dan benar saja anak kecil perempuan itu tampak sedang mencekik kucingnya dengan amat keras. Melihat hal tersebut, Nyiioo berlari secepat mungkin mencoba menghentikan. Ketika sampai, Nyiioo mendorong anak perempuan itu menjauh. Terlambat, kucing itu sudah mati.
“Apa yang kamu lakukan? Bagaimana mungkin kamu mencekik kucingmu sampai mati?” “Kata Neon, jika Tio masih di sini, ibu pasti akan lebih menyayanginya daripada aku.” “Apa yang kamu katakan?” “Benarkan? Mama lebih menyayangi Tio daripada aku.” “Dasar gila!”
Nyiioo kemudian membawa kucing itu dan menguburkannya. Hingga ketika ia hampir selesai, tiba-tiba saja dari belakang seseorang memukul kepalanya dengan batu. Nyiioo tersungkur, si pemukul itu adalah si anak kecil perempuan di mana tepat di samping kiri ada anak kecil laki-laki itu memperhatikan. Nyiioo mencoba bangkit, tetapi anak perempuan itu kembali memukulnya hingga berakhir pingsan.
“Mama … Mama di mana? Nyiioo salah, Nyiioo pantas dihukum.”
Samar, Nyiioo mendengar suara itu. Refleks ia membuka mata dan mendapati dirinya sudah berada di dalam sebuah rumah tua. Ia kemudian memegang kepalanya yang habis dipukul, tapi ajaibnya ia tak menemukan luka sedikit pun tergantikan dengan jejak berdarah tepat di samping.
Nyiioo bangkit, memperhatikan jejak itu seksama. Sebuah jejak seakan ada sesuatu yang diseret di sepanjang koridor meninggalkan bekas. Ujung dari bekas tersebut adalah menemukan bungkusan besar di selasar, tempat jejak darah itu berakhir. Dengan takut, ia menyentuh bungkusan besar itu dan berusaha membuka ikatannya. Ketika hampir terbuka, ia mendengar suara lagi.
“Ibumu lebih sayang Tio daripada kamu. Kalau kamu ingin disayang, bunuh Tio seperti kataku. Cekik dia sampai mati.”
Bersamaan, suara benda diseret pun menguar. Ia menoleh secepat mungkin dan mendapati kalau anak kecil perempuan tadi tengah menyeret sebuah karung besar dengan susah payah. Anehnya, karung itu mirip seperti yang ia coba buka. Mendapati hal tersebut, Nyiioo kembali melihat ke karung di depannya yang kemudian mendadak hilang. Tentu kekagetannya bertambah ketika anak kecil perempuan itu berubah jadi dirinya yang lain.
Ia melihat kalau dirinya tengah menyeret karung tersebut ke tengah koridor. Setelah sampai, dirinya pun mengankat kaki bersiap untuk menginjak. Namun, tiba-tiba saja pintu terbuka menampilkan sosok wanita berbaju hitam. Wanita itu membawa Nyiioo dan mendudukannya. Dia juga menyerahkan beberapa obat untuk Nyiioo minum.
“Ini tidak mungkin! Apa yang terjadi? Di mana Mama?” Nyiioo yang asli mengelak, ia jelas-jelas ada di sini sekarang dan nggak mungkin dia yang lain ada di sana. “Sadarlah, Nyiioo. Sadarlah! Mamamu sudah mati. Kamu membunuhnya. Ha ha ha.” “Tidak, ini tidak mungkin! Mana mungkin aku membunuh Mama. Mamaku masih hidup.”
Plak! Rasa panas kemudian menjalar di wajah Nyiioo. Wanita yang mendudukan tubuh lainnya tiba-tiba saja muncul dan menampar dirinya. Tentu Nyiioo memberontak, ia kemudian bangkit mencari Mamanya.
“Mama di mana? Katakan di mana dia?”
Nging! “Jangan hiraukan Mama. Mama akan selalu bersamamu. Kita hanya berdua, apa pun yang terjadi, Mama akan melindungimu, Nak.” Suara itu kembali merasuk memenuhi kepala Nyiioo. Nyiioo menegadah. Ia mencari Mamanya. “Ma … mama di mana? Maafkan aku. Aku janji nggak akan nakal lagi.”
“Nyiioo … ck … Apa yang kamu lakukan? Kenapa akhir-akhir ini kamu bertigkah aneh?” “Aneh? Apa kamu menganggapku gila?” Plak! Nyiioo meringis.
“Saya mohon jangan seperti ini. Mama Nyonya sudah tenang di atas sana.” “Kamu bohong! Aku nggak mengenal kamu. Di mana Mama dan dua anak kecil sialan itu? Anak kecil itu mempermainkanku. Gara-gara mereka, aku hampir membunuh Mamaku.”
Wanita itu menghela napas berat, nggak ada pilihan. Ia kemudian mengambil satu spoit berisi obat penenang secara diam-diam lalu menyuntikannya pada Nyiioo. “Mama Nyonya sudah meninggal tiga puluh tahun lalu. Semua yang Nyonya alami adalah halusinasi akibat trauma itu.”
Deg! Seiring dosis obat menyebar, keterkejutan Nyiioo juga meredam. Tubuhnya perlahan-lahan melemas dan tidur sebagai akhir. Ternyata, selama ini Nyiioo hanya berhalusinasi setelah ia membunuh Mamanya akibat hasutan teman khayalan.
Semula-mula ia hanya membunuh Tio si kucing pemberian Mama dengan dalih kalau Mamanya lebih menyayangi Tio dari dirinya. Melihat si Mama begitu menangisi kepergian Tio, ia pun membunuh Mamanya dengan memukulnya dengan batu besar. Nggak sampai di situ, ia juga memisahkan tubuh si Mama menjadi beberapa bagian agar mudah dipindahkan. Setelahnya ia kemudian menyerahkan diri ke polisi dan mengakui semua perbuatan itu. Karena dianggap kurang waras, ia lalu dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa untuk menjalani perawatan.
Di sana, otaknya selalu mengulang kejadian kelam tersebut, hingga karena keseringan, maka otaknya kemudian menambah-nambahkan ingatan lain dan meleburkannya menjadi satu.
Maka dari itu, jangan pernah bermain-main dengan otak atau pikiran. Otak bisa saja salah mengintreprestasikan sesuatu hingga berujung trauma mengerikan. Seperti berada pada kegelapan yang tak tahu harus ke mana, mereka terjebak dalam lingkaran sesat si Iblis. Dalam kasus Nyiioo, Iblis yang berpengaruh adalah sosok anak kecil laki-laki yang tak lain adalah teman khayalannya yang ia percaya. Sosok Iblis kecil yang bersarang di jiwa Nyiioo. Karenanya, hidup Nyiioo pun kian mengelam. Kelam sekelam-kelamnya.
“Hello, Nyiioo!” Nyiioo yang terduduk di atas bed menghadap jendela berpaling ke arah sumber suara tersebut. Ia melemparkan senyuman hangat pada anak kecil laki-laki yang sudah terduduk tepat di sampingnya.
“Neon? Apa yang kamu lakukan.” “Tidak ada! Aku hanya ingin memberitahumu.” “Apa?” “Mendekatlah …”
Nyiioo pun menurut, Neon berbisik, “Mau coba mati sekali?” Sambil menunjuk jendela yang tebuka itu.
Tak menjawab, ia seperti terhipnotis. Nyiioo berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Sesaat ia mengamati kemudian melompat dari sana tanpa beban. Neon tertawa, lalu melirik gadis kecil yang mendorong Nyiioo dengan keras.
Cerpen Karangan: Trouvemoiici Blog / Facebook: Nyiioo Jung.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 3 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com