Tulisan “Dijual” di tembok pagar rumah itu telah hilang, menandakan penghuni baru akan segera datang. Satu bulan yang lalu aku masih duduk di bangku taman rumah bertembok batu bata merah itu sambil menikmati secangkir teh bunga rosela dan beberapa keping biskuit lemon. Oma Irene sang pemilik rumah kerap mengajakku berbincang sambil duduk di bawah rindangnya pohon pinus. Namun sayang tiga minggu yang lalu Oma Irene pergi menyusul Opa Jan dalam keabadian.
Aku menatap rumah bercerobong asap itu. Sepi, belum ada satu pun batang hidung pemilik baru yang nampak. Rumah itu memiliki desain yang sangat aku sukai. Halamannya yang luas banyak ditumbuhi berbagai macam tanaman. Aku betah berlama-lama disana dan sama sekali tak berkeberatan menyirami semua tanaman bila Oma Irene pergi menengok anak cucunya. Kini aku merasa khawatir akan kehilangan suasana indah rumah itu seiring dengan kedatangan penghuni baru.
Aroma segar pagi langsung menyeruak ke dalam kamarku ketika aku membuka jendela. Biasanya aku akan kembali melemparkan tubuhku ke atas ranjang dan menarik kembali selimut yang tersingkap. Hari minggu adalah waktunya bersantai sampai siang. Namun tidak hari ini karena pemandangan di bawah lebih menarik dibanding dengan empuknya ranjang dan hangatnya selimut patchwork buatan Mama.
Dari ketinggian balkon kamarku, aku melihat seorang lelaki sibuk hilir mudik mengangkut barang-barang dari sebuah mobil box. Raut wajahnya dingin, kedua lengannya dipenuhi dengan tatto. Sesekali ia menatap ke jalanan yang lengang dan rumah-rumah lain termasuk rumahku. Aku menyembunyikan kepalaku di balik pagar balkon ketika secara tiba-tiba ia mendongak ke atas. Mendadak aku merasa tidak nyaman dengan keberadaan tetangga baruku itu.
“Permisi.” Aku berhenti sebentar dari kegiatanku lalu menjelau ke luar pagar, tak ada siapa-siapa. Kupotongi kembali ranting-ranting mawar yang menyembul di antara pagar kayu.
“Permisi.” Suara itu kembali terdengar dan kini sangat jelas. Aku terlonjak begitu melihat siapa yang menyapaku. Jantungku seakan mau copot. “Maaf, rumah Pak RT dimana ya?” Lelaki bertatto itu kini telah ada dihadapanku, terhalang rumpun mawar yang bergerombol melapisi pagar. “Eeeee… disana … nomor 20.” Aku menjawab dengan gugup sementara dia menatapku dengan tajam. Lalu ia pun membungkuk sambil mengucap terima kasih dan melangkah pergi. Sopan namun dingin.
Kini setiap hari aku memiliki kegiatan baru yaitu memperhatikan polah tetanggaku yang telihat misterius. Ia tinggal di rumah itu sendiri. Papa pernah mengajaknya mengobrol ketika lelaki itu tengah membersihkan pekarangan rumah. “Namanya Ken, bujangan, blasteran Jepang.” Papa melirikku, senyum tipis menghiasi bibirnya. Aku mendelik. “Ken Watanabe? Kento Momota? Kentos kelapa?” Bibirku keriting, Papa tergelak. “Ken Hamada!” Seru Papa. “Kerjanya apa?” Mama bertanya tanpa menghentikan kegiatan merajutnya. “Punya usaha.” Jawab Papa pendek. “Ya, usaha apa?” Mama meletakkan rajutannya lalu memberi cangkir tehnya dengan pemanis rendah kalori. “Katanya sih bisnis yang berkaitan dengan menyenangkan orang.” Jawab Papa serius. Dahiku berkerut.
Aku terbelalak ketika melihat lelaki yang mengaku bernama Ken itu tengah sibuk dengan dua bilah pisau berukuran besar yang ia gesekan satu sama lain sambil bertelanjang dada. Mata pisau itu nampak sangat tajam, berkilat di bawah sinar mentari yang garang. Terlihat deretan tatto berdesakan di hampir setiap inchi tubuhnya. Kuraih binokularku dengan segera, naga … ular … dan burung Phoenix, ah tak salah lagi.
Kemarin aku melihatnya tengah membuat lubang di antara rumpun mawar dan sore ini aku melihat cairan merah kental tercecer di sepanjang jalan menuju rumahnya. Bau amis menguar ketika aku mendekati kendaraannya yang terparkir di jalan. Kuduga cairan itu adalah darah. Aku pun segera menyingkir dari sana ketika telingaku mendengar langkah kaki mendekat.
Malam ini tetangga baruku itu telah membuatku memeras otak. Aku sangat penasaran dengan semua hal ganjil tentangnya Gumpalan rasa ingin tahuku pun meledak-ledak tanpa jeda.
Lelaki bernama Ken itu memiliki bisnis dalam hal menyenangkan orang. Ayahnya berasal dari Jepang dan tubuhnya dipenuhi tatto yang spesifik. Tatapan matanya tajam, raut wajahnya dingin. Pisau, lubang, dan cairan kental berwarna merah itu ….
“Ya Tuhan.” Jantungku berdegub kencang. “Ken pasti ada hubungannya dengan Yakuza yang menjalankan salah satu bisnisnya di sini. Bisa jadi ia adalah seorang pembunuh bayaran.” Aku berbicara pada diriku sendiri.
Suara deru kendaraan membuyarkan semua hal yang ada dalam benakku. Dari balik tirai aku melihat kendaraan four wheel drive milik Ken keluar. Aku berpikir inilah kesempatanku untuk menebus semua rasa penasaran, kebetulan Mama dan Papa tengah menginap di rumah Kak Vera.
Dalam keremangan lampu taman aku berjingkat menghampiri gundukan tanah yang berada diantara rumpun mawar. Bisa jadi enam kaki di bawah sana ada raga yang menanti untuk diungkap. Aku bergidik lalu meneruskan langkahku menuju teras.
Tirai jendela berkaca besar itu tidak ditutup. Aku menyipitkan mataku untuk melihat lebih jelas apa yang ada di dalam sana. Mataku terbeliak ketika melihat banyak sekali jenis pisau yang tergeletak di meja. Dua buah katana menempel bersilangan di dinding, Sebuah busur lengkap beserta anak panahnya berdiri tegak di sudut ruangan berbatu-bata merah itu.
Perlahan aku berjalan ke arah garasi yang terbuka, berharap ada sesuatu yang bisa menguatkan dugaanku. Di lantai terlihat masih ada noda-noda merah yang telah mengering sedangkan yang di jalan telah ia bersihkan sesaat setelah kegiatan angkut-mengangkutnya selesai.
Rasa penasaranku kian memuncak ketika melihat tumpukan box kontainer di sudut ruangan, perlahan kubuka tutupnya. Belum sempat aku melihat isinya, sinar lampu halogen lebih dulu menangkap basah wajah terkejutku.
Ken keluar dari kendaraannya dan menatapku heran. Sejenak aku terpaku namun segera menyadari situasi yang tengah terjadi. “Pus … pus … Bonnie … dimana kamu …” Aku merasa suaraku sedikit bergetar, aku tak bisa menutupi rasa takutku. “Vanya?” Ken menghampiriku. “Mmhhh … maaf, aku tidak permisi dulu masuk kemari. Aku mencari Bonnie.” Aku mencoba berkata dengan setenang mungkin. “Bonnie? Bukannya kemarin dia baru saja dikuburkan?” Ken menatapku penuh selidik. Deg. Mengapa aku bisa lupa hal itu. Aku mengumpat pada diriku sendiri. “Eh … ak …” Ken memandangi kakiku, aku baru sadar bila sandal yang aku gunakan terkena lumpur yang berada di dekat rumpun mawar tadi. Ken menatap mataku tajam.
“Mmmhh … maaf atas gangguan ini, aku pulang, Papa dan Mama pasti mencariku.” “Tidak ada yang mencari kamu. Orangtua kamu pergi, ya kan?” Ken menghalangi jalanku. Aku tak mengerti mengapa dia mengetahui itu semua. Jangan-jangan dia tahu kalau selama ini aku memata-matainya. “Tapi ini sebuah kebetulan yang menyenangkan karena aku tidak perlu memaksa kamu untuk datang kemari.” Glek.
“Yuk.” Ken meraih pergelangan tanganku lalu memaksaku berjalan. Aku berusaha melepaskan diri namun genggaman tangannya tak dapat dilawan. Perutku mendadak mual, aku ingin berteriak namun mulutku seakan terkunci rapat. Ya Tuhan, apakah aku akan menjadi korban berikutnya?
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, rasa takutku telah memburamkan akal sehatku. Kini aku ada dalam ambang kepasrahan. Aku hanya bisa berdoa bahwa hari ini bukanlah hari terakhirku berada di dunia. Bukankah keajaiban itu selalu ada?
Aku melirik ke arah meja yang dipenuhi oleh berbagai macam pisau dan Ken mengambil salah satunya. Ia tersenyum kecil, meraih sebuah kacamata bergaya militer yang tergeletak di sofa. Ken kembali membawaku, melewati ruang keluarga, lorong lalu dapur, tempat di mana aku dulu sering membantu Oma Irene untuk membuat Ontbijtkoek, kue kegemaran putra sulungnya.
“Kamu mau bawa aku kemana?” Aku memberanikan diri untuk bertanya dalam selubung ketakutan yang meraja. “Bukan kejutan kalau kamu tahu lebih dulu, ya kan?” Ken membuka pintu menuju ruang bawah tanah, ruang yang dulu digunakan oleh Opa Jan sebagai tempat penyimpanan botol-botol anggurnya yang bersejarah. “Aku tidak mau kesana! Dengar ya Tuan Hamada, aku akan berteriak sekeras-kerasnya.” “Teriak? Wah wah aku tidak menyangka tamu pertamaku ini sangat ekspresif.” Ken berkata dingin. “Ayo jalan, hati-hati dengan tangganya.” Ken membimbingku menuruni anak tangga.
Kini aku terperangkap dalam kegelapan, Ken mendudukanku di kursi. “Tetap disini, jangan bergerak.” Begitu Ken menjauh, tanpa pikir panjang aku pun bergegas bangkit untuk melarikan diri. Namun sial, kegelapan bukanlah teman yang baik bagiku, aku terjatuh dan bibirku terantuk ujung kursi. Rasa perih menjalar dengan cepat.
Tiba-tiba ruangan bermandikan sinar temaram. “Kamu mau kemana?” Ken menghampiriku yang terduduk di lantai. “Bibir kamu berdarah, tunggu sebentar.” Ken beranjak. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melesat ke arah pintu. Namun langkah lebar Ken mengalahkan usahaku untuk melarikan diri.
Kini lelaki itu telah ada di hadapanku lalu membalikkan tubuhku menghadap meja. “Aku hanya akan mengajakmu makan malam, kenapa kamu malah blingsatan seperti ini?” Ken menunjuk meja makan.
Oh tidak, apakah hidangan itu adalah perjamuan terakhirku sebelum dia … Aku menatap nanar meja besar dengan penataan yang sangat elegan itu. Tubuhku menggigil, aku menangis dalam keputusasaan.
“Sudah jangan menangis, ini luka kecil kok.” Ken menyeka darah yang ada di bibirku dengan selembar serbet. “Tolong lepaskan aku, aku tidak bermaksud memata-matai kamu. Aku berjanji rahasiamu akan aman di tanganku.” Tiba-tiba keberanianku keluar dari persembunyiannya. “Rahasia apa?” Ken menatapku dengan bingung namun ia pun segera mafhum. “Ooh ini? Tidak, ini semua bukan rahasia, nanti juga akan banyak yang tahu terutama para pelangganku.” Lanjutnya santai.
“Ken sebaik apapun kamu menyembunyikan semua perbuatan busukmu pada waktunya pasti akan terbongkar juga.” “Asal kamu tahu ya setelah kamu menguburku di ruangan bawah tanah ini, aku akan selalu menghantuimu, camkan itu Tuan.” Aku merepet, Ken melongo. “Kamu tidak bisa menutupi semuanya, bisnis menyenangkan orang, gundukan tanah di halaman, ceceran cairan merah, pisau serta senjata tajam di ruang tamu, dan semua tattomu itu adalah bukti.” “Satu lagi, kamu pernah bertanya di mana rumah Pak RT kan? Itu karena kamu harus mengukur jarak aman untuk semua tindak kejahatan yang akan kamu lakukan, apa aku salah?” Aku menggertak namun bergidik ketika menatap sang naga yang tengah menjulurkan lidahnya di lengan lelaki itu.
Ken mengerutkan dahinya, raut wajahnya yang dingin berubah seketika, tawanya pun meledak. “Ya ampun, Vanya .. kamu terlalu banyak membaca novel thriller. Kamu kira aku akan menghabisimu karena aku tahu kalau kamu sering mematai-mataiku, begitu?” “Sini biar aku jelaskan.” “Aku tak butuh penjelasan, aku sudah punya bukti.” Mendadak keberanianku meledak-ledak. “Hmm ternyata perkataan Papa kamu benar bila kamu itu keras kepala. Tapi bagaimanapun juga, aku akan menjelaskan semuanya agar tidak ada salah faham diantara kita.” Ken tersenyum dan mempersilakanku duduk.
“Vanya, aku adalah chef untuk restoranku sendiri. Bukankah restoran adalah salah satu bisnis yang dapat menyenangkan orang?” “Dan seorang chef memerlukan banyak pisau untuk mengolah makanan, iya kan?” “Gundukan tanah dekat rumpun mawar itu adalah tempatku mengubur beberapa buah semangka hasil panen seorang teman agar tahan lama.” “Beberapa senjata di ruang tamu adalah peninggalan moyangku yang kami dapat secara turun-temurun.” Ken menatapku, namun kini tidak sedingin biasanya. “Dan tentang rumah Pak RT. Vanya, aku ini penduduk baru di sini, aku wajib melaporkan keberadaanku.” “Apalagi, oh ya tatto, setiap orang memiliki hak untuk menggambari tubuhnya. Ular, naga, serta burung phoenix memang identik dengan Yakuza namun tak berarti aku ini salah satu dari mereka kan? Jangan mengada-ada.” Ken tersenyum simpul.
“Semua analisaku tidak mengada-ada, aku punya bukti. Bagaimana dengan cairan merah itu? Kamu tidak bisa mengelak dari bukti yang satu itu.” Aku berkata galak, rasa takut ku mendadak lenyap. “Ah ya, darah? Itu memang darah tepatnya darah rusa, kebetulan saat itu plastik pembungkusnya sobek.” “Dan rusa itulah yang menjadi hidangan utama malam ini.” Ken tersenyum. Aku terhenyak mendengar semua penjelasan Ken, tubuhku kaku pikiranku buntu.
“Vanya, sudah lama aku ingin mewujudkan hal ini.” Cleguk. Aku menelan ludah. “Sebuah konsep jamuan makan malam dalam kegelapan. Para tamu akan menikmati hidangannya tanpa melihat rupa dari makanan yang akan mereka santap.” “Dan malam ini aku ingin menguji cobakan konsep baruku ini.”
“Sebenarnya aku mengundang orangtuamu juga.” Aku menelan ludah kembali, rasa malu menjalar di seluruh aliran darahku.
“Jadi kamu bersedia kan menjadi tamu pertamaku dalam perjamuan malam kali ini?” Tanpa menunggu jawabanku, Ken langsung memadamkan lilin dengan sekali kibas.
Cerpen Karangan: Ika Septi Facebook: Ika Septi
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com