“Stop! Jangan teruskan, Ed!” Bu Guru memajukan tangannya untuk menyuruh Kang Edi diam. “Kenapa, Bu? Bukankah ini teori saya? Saya menemukan teori ini bukan dari hasil menjiplak teori orang lain!” Kang Edi mengangkat kedua tangannya ke samping. “Iya. Tapi kepala saya hendak pecah! Otak saya jadi pusing!”
Tidak hanya itu saja. Selain Kang Edi dikenal jenius dengan penemuan ‘Teori Nol’ dan ‘Teori Titik’-nya, dia juga dikenal jujur. Pernah ketika kami-termasuk aku-sedang patrol keliling pada malam bulan Puasa, teman-teman yang lain mencuri mangga milik tetangga. Mereka mencari batu lalu disasarnya ke arah mangga yang menggelantung di pohon. Lalu mangga tersebut jatuh ke tanah dan diambilnya. Di saat yang lain memakan mangga dari mencuri, Kang Edi sama sekali tidak ikut makan. Karena sifatnya yang jujur, Kang Edi malah dikatakan sok suci, sok alim, dan sok-sok yang lain yang nadanya meremehkan kebaikan hati seseorang. Lha buktinya, setelah dewasa, teman-teman yang dulu pernah mencuri mangga kini di tempatnya bekerja, mereka juga mencuri milik bos atau temannya. Sedangkan Kang Edi, hidupnya aman dan sentosa. Tapi justru kebaikannya itu membuat orang berburuk sangka. Ada apa memangnya di dalam kamar rahasia itu?
Pagi itu, aku hendak berangkat ke sekolah. Aku mengayuh sepedaku dan seperti biasanya aku lewat di depan rumah Kang Edi. Apesnya, pas hendak lewat di depan rumah Kang Edi, tiba-tiba ban sepeda belakang hilang angin. Aduh! Aku lupa belum mengisinya kemarin sore. Aku orangnya memang pelupa dan lalai. Lantas aku menuntun sepedaku.
“Bas, kenapa sepedanya?” Kang Edi yang saat itu sedang menyeruput kopinya di teras bertanya padaku dengan setengah berteriak. “Kempis, Kang! Aku lupa mengisi anginnya kemarin sore.” Aku memasang standard sepeda dengan kaki kananku di depan pagar rumah Kang Edi. “Ayo ke sini! Pompa dulu bannya biar nggak semakin rusak.” Kang Edi bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku. “Iya, Kang.” Aku memasukkan sepedaku ke halaman rumah Kang Edi. “Duduk di sini dulu sambil minum!” “Iya, Kang. Terima kasih!”
Lalu aku duduk di kursi yang berada di teras, sementara Kang Edi masuk ke dalam rumah. lamat-lamat aku mendengar Kang Edi sedang berbicara sama istrinya. Aku duduk dengan was-was. Karena menurut cerita orang-orang kampung, Kang Edi habis menuntut ilmu ghaib. Kata tetangga, Kang Edi memiliki ilmu terawang-bisa melihat seseorang dari kejauhan-dan bisa melihat keadaan orang itu dengan cukup memandang dinding. Kata yang lain, Kang Edi juga bisa mengobati orang yang kena tenung atau santet. Menurut yang lain lagi, Kang Edi bisa mengambil benda-benda ghaib dari alam jin dengan cukup duduk di tempatnya. Dan menurut sebagian yang lain lagi, Kang Edi adalah seorang teroris. Tapi, saat aku bertemu Kang Edi, sama sekali aku tidak menemukan keanehan yang ada pada dirinya. Kang Edi tidak pernah memakai pakaian gamis warna gelap, tidak pernah berjanggut, tidak pakai kopiah, dan tidak pernah menjinjing tasbih. Serta lagi, di jidatnya juga tidak berwarna hitam. Yang jelas, tidak ada tanda-tanda sebagai orang munafik dalam diri Kang Edi.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Kang Edi muncul dari dalam rumahnya. Di tangannya ia membawa sebuah pompa angin. Lalu ia memberikannya padaku. Aku pun bergegas bangkit dan berjalan menuju sepeda untuk mengisi bannya. Setelah kurasa cukup, aku mengembalikan pompa tersebut pada Kang Edi. “Terima kasih, Kang!” Aku menyodorkan pompa angin pada Kang Edi. “Iya. Kamu sudah sarapan, Bas?” Kang Edi menyambut pompa dengan tangan kanannya dariku. “Sudah, Kang!” Aku menganggukkan kepala. “Kamu hanya sarapan dengan roti kan? Bukan dengan nasi?” “Lho kok Kang Edi tahu?” Aku mendelikkan mata. Terkejut. Kang Edi ternyata tahu, kalau aku tadi hanya sarapan dengan sepotong roti. “Ayo sarapan dengan nasi dulu! Itu mbaknya baru saja habis masak soto ayam.” Kang Edi menarik tanganku supaya masuk ke dalam rumahnya. Aku tidak bisa menolak ajakan Kang Edi. Akhirnya aku sarapan dengan soto ayam dengan ditemani Kang Edi.
“Bas, kamu kan sekolah jurusan IPA tho?” Kang Edi mengangkat gelasnya lalu menyeruput teh hangat. “Iya, Kang. Kenapa?” Aku menyendok nasi dengan sendok. “Kalau ada suatu benda angkasa yang hendak jatuh ke bumi, tentunya harus melewati lapisan atmosfer sehingga benda tersebut terbakar? Misalnya, kalau ada batu asteroid, maka benda tersebut terbakar karena lapisan atmosfer tersebut sehingga terbelah menjadi meteor yang bercahaya.” Kang Edi meletakkan gelas di meja. “Benar, Kang.” Aku meletakkan kembali sendok di piring. “Nah, kalau benda angkasa terbakar saat melalui lapisan atmosfer, bagaimana dengan Nabi Adam saat diutus ke bumi? Tentu saja Nabi Adam yang berwujud jasad juga terbakar tho? Tapi pada faktanya, Nabi Adam dan Ibu Hawa tidak terbakar?” “Waduh, Kang. Pertanyaan Kang Edi berat banget. Pusing kepala saya!” Aku memegang kepalaku. “Begini, Bas. Memang benar Nabi Adam tidak terbakar, tapi hanya saja pusing. Itulah yang dinamakan dengan ilmu Haqiqat. Dan kamu harus belajar ilmu itu. Jangan ilmu Syareat thok! Nanti malam sebelum Magrib, kamu datang ke sini ya!” Kang Edi menepuk-nepuk pundakku.
Yes, ini adalah kesempatan buatku untuk mengetahui kamar rahasia yang selama ini membuatku penasaran. Memangnya apa yang dilakukan oleh Kang Edi di dalam kamar yang gelap tiap malam Senin dan Jumat? Apakah benar yang dikatakan oleh orang-orang selama ini?
Malam harinya, pas waktu hendak Magrib aku datang ke rumah Kang Edi. Ternyata Kang Edi sudah mengenakan baju koko dan sarung. Kemudian, pas selesai azan aku diajaknya masuk ke dalam kamar rahasia itu. Ternyata, di dalamnya aku hanya melihat dua lembar sajadah yang dihadapkan ke arah kiblat. Tidak ada peralatan dukun atau tenung di dalam kamar itu. Jadi, selama ini aku hanya mendengarkan sesuatu yang salah dan hanya sebuah prasangka buruk. Aku jadi malu pada diriku sendiri karena telah berburuk sangka terhadap Kang Edi.
“Saya selalu melakukan tafakkur tiap malam Senin dan Jumat. Ketika orang-orang sibuk bercinta dengan istri mereka yang semu, aku bercinta dengan Allah sepanjang malam. Sehingga aku menemukan cinta yang sejati, yaitu cinta seorang hamba kepada Tuhannya.” Kang Edi duduk di atas sajadah.
Cerpen Karangan: Khairul Azzam El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliiiky
Probolinggo, Juni 2021 Novelis. Lahir di Probolinggo. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com