Rombongan babi hutan menggasak semua tanaman ubi jalar dan singkong di ladangku. Sisa-sisa akar yang tercerabut dari tanah tampak berserakan di tanah. Daun-daunnya juga terpontal-pontal ke mana-mana. Bahkan pagar bambu yang menjadi pembatas antara hutan dan ladang juga porak-poranda. Kata Pak Sutan tadi malam rombongan babi hutan mengamuk. Mereka tidak hanya menjarah ladangku tapi juga termasuk belasan pohon pisang di ladang milik Pak Marlan juga bertumbangan gegara babi hutan. Aku menyesalkan perbuatan hewan liar yang dilindungi oleh negara itu. Sebab gegara mereka ubi jalar yang sudah memasuki masa panen gagal untuk kujual ke pasar kota.
Menurut cerita dari Pak Sutan, saat hujan lebat membasuh hutan dan perkampungan tadi malam, dia melihat rombongan babi hutan mulai dari induknya yang paling besar hingga anak-anaknya yang kecil-kecil keluar dari hutan. Demi mempertahankan kehidupan mereka terpaksa meninggalkan hutan karena bahan makanan yang tersedia hampir habis. Mereka sama sekali tidak memikirkan nyawa karena perangkap yang dipasang oleh para pemburu. Dengan ujung taring-taring tajamnya, mereka menyeruduk pagar bambu yang telah kubuat. Lalu dengan rakusnya mereka mengeruk tanah dan mengambil ubi jalar yang kutanam bersama istriku. Lantas mereka membawa ubi-ubi tersebut ke dalam hutan sebagai persediaan makanan untuk beberapa bulan. Tidak hanya itu, babi-babi tersebut juga mengamuk di ladang pisang tetangga kami dan menggasak semua pisang yang hampir masak.
Selama ini hama babi hutan yang menyerang ladang-ladang sama sekali tidak pernah terjadi. Karena persediaan makanan di dalam hutan terpenuhi. Namun belakangan ini hama babi hutan mengganggu ketenangan hidup warga untuk mengambil makanan dan membawanya ke hutan. Kadang ada pula warga yang geram atas ulah babi hutan itu lalu memasang perangkap. Jika ada seekor babi hutan yang masuk perangkap maka mereka akan mengurungnya. Tidak ada seorang pun warga yang berani menembak babi-babi yang dilindungi oleh pemerintah itu. Karena membunuh hewan lindung ada sanksi berat menuggu. Untuk mengatasi hama babi hutan yang mulai mengancam ladang-ladang warga, kami pun mencari cara untuk bisa menghalangi mereka masuk dan merusak tanaman.
Aku dan istriku kembali menanam bibit ubi jalar di tanah ladang milik keluargaku. Untuk mengantisipasi akan adanya serangan balik dari babi-babi hutan, aku menanam pohon jagung dan keladi di sekeliling pagar. Maka dengan begitu, mereka akan menggasak buah jagung dan keladi. Selain itu aku juga sering menyambangi ladangku dan seharian menjaga air untuk mengairi tanaman ubi jalarku yang mulai keluar daun tunas. Detik berkumpul menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam menjadi hari. Hari menjadi minggu. Tak terasa tanaman ubi jalarku sudah lebat daunnya. Akarnya yang besar-besar seperti urat tangan menjalar ke mana-mana dan membuahkan umbi-umbi di kedalaman tanah. Cacing-cacing tanah yang berada di dalamnya membantu menggemburkan tanah sehingga umbi-umbi itu menjelma menjadi buah ubi yang gemuk-gemuk. Gempil-gempil.
Namun hanya dalam hitungan menit, ubi-ubi yang hampir panen itu kembali digasak oleh kawanan babi hutan. Akar-akarnya terpontal-pontal berserakan di mana-mana. Daun-daunnya yang hijau-hijau juga robek-robek hingga tak berbentuk. Bahkan pagar ladangku rusak parah. Kali ini babi hutan bertambah ganas. Persediaan makanan di dalam hutan semakin menipis. Banyak pohon yang ditebangi oleh pembalak liar hingga spesies mereka terancam punah.
Aku mengolah ladang peninggalan keluargaku dan menanaminya dengan ubi setelah aku dan istriku memutuskan untuk tinggal di kampung. Kami ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kota. Anak-anak tidak kami bawa. Sebab mereka sudah memiliki rumah masing-masing dan sudah tinggal bersama keluarga mereka. Sementara dua anak kami yang lain masih melanjut-kan kuliah di sebuah perguruan tinggi. Aku sudah lama merindukan suasana tenang dan damai perkampungan. Tinggal di rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu. Kadang jika aku tidak pergi ke kebun, maka aku menghabiskan waktuku untuk berlama-lama menatap komputer. Jari-jemariku terasa gatal kalau tidak kuperintahkan untuk menulis. Di masa tuaku, aku habiskan sisa-sisa umur dengan menulis buku yang bermanfaat. Apalagi aku sudah memasuki masa pensiun.
Dengan berbekal cangkul dan sebilah arit, aku mengayuh sepeda kumbangku ke arah ladang. Pagi ini aku ingin pergi ke ladang. Tak lupa istriku membawakan aku bekal berupa sekotak nasi lengkap dengan termos berisi air kopi. Sesampainya di ladang, aku mencangkul tanah. Namun baru saja ujung cangkulku menancap di tanah, dia terpental seolah-olah telah membentur sesuatu yang keras. Lantas kuperiksa benda itu. Aku menduga kalau benda keras tersebut mungkin batu yang sangat besar. Namun ketika aku gali tanah yang menimbun di tepinya, mataku terlihat silau. Cahaya kekuningan itu terpancar dari permukaan sisa tanah yang kucangkul. Penasaran aku kembali mencangkul tanah supaya benda tersebut dapat kuangkat dengan mudah. Jantungku berdegup kencang. Keringatku semakin deras mengucur.
Ternyata benda keras yang membentur ujung cangkulku adalah sebongkah emas mulia! Kuteliti permukaannya. Dan aku semakin yakin kalau benda berkilauan itu benar-benar emas. Lalu tanpa sepengetahuan orang lain, aku bawa emas mulia sebesar kulit bundar itu pulang ke rumah. Aku ingin menunjukkannya pada istriku.
Mendadak kampungku geger. Di mana-mana semua penduduk kampung membicarakanku sebagai orang miskin yang kaya dadakan. Di warung-warung kopi misalnya. Pak Sutan yang biasa nongkrong sambil menikmati segelas kopi sambil membanting batu domino, dia membicarakan aku kepada pemuda-pemuda kampung dan kuli-kuli kasar yang ikutan nongkrong bahwa, aku mendadak kaya karena selama ini memelihara babi (ngepet). Katanya tidak mungkin petani miskin seperti aku yang tinggal di rumah bambu bisa naik haji ke tanah suci. Padahal petani yang kaya saja membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa menabung dan bisa naik haji. Jadi menurutnya, tidak mungkin dan sangat tidak masuk diakal kalau orang miskin sepertiku bisa naik haji karena aku tidak memiliki uang banyak.
Pak Sutan bahkan sampai bersumpah dengan membawa-bawa nama Tuhan segala demi meyakinkan orang-orang kampung yang memiliki kedunguan tingkat dewa. Katanya lagi untuk bisa memelihara babi yang membuat orang kaya mendadak itu, aku tega mengorbankan anak dan cucuku sebagai tumbal. Oleh karena sudah terkena siram minyak, setiap orang yang berpapasan denganku akan memalingkan mukanya agar tidak beradu pandang denganku. Kadang jika aku menyapa mereka dengan ramah, mereka tidak membalas sapaku dan berpura-pura tidak mendengar. Melihat itu semua aku sangat menyesalkan perbuatan tak terpuji yang dilakukan oleh Pak Sutan. Hanya gara-gara tersulut api oleh satu orang, terbakarlah lumbung padi sekampung.
Namun aku sama sekali tidak pernah sakit hati maupun menyimpan dendam sedikit pun terhadap perlakuan Pak Sutan. Aku menerima dengan ikhlas perlakuan orang-orang sekampung yang mulai menjauhiku. Setiap aku lewat di depan rumah mereka, maka mereka langsung menutup pintu rumah rapat-rapat. Dan aku pun hanya menelan ludah.
Cerpen Karangan: Khairul azzam el maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky Novelis. Lahir di Probolinggo 35 tahun silam. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com