Untuk meningkatkan keamanan kampung, mulai isu babi ngepet itu menyebar luas ke se-antero kampung, kepala desa memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan siskamling. Setiap malam, pos kamling yang berada di setiap penjuru kampung dijaga oleh enam belas orang laki-laki. Terutama oleh bapak-bapak baya dan pemuda yang masih bertenaga. Mereka tidak ingin rumah-rumah penduduk menjadi sasaran babi. Jika mereka melihat babi, mereka berjanji akan menangkapnya lalu membunuhnya di hadapan massa. Begitulah yang kudengar saat mereka mengikrarkan janjinya di hadapanku dengan mata menatap curiga padaku. Aku beristighfar kepada Tuhan agar mereka diampuni atas kesalahan mereka sendiri.
Suara bunyi kentongan bertalu-talu dan saling bersahut-sahutan. Hingga seluruh kentongan di seluruh penjuru kampung menyatu untuk membangunkan penduduk. Aku dan istriku juga ikutan bangun karena ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Saat dalam perjalanan menuju ke arah pusat bunyi kentongan yang pertama dipukul, aku mencuri-curi dengar kalau ada seorang pemuda yang berhasil menangkap babi jadi-jadian yang mereka duga adalah babi ngepet yang selama ini meresahkan warga. Dan saat ini pemuda itu dalam keadaan kritis karena dia diserang oleh babi yang masuk dalam perangkapnya. Dia hendak membunuh babi tersebut. Namun bukan babinya yang terluka, justru pemuda itu.
Dan benar ternyata apa yang kudengar tadi di jalan. Dari balik hutan kaki yang berada di depanku, aku melihat seorang pemuda yang tampak berdarah-darah. Tubuh, kaki dan kedua tangannya penuh dengan luka karena mendapat serangan dari babi yang ternyata adalah seekor babi hutan yang lagi kelaparan. Lalu pemuda itu langsung dibawa ke rumah sakit kota dengan sebuah mobil ambulans. Warga pun yang juga ingin menyaksikan babi ngepet yang selama ini dikoarkan dibuatnya kecewa. Karena babi yang berhasil ditangkap oleh para pemuda ternyata babi hutan. Mereka kecele sebab hanya karena ingin melihat tampang babi ngepet saja, mereka rela bangun dari tidurnya.
Malam besoknya kembali aku mendengar bunyi suara kentongan yang bertalu-talu di setiap penjuru kampung. Aku sudah memprediksi kalau pemuda kampung kembali berhasil menangkap babi yang mereka anggap babi ngepet. Dan penduduk kampung yang dungunya ampun-ampunan percaya begitu saja. Mereka bangun dari tidurnya hanya untuk melihat babi yang selama ini dipercaya sebagai babi ngepet yang telah mencuri uang milik mereka dengan cara menggesek-gesekkan tubuhnya di dinding rumah. Bahkan kali ini mereka membawa berbagai senjata seperti parang, arit, dan bambu runcing. Mereka ingin mencincang-cincang dan memukuli kepala si babi ngepet sesampai di lokasi nanti. Namun tidak lama kemudian mereka pulang dengan memasang wajah kecewa.
Dua bulan berlalu, isu adanya babi ngepet yang dibuat-buat oleh Pak Sutan masih membayangi kampung halamanku. Dan warga yang kebetulan berpapasan denganku masih membuang muka di hadapanku. Aku mulai resah. Aku tidak mau kalau manusia yang tidak tahu dengan kejadian yang sebenarnya berburuk sangka terhadapku yang membuat mereka sendiri berdosa. Mereka tidak tahu kalau aku mampu menunaikan ibadah rukun Islam yang kelima itu dengan perantaraan sebongkah emas mulia. Mereka malau terus menuduhku kalau aku menjalankan pesugihan babi ngepet seperti yang dituduhkan oleh Pak Sutan.
Bahkan ketika mereka berpapasan denganku di masjid, dengan sombongnya mereka mengatakan kalau ibadahku kepada Tuhan hanyalah sebuah kepura-puraan. Semua shalatku selama ini tidak akan pernah diterima oleh Tuhan. Haji yang telah kutunaikan juga akan ditolak oleh Tuhan karena rezeki yang kudapatkan berasal dari cara yang tidak halal, yaitu pesugihan babi ngepet. Mendengar semua tuduhan itu aku berusaha tegar. Aku menerima.
Pagi-pagi, seorang sahabat yang sejak kecil telah berbuat baik padaku datang mengunjungi rumahku. Dengan ditemani segelas kopi dan sepiring ketan, kami mengobrol di bawah pohon bantan yang tumbuh di halaman rumah. Lalu di sela-sela obrolannya, sahabatku mengatakan kalau sebelumku ada seorang petani bernama Pak Dahlan. Dia juga tinggal di kampung ini. Pada malam harinya dia dibangunkan oleh teriakan seorang tetangganya yang mengabarkan kalau tanaman ubinya digasak oleh babi hutan. Setiap kali dia menanam ubi, selalu gagal panen karena hama babi hutan kembali merusak tanamannya. Namun ketika dia kembali untuk mencangkul tanah di ladang, tanpa sengaja ujung cangkulnya membentur sesuatu yang keras memancarkan kilau cahaya. Karena penasaran, Pak Dahlan menggali tanah. Ternyata benda itu adalah sebongkah emas mulia.
Selama ini anak sulung Pak Dahlan yang pulang dari nyantri bercita-cita ingin pergi haji ke tanah suci bersama sang Ayah. Namun karena kondisi kehidupan mereka yang miskin tentu saja sangat mustahil bagi Pak Dahlan untuk bisa menyempurnakan rukun Islam yang kelima itu. Alangkah bahagianya Pak Dahlan setelah menemukan emas mulia tersebut. Lantas dia menjualnya pada tauke emas yang bisa membayarnya dengan harga yang mahal. Setelah emasnya terjual, Pak Dahlan dan anak lelakinya itu naik haji ke tanah suci. Sejak itulah warga kampung mencurigai dirinya. Bahkan mereka menduga kalau selama ini Pak Dahlan melakukan pesugihan babi ngepet.
—
Aku memang sengaja pergi ke ladang malam-malam. Dengan berbekal senter dan sebungkus kopi hitam buatan istriku, aku mengayuh sepeda kumbang dengan membelah jalan perkampungan yang masih berupa hutan dan ladang. Sesampai di ladang, aku duduk-duduk di gubuk. Aku tidak menyalakan lampu agar tidak seorang pun yang melihat keberadaanku. Malam ini aku ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri, apakah selama ini tanaman ubiku benar-benar dirusak oleh babi hutan.
Suara jangkrik dan ular yang mendesis menyebut asma Tuhan meningkahi lirih suara zikir alam. Tubuh pepohonan kacang dan bantan bergoyang ke kanan dan kiri seumpama tubuh sufi yang larut dalam nikmatnya zikir pada Tuhan. Angin kencang meraung-raung di tengah hutan. Suara gemerisik daun bambu menimbulkan bunyi yang mengerikan. Dan pada saat yang bersamaan, telingaku mendengar suara geruduk kaki-kaki yang memijak tanah. Kuamati arah bunyinya di ubin lantai. Arahnya bukan berasal dari hutan. Lalu karena aku mulai dihinggapi rasa penasaran, aku pun bangkit dan melihat dari balik lobang dinding bambu gubuk.
Ternyata yang kulihat bukanlah kawanan babi hutan yang merusak tanaman ubi jalarku! Aku pun keluar dari gubuk dan menghardik kawanan pemuda yang dikepalai oleh Pak Sutan. Mereka tampak membawa cangkul. Ya, kenapa selama ini mereka mencangkul tanah di ladangku? Sebab di ladangku terdapat bekas tambang emas mulia yang tersimpan. Dan mereka berlomba-lomba untuk memperoleh kekayaan dengan cara instan tanpa bekerja keras. Jadi merekalah babi-babi yang selama ini memburu emas itu. Bukan babi hutan apalagi babi ngepet yang mereka tuduhkan terhadapku.
Kota Angin Timur, 2021
Cerpen Karangan: Khairul azzam el maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky Novelis. Lahir di Probolinggo 35 tahun silam. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com