“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang. Kita akan menjadi sangat merasa buruk sebelum hal buruk itu tiba.”
“Apa kalian tidak lapar?” Rena memandang jendela yang berembun. Di luar, hujan sangat deras sekali, belum lagi kabut yang menutupi pemandangan luar sehingga keadaan lebih gelap dari waktu yang seharusnya. Udara dingin serta keadaan sekolah yang sudah sepi membuat Rena ingin sekalian uji nyali saja. “Ha, apakah kita sedang simulasi kehidupan di hutan tanpa makanan dan ancaman hantu?” Sarkasnya lagi sambil menghentakkan kaki. Sedangkan yang diajak bicara menghiraukannya, malah, asik sendiri.
Intan, Mia, Nisa dan Aura—yang setengah mengantuk—diam di bangku berhadap-hadapan. Ini adalah ritual hari ke tujuh setelah pulang sekolah, mereka berlima akan berdiam diri di kelas sampai pukul lima sore. Jika kalian bertanya untuk apa, maka yang kalian dapatkan hanyalah seperti Rena. Diabaikan. Tapi jika kalian antusias, kalian akan bergabung dalam tim dengan dukungan penuh.
Jadi, ada sebuah ‘dongeng’ turun temurun mengenai sekolah ini. Jam yang dimiliki kelas dimana tempat mereka diam adalah jam kuno yang bisa berbunyi untuk memberikan sinyal dan kode jika ditanyai mengenai hal yang belum diketahui. Syaratnya adalah diam di kelas dari pukul tiga sampai lima sore selama enam hari berturut-turut (meski hari libur) tanpa makan dan minum. Juga, hanya diizinkan membicarakan hal yang baik-baik. Singkatnya, jam ajaib tersebut bisa berkomunikasi dengan cara tertentu tepat di hari ke tujuh.
Maka dari itulah mengapa mereka—kecuali Rena sangat antusias untuk coba melakukan dongeng ini dengan alibi pembuktian. Padahal, mereka memang kurang kerjaan saja. Dari awal, Rena tidak setuju karena pantatnya sangat pegal jika hanya duduk dan berbicara yang manis-manis, jadi kemungkinan jika dongeng itu nyata, perempuan itu tidak akan mendapatkan jawaban yang menyenangkan dari jam kuno tersebut.
Dalam kategori mematahkan mitos, Rena memang tergolong sompral, tapi masih saja dipaksa untuk ikut karena syarat lainnya adalah anggota harus ganjil. Jadi, jika perempuan itu berkata aneh-aneh maka tidak akan dijawab. Bahkan, terkesan dimusuhi sesaat.
“Kalian itu hanya manusia-manusia gabut yang banyak tanya. Memangnya, apa yang mau ditanya? Pekerjaan? Jodoh? Anak? Kita kan baru kelas dua belas. Lagipula, kenapa percaya dengan benda mati seperti itu.” Rena menghampiri keempat temannya dan berbicara seolah sedang demo di kantor balai desa. Rusuh. “Diamlah, aku yakin kau juga penasaran.” Nisa menjawab dengan nada dingin. “Wow, aku jadi merinding, sob. Kalian biasanya cerewet seperti kaleng rom—”
Suara gedebuk dan gemuruh petir secara bersamaan membuat semuanya terkejut. Tepat pukul 16.30, di hari ke tujuh, inilah hal yang ditunggu-tunggu. Aura yang tadinya setengah mengantuk pun langsung merasa segar sambil mencoba bersembunyi di balik punggung Nisa.
“Apa dongeng ini nyata?” Aura mendadak gemetar. Pandangan Intan berpendar saat lampu kelas tiba-tiba saja menyala. Ia langsung tersenyum dan memegang jam kuno tersebut. Rena yang memandang Intan hanya merutuk kata sinting karena di saat yang lain merasa takut dan gemetar, hanya Intan yang antusias sambil tersenyum.
“Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan pertama. Jam kuno, apakah aku akan mendapatkan nilai bagus setelah lulus?”
Jam tersebut berbunyi. Ada kepuasaan dalam hatinya karena dapat memenuhi syarat serta keuntungan melakukan hal menantang seperti ini. Mia yang terkejut langsung meraih jam tersebut, mengecek apakah ini hasil kejahilan temannya atau memang betulan ajaib.
“Secara logika, kau memang selalu mendapatkan nilai bagus, kenapa harus memberi pertanyaan basic seperti itu? Kita saja bisa menjawab kalau soal itu.” Tutur Nisa yang membuat Mia merasa mendapatkan ide brilian.
“Begini saja. Jam kuno, aku tahu kamu ajaib, bisakah kamu memperlihatkan jodoh masa depan Intan. Tolong buat seolah-olah ia sedang lewat di depan kelas.”
Keempatnya tentu terkejut dengan pertanyaan Mia. Ah, perempuan yang suka berpikir absurd itu melakukan aksinya ditengah situasi seperti ini. Namun, bagaimanapun, ini pertanyaan yang menguntungkan bagi Intan.
Sepoi angin perlahan menerbangkan gorden jendela, walaupun keadaan luar yang sedikit gelap karena kabut, tapi kemunculan sosok laki-laki bertubuh tinggi melintasi kelas masih dapat terlihat. Laki-laki tersebut sangat tampan dengan buku di tangannya. Mungkin usianya tiga tahun lebih tua. Intan yang mengetahui hal itu langsung berteriak kegirangan.
Aura yang melihatnya langsung mengambil jam tersebut. “Jam kuno, apakah aku akan berkesempatan untuk memiliki Jimin BTS?”
Sesaat hening, tidak ada tanda-tanda apapun. Bahkan jarum jam ajaib itu berhenti sepenuhnya.
“Apakah itu tandanya ya?” Tanyanya tetap optimis. “Sepertinya tidak. Bangunlah, buat pertanyaan yang lebih memungkinkan,” jawab Nisa seraya mengambil jam tersebut. “Jam kuno, aku sudah lama mencintai laki-laki, tapi laki-laki itu punya pacar. Apakah bisa saja mungkin dia menyukaiku kembali?”
Papan tulis di depan berbunyi sebentar, spidol yang ada di sampingnya perlahan bergerak untuk menuliskan sesuatu. Ini adalah pemandangan luar biasa, rasanya seperti sebuah sihir melihat benda bergerak sendiri. Jam kuno tersebut juga tampak hidup lagi.
“Selalu ada kemungkinan. Namun, kemungkinan itu tidak selalu jadi pembenaran.”
“Dunia juga menyuruhmu untuk bahagia, Nis.” Aura menepuk pundak Nisa. Meski tulisan itu tidak menyangkal maupun membenarkan, sepertinya itu cukup sebagai jawaban.
“Kalau begitu, jam kuno, apakah aku akan bahagia?” Tanya Nisa lagi. Jam tersebut berbunyi. Tentu saja, kenapa harus terus merasa buruk jika ada kesempatan hari esok yang lebih baik?
“Apa kau mau bertanya juga, Rena? Sebelum aku memberikan pertanyaan lebih aneh lagi. Aku tidak mau bertanya soal cinta, berhubung aku sudah memiliki pasangan.” Mia mengangkat jam tersebut seperti sedang promo diskon. Yang ditanya hanya menggeleng malas, “Aku tahu jawaban yang aku dapatkan tidak akan baik.” “Hei, aku juga dapat jawaban yang tidak menyenangkan. Tapi dengan sensasi seperti ini rasanya sangat menyenangkan,” ucap Aura dengan percaya diri. Mia langsung menyahut, “Bukan tidak menyenangkan. Tapi sebetulnya kau bertanya sesuatu yang sudah kau ketahui apa jawabannya. Bertanyalah seperti pertanyaanku, pasti ada jawabannya. Nis, mau bertanya juga seperti Intan tadi?” Nisa menggeleng, “Soal itu, biar waktu saja yang menjawab, aku suka kejutan daripada spoiler detail seperti ini.”
Intan mengambil jam tersebut dengan semangat. “Sudahlah, kita hanya bersenang-senang. Tidak ada resiko atau efek samping, kok. Justru dengan ritual yang sudah kita penuhi, kita dapat bertanya pada jam ini kapan saja asal sedang berlima dan sore hari.” Ia sedikit mengangkat jam itu, “Bolehkah kami melihat jodoh Rena seperti apa? Dia tidak pernah bercerita. Juga, dia yang paling tua, kami tidak mau melihatnya terus sendirian.”
Aura, Nisa dan Mia sedikit tertawa ketika mendengar itu. Baiklah, pada akhirnya sifat iseng mereka keluar juga setelah menjadi seperti patung selama dua jam. Tidak lama, ada sosok yang kembali lewat di depan kelas, tapi herannya, sosok tersebut adalah seseorang yang sama saat tadi Mia memberikan pertanyaan untuk Intan.
“Lho, kok, laki-laki itu lagi? Maksudnya, dia akan selingkuh? Poligami? Atau kesalahan teknis?” Heran Mia.
Lampu kelas tiba-tiba padam, diiringi decitan pintu terbuka lebar. Laki-laki itu mendadak menghilang. Sebuah angin yang lebih dingin masuk. Spidol tersebut kembali bergerak untuk menuliskan sesuatu.
“Tidak, dia akan bersama temanmu yang paling tua untuk beberapa tahun sebelum beralih pada temanmu yang bertanya tadi, alasannya karena ia akan mati.”
Suasana menjadi hening. Tidak ada percakapan apapun. Begitupun dengan Intan yang memandang terkejut ke arah temannya yang kini hanya diam memandangi tulisan itu. Jadi, mungkin, sebenarnya ada efek buruk dalam dongeng ini. Jam kuno tidak akan memanipulasi atau menyembunyikan hal buruk yang seharusnya terjadi. Tentu, selalu ada kemungkinan hal buruk bersama hal baik, itu akan selalu beriringan. Tidak bisa disingkirkan salah satunya.
“Jika kita mau membuka hal baik, hal buruk juga tidak akan menutup. Itulah konsekuensinya.” Perkataan Aura membuat Intan semakin merasa bersalah, apakah ini dampak sifat sompral Rena selama enam hari atau kenyataan pahitnya memang seperti itu? Semoga ini hanyalah sebuah hukuman.
“Salah satu alasan kita tidak tahu apa yang akan terjadi adalah karena kita tidak akan pernah siap saat menghadapi kejadian buruk yang akan datang. Kita akan menjadi sangat merasa buruk sebelum hal buruk itu tiba,” tambah Nisa. Intan gelagapan sembari mencoba semangat, “Ah tidak, ini hanya permainan ‘kan? Anggap saja itu sebagai hukuman karena kau bicara sembarangan selama enam hari ini. Lebih baik kita tanya ulang saja, bukan begitu?”
Rena yang masih menatap papan tulis mengembuskan napasnya. “Tidak usah. Ini memang konsekuensi mendahului takdir. Seharusnya kau merasa senang karena memiliki masa depan yang cerah.” Intan mencoba menghampiri Rena dan merangkul bahunya, “Tidak, tidak. Jam kuno itu berbohong. Bagaimana kau begitu yakin, bukankah kau juga tidak percaya? Aku juga berjanji tidak akan percaya.” Rena menoleh, ekspresinya sangat datar. “Sejak pertanyaan Mia yang aneh itu, aku percaya.” “Tapi, bagaimana? Itu semua belum terbukti.” “Tidak. Laki-laki yang tadi melintas lewat kelas kita adalah kekasihku satu tahun terakhir.”
END
Cerpen Karangan: Arendawo Blog: Arendawo.wordpress.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 28 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com