Malam ini hujan turun dengan derasnya, menyelimuti desa yang terletak tidak jauh dari danau Maninjau yang menggigil dengan desau anginnya dan mampu menerbangkan atap-atap kandang ternak milik warga. Beberapa kelompok laki-laki dewasa tampak berkeliling meronda dengan payung dan senter seadanya. Takut-takut jikalau malam ini jatuh korban lagi.
Di suatu rumah kecil dengan dinding kayu Cahyu seorang wanita muda dengan postur tubuh ramping dan kulit kuning langsat, merawat satu-satunya keluarga yang masih ia miliki. Mak Inah, ibunya.
Cahyu nampak gusar. Dari wajahnya menyembul raut ketakutan. Sesekali ia memandangi mak Inah yang terbaring di ranjang, sesekali ia juga berpikir. Hingga sampai pada satu keputusan, tangannya bergerilya mencari baju yang dulu sering ibunya gunakan. Baju untuk menari. Karena jika tidak ia tak akan mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya.
Malam ini keputusannya telah bulat, jiwanya sebagi anak terketuk untuk menyelamatkan ibunya yang mulai tak berdaya di ranjang pesakitannya. Sebelum ia berangkat ke tempat undangan telebih dahulu ia meminta do’a pada mak Inah, semoga malam ini uang saweran perdananya mampu mengantarkan mak Inah ke dokter.
Malam itu ia berangkat. Dengan sedikit ketakutan jika di tengah jalan seseorang mencegatnya karena jalan setapak yang ia lalui cukup remang ditimpa cahaya, hanya benderang lampu neon 5 watt di ujung jalan yang memisahkan desanya dengan desa seberang yang mampu membantu penglihatannya dari jarak jauh, sekedar penanda bahwa ia telah sampai di desa tujuan.
Sesampainya ia di desa itu, alunan musik gamelan bertalu-talu dari rumah si empunya hajat. Ia bersegera melangkahkan kakinya sebelum tatapannya berserobok dengan penari lain sepertinya, hanya saja dandanannya begitu mencolok dan memikat pandangan.
Ia pun menari bersama undangan yang ada di tempat acara, sekali-kali mereka menyelipkan uang sawer di celah-celah kutangnya. Ia risih namun tetap ia pendam karena mak Inah meunggunya degan uang ditangannya.
Malam kian larut saat para lelaki dewasa yang meronda malam itu menemukan jasad perawan di pinggir semak tak jauh dari danau Maninjau. Jasad perawan itu sudah tak berupa gadis lagi namun tampak keriput dari raut wajahnya. Para lelaki dewasa itu tampak gusar, karena malam ini korban berjatuhan lagi setelah sebelumnya putri pak Kades juga meninggal dengan kondisi yang serupa.
Kabar itu secepat kilat menyebar ke pelosok desa tak terkecuali Cahyu yang sore itu mempersiapkan dirinya untuk tampil kembali di acara pernikahan Pak Somad di RT sebelah. Ia Nampak gelisah antara memilih tetap tampil ataukah tidak. Karena desas-desus tewasnya beberapa perawan yang tak lazim di kampong itu beberapa hari kemarin. Ia takut jika tetap memaksakan untuk tampil bisa-bisa dirinyalah yang akan menjadi korban malam ini.
“Mak gimana ini, kampung kita sudah tidak aman lagi. Banyak perawan yang mati tidak wajar. Aku takut jika mala mini aku tetap berangkat ke RT sebelah mak hanya akan menerima kabar kematianku saja”, ucapnya pada mak Inah yang juga ikut gusar di atas ranjangnya. “Janganlah berangkat nak. Diamlah di rumah untuk malam ini, karena perasaan emak tidak enak. Emak takut kalau apa yang kamu katakan benar-benar terjadi. Esok berangkatlah kau nduk. Malam ini diamlah di rumah saja”.
Selepas itu malam merambati dinding-dinding kayu rumah Mak Inah. Mengantarkan keduanya menikmati masa-masa indahnya ketika pak Harun masih ada. Cahyu meikmati malamnya dengan lelap di pangkuan pak Harun, mendengarkan kisah perjuangannya menjadi lurah waktu berumur 20 tahun, sesekali pak Harun bercerita perjuangan Mak Inah yang juga ikut banting tulang dengan mejadi penari jaipong kala pernikahannya seumur jagung. Cahyu kecil Nampak gembira medengarkan kisah heroik kedua orangtuanya.
Belum selesai ia menikamati mimpinya tiba-tiba ia terbangunkan dengan jeritan seorang perempuan yang meminta tolong. Ia pun bangun dan meghampiri ibunya di kamar sebelah. Ternyata ibunya masih terlelap. Kemudian ia melangkahkan kaki menuju daun pintu, namun hatinya melarangnya untuk itu. Ada sedikit rasa takut yang meyusupinya. Ditambah desir angin dari celah-celah dinding kayu yang mulai digerogoti usia. Rasa takutnya bertambah, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat tidurnya dan berusaha memejamkan mata.
Keesokan harinya terdengar kabar dari warga desa saat ia membaur dengan mereka di pasar bahwa tadi malam seorang perempuan perawan telah jatuh sebagai korban kesekian. Entah bagaimana caranya pelaku membunuh korban yang kebetulan saat itu berada di rumah. Berhembus kabar bahwa pelaku pembunuhan menggunakan ilmu hitam, benar tidaknya para warga desa tak bisa memastikan.
Cahyu pulang ke rumahnya dengan tergesa ingin segera menyampaikan apa yang ia dengar di pasar tadi. Di tengah perjalanan tampak beberapa orang lari tergopoh-gopoh menuju balai desa, nampaknya sesuatu telah terjadi.
Tak ingin ketinggalan kabar ia segera menuju ke tempat berkerumunnya para warga. Ternyata benar, seseorang telah ditangkap dengan dugaan bahwa ia yang telah melakukan pembunuhan berantai pada para perawan di desa tersebut selama beberapa malam itu.
Siapa sangka orang yang tertangkap iu adalah perempuan yang beberapa malam kemarin sempat menjadi partnernya menari di desa sebelah. Cahyu masih ragu dengan pemandangan yang ada di depannya. Dialah Sukma seorang wanita cantik yang juga berprofesi seperti dirinya. Penari Jaipong.
Lama ia melihat pemandangan itu, ternyata matanya bersibobrok dengan mata seorang wanita muda yang bisa dikatakan kecantikannya hampir sempurna. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki telihat begitu menawan. Bibirnya menampakkan senyum, namun seperti bukan layaknya senyum.
Tiba-tiba seorang warga menegur Cahyu dan mengembalikan kesadarannya. Warga itu menghimbau agar ia cepat pulang dan mengamankan diri karena situasi saat ini tidak aman. Takut-takut jika bukan hanya Sukma yang melakukan praktek pembunuhan terhadap perawan itu. Cahyupun megikuti himbauan itu dan segera pulang ke rumah.
Malam begitu cepat merangkak di ketinggian langit, membuat suasana desa semakin mencekam. Belum lagi suara lolongan anjing di kejauhan menambah suasana malam seperti menyanyikan kidung kematian.
Malam ini lagi-lagi Cahyu hanya tinggal di dalam rumah menemani mak Inah. Ia bercerita panjang lebar mengenai situasi desa saat ini. Mulai dari ditemukannya mayat perawan di dekat danau Maninjau dan ditangkapnya tesangka pembunuhan terhadap beberapa perawan di desa itu. Mak Inah tampak manggut-manggut medengarkan cerita anak semata wayangnya tersebut.
Tiba-tiba wanita renta itu disusupi ketakutan akan putri semata wayangnya yang saat ini telah meginjak usia delapan belas tahun tersebut. Tak ingin telampau cemas ia menyuruh Cahyu kembali ke kamarnya dan istirahat. “Nak ayo istirahat, emak udah ngantuk. Oh iya sebelum tidur pintu dan jendelanya ditutup rapat ya?”. Setelahnya keduanya beranjak menuju kamar masing-masing.
Malam itu Cahyu begitu gusar karena tak seperti malam-malam biasanya, kali ini mak Inah telah menyuruhnya istirahat padahal jam baru menunjukkan pukul 08.00. Ia heran rasanya malam ini terasa begitu mencekam, tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit kamar. Ingatannya kembali pada tatapan wanita cantik yang ia temui tadi siang di balai desa. Senyuman itu, ia masih belum mengerti. Sepertinya ada pesan tersirat dari senyum wanita itu. Semakin ia megingat pertemuan itu, rasa takut semakin meghantuinya. Lamunannya kembali pulih saat suara seorang wanita memanggilnya. Terlampau lembut, saking lembutnya suara itu hampir menyatu dengan desau angin malam. Namun taka da siaapun dikamar itu hanya ia seorang diri.
Cahyu… Cahyu… Cahyu… Panggilan itu terasa jauh namun dekat. Bulu kuduknya semakin meremang. Belum lagi lolongan anjing di kejauhan. Ada mitos yang mengatakan jika lolongan anjing semakin jauh maka makhluk itu semakin dekat. Tiba-tiba… Cetak… cetak…!!! suara daun pintu jendela seperti dilempari kerikil. “Sial siapa sih yang iseng malem-malem gini? Gak ada kerjaan apa yah?”, ia menggerutu. Kemudian dibukanya jendela itu. Namun nihil tak ada siapa-siapa disana. Ketakutannya semakin menjadi. Ia kembali menutup jendela dan beranjak pergi ke kamar mak Inah. Ia bangunkan mak Inah yang khusyuk dalam sujudnya tersebut dan segera meminta perlindungan darinya.
Mak Inah menyelesaikan empat rokaat isya’nya dan telah mendapati Cahyu disamping kanannya dengan wajah ketakutan. Tanpa bertanya ia menyuruh putrinya tersebut membaca do’a-do’a yang dulu diijazahkan oleh almarhum suaminya untuk melindungi diri dari ilmu hitam. Cahyupun megikuti perintah ibunya. Begitu pula mak Inah, bibinya komat-kamit membaca do’a-do’a itu mulai dari ayat kursi hingga hizbun nashor untuk membentengi ia dan sang anak dari marabahaya yang telihat maupun yang ghoib.
Malam benar-benar mencekam dan mengantarkan suara itu kembali ke telinga keduanya. Namun keduanya tetap khusyuk dalam do’a. hingga akhirnya suara itu menghilang tepat saat suara tayaqqodu berkumandang dari masjid desa, yang kebetulan akhir-akhir ini sejak kejadian ganjil itu terjadi si muaddzin istiqomah melantunkan dzikir-dzikir sebelum akhirnya adzan subuh berkumandang.
Mak Inah tampak gusar namun lama-lama mereda bersama suara tayaqqodu itu. Akhirnya ia pun menyuruh Cahyu untuk ambil wudhu dan membaca al-qur’an sebelum adzan sholat subuh berkumandang. Ia masih takut jika suara itu kembali. Ia dan putrinya memutuskan untuk berjaga hingga subuh menjemput.
Hari ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Namun tersebar berita dalang sebenarnya dari pembunuhan itu telah tertangkap oleh beberapa kiyai dan tokoh agama di desa itu. Kabarnya ia adalah seorang wanita tua yang pada masa mudanya adalah seorang penari jaipong. Untuk mengembalikan kecantikannya ia bersekutu dengan jin dengan syarat harus memberikan tumbal perawan setiap malam pada jin tersebut. Dan lebih tragisnya lagi Sukma yang telah ditangkap dan dicurigai sebagai dalang dari pembunuhan tersebut juga ikut terbunuh di rumah isolasi balai desa.
Malam itu tepat sebelum suara ghoib memanggil nama Cahyu, Sukma telah menemui ajalnya di tangan wanita tua itu. Entah dengan apa ia membunuh Sukma tiba-tiba saja tubuh Sukma sudah tak berdaya dan akhirnya meninggal dalam keadaan rupa wajah telah menua dan rambutnya memutih layaknya wanita tua di depannya. Setelah itu wanita tua tersebut beranjak ke rumah Cahyu yang tadi pagi sempat ia lihat di balai desa. Namun usahanya gagal karena efek dari bacaan hizbun nashor dan dzikir-dzikir yang dilantunkan mak Inah serta Cahyu menghabiskan energinya untuk menembus banteng pertahanan mereka. Di tengah perjalanan langkahnya terjegal oleh sekelompok lelaki dewasa dan beberapa laki-laki dengan jubah putih bersorban dan melantunkan ayat-ayat suci. Ia dikepung.
Wanita tua itu mulai mengembuskan nafasnya yang tinggal satu-satu sebelum akhirnya satu hentakan takbir dari para lelaki itu memisahkan dirinya dan jin yang berada dalam tubuhnya. Tubuhnya lunglai, darah segar mengucur dari lubang hidungnya. Bau anyir bertebaran di udara menyatu dengan warna kelam malam yang menggantung di langit desa. Tidak menunggu lama para lelaki itu telah memusnahkan jin yang telah terpisah dari tubuh wanita itu karena bisa jadi jin itu akan merasuki orang lain dan akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun wanita tua itu hilang kesadaran, setelah sekian lama diperbudak oleh jin tubuhnya tak mampu menahan aura negatif yang telah menguasainya. Ia pun ambruk dan meninggal seketika itu juga.
Mak Inah bersyukur putri semata wayangnya tak jadi korban selanjutnya dari wanita itu yang tenyata adalah nyi Tirsum sosok wanita yang dulu sempat menjadi temannya semasa muda ketika menjadi penari Jaipong. Namun beda halnya dengan mak Inah nyi Tirsum memilih jalan sesat demi mengembalikan kecantikannya dan untuk menaikkan pamornya sebagai penari Jaipong.
Cerpen Karangan: Sulusiyah Blog / Facebook: Sulusiyah Rahmad Mahasiswa biasa penikmat senja. Tersesat di jalan yang benar dengan menetap sebagai mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam di Universita Nurul Jadid, Probolinggo. Pegiat sastra Teater KALA dan aktif menulis Cerpen, Puisi dan sketsa. Manusia kerdil di mata semesta….
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 7 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com