Dia adalah nama yang sulit untuk diingat namun, terukir dengan mudah di hati semua orang. Julian, Pria yang lahir ditahun yang sama denganku. Kuingat-ingat dia lahir pada pertengahan bulan januari di Montpelier, Perancis. Pria itu cukup tinggi dan berisi, rahangnya tegas dengan bola mata biru yang tajam. Mata itu menjadi saksi bisu kehancuranku saat itu. Kurasa dia sudah lama pergi dari tanah kelahirannya, dia melarikan diri dengan jas hitam modern mencolok menandakan bahwa dirinya merupakan manusia berdarah bangsawan istimewa. Garis-garis wajahnya terbayang hingga saat ini di benakku, seringainya bagai tanda bahaya yang selalu kutakuti. Wajah pucatnya selalu menyertaiku, dia bahagia ketika menghisap hidup seseorang yang lemah, darahnya akan mendidih ketika melihat wanita yang dicintainya bersama dengan pria lain, tatapanya akan menajam ketika kebohongan dipecahkan oleh instingnya. Dia makhluk yang menakutkan namun, sangat menawan disaat yang bersamaan.
Julian Dupont. Nama itu menyebar ke seluruh kota, banyak ketakutan yang muncul di hati wanita-wanita muda. Mungkin hanya aku yang tidak takut, kunci dari ketidak-takutan itu adalah hati yang sudah mati rasa. Julian menjadi incaran semua wanita di kota ini, tidak ada yang menyangka bahwa dia akan mencintai saudara tirinya dari Italia, Lidia Solara. Semua takut dan resah mendengar kabar angin itu, semua wanita ingin meneriaki telinga Julian. Aku berpikir hal itu mungkin menjadi kecaman bagi semua penggemarnya namun, Aku juga yakin bahwa kesenangan Julian adalah yang utama.
Andai peristiwa pertemuan kami tidak kuceritakan pada kalian, mungkin Aku akan tetap nyaman di pangkuan suamiku saat ini. Jumat, hari kelima di minggu ini. Hujan deras menguyur kota dengan kilatan petir menebus jendela kaca toko kopi milik keluargaku. Pukul Sembilan tepatnya, seorang pria berjas hitam modern mencolok mendatangi toko. Payung hitam jelas digenggaman tangan kanannya, Pria yang mengenakan dasi kupu-kupu itu masuk dengan pelan.
“Aku ingin segelas kopi pekat,” bibirnya mengurai kata-kata itu tepat didepan mataku. Jemariku gemetar ketika mengetahui identitas pria yang sudah duduk disamping jendela kaca tepat di sudut ruangan. Kulihat dengan jelas Pria itu membungkus tangannya dengan perban putih dan menyeringai. Kengerian timbul di hatiku, kupikir sesuatu yang salah sudah terjadi pada dirinya. Hari itu hanya Aku yang menjaga toko, kebetulan Keluargaku memiliki urusan yang lebih penting daripada toko ini. Dengan gemetar, kulangkahkan kakiku kearahnya, nampan di tanganku jauh lebih gemetar tak seimbang. Kusajikan padanya dengan sekumpulan keberanian di hatiku. Dia membisu layaknya patung, tangannya penuh dengan darah yang sudah terbalut perban. Aku mencoba bertanya padanya untuk memastikan apakah dia masih hidup.
“Apakah tuan baik-baik saja?” Wajahnya kemudian memandangku, “Tidak ada yang terjadi, semua baik-baik saja,” suaranya parau kudengar. Mengangguk kecil adalah jawabanku, tidak kuusahakan untuk berbincang lebih dalam dengannya namun, tangannya mengenggamku dengan kencang. Aku berusaha melepasnya namun dia balas berbicara, “duduklah,” titahnya. Demi pelayanan toko kuusahakan diriku menerima perlakuannya.
Tatapannya menajam melihat jendela kaca yang menampilkan suasana kota yang gelap, dengan hati-hati mata birunya mulai memerah. Dia tersenyum kali ini, bukan menyeringai seperti sosok jahat yang kubayangkan. Dia berjanji akan menjadi anak yang baik dan penurut pada keluarganya, itu yang dia katakan padaku. Suara berat itu membuatku mengingat setiap detail cerita kelamnya. Aku tertekan, tidak ada saran yang mampu kuberikan. Semua sangat fatal! dendam akan selalu membinasakannya. Aku menatapnya kecewa dan ingin menghentikan cerita bodoh ini namun, lagi dan lagi semua itu mengalir bagai waktu yang tak bisa kuhentikan. Seberkas kelegaan kemudian timbul diwajahnya, yang tidak bisa kuartikan adalah kebanggaan yang mendalam menghiasi wajah tampannya. Dengan senyum tipis dia menatapku, mencoba menatap mataku dalam.
“Hanya Kau, Kau adalah bagian dari file-ku. Kurasa dirimu adalah sandi yang kubuat dan ingatanmu adalah file yang baru saja terselesaikan,” ucapnya serius. “Maksudmu?” “Jangan sampai sandi itu diretas,” balasnya yang kemudian berlalu begitu saja.
Aku mematung tidak mengerti, semua aktivitas di otakku seketika tidak berfungsi. Kata-katanya selalu terngiang di kepalaku, bagai pikiran yang sudah terprogram olehnya. Aku tidak menghentikannya, bahkan Aku bersyukur masih hidup. Semua ceritanya tidak asing bagiku. Pria bajingan itu menuntaskan segalanya, guratan sifat binatang jelas terpaut dihidupnya. Kupandang dia dari jendela kaca, dia tampak berdiri di persimpangan jalan dengan jas hitam modern mencoloknya yang basah. Setelah itu dia menghilang.
Sudah seminggu berlalu sejak peristiwa itu, kudengar kabar mengenai Lidia Solara. Wanita itu telah meninggal di kamar hotelnya dengan balutan perban di seluruh tubuhnya. Badannya telah membusuk dan bau menyengat di kamar itu menjadi tanda kelalaian pegawai hotel. Semua diluar dugaan, warga hotel hanya mengaku bahwa kamar VIP itu kosong sejak sebulan yang lalu.
Sekitar pukul sepuluh pagi sehari sejak kabar kematian wanita itu menyebar, beberapa polisi datang menemuiku. Dengan borgol besi yang mengkilat mereka mengancamku. Tidak ada yang kutakuti, semua orang bahkan menyaksikan mereka menangkapku.
“JULIAN!” Teriakku pada mereka. “Dia pembunuhnya, bukan Aku!” Mereka memandangku aneh, tidak ada yang peduli dengan teriaku. Semua hanya mengeluarkan benda pipih dari saku mereka, terlihat sinar berkedip-kedip di mataku. Aku masih berani, tidak akan ada air mata pikirku. Aku dihakimi sebagai pembunuh Lidia solora, semua bukti mengarah padaku. “Julian, siapa dia?” Tiba-tiba semua orang di kota melupakan siapa sosok Julian Dupont, mereka melupakan namanya? atau mereka pura-pura tidak mengetahui siapa dia?
Ketukan palu persidangan mengembalikan nyawaku, kehancuran seketika muncul dihidupku. Di kejauhan Aku tampak tak berdaya ketika semua cerita Julian kuceritakan pada pihak kepolisian. Mereka hanya tersenyum pahit dengan cerita itu, “Akhirnya kau membongkar semua kejahatanmu,” balas polisi itu puas. Hukuman mati akhirnya menjeratku, sebelas wanita muda termasuk wanita italia itu adalah korbanku, selain dari keluarga bangsawan terkenal di kota ini.
Menuju sel kematian, Aku memandang sosok Pria itu di kejauhan, menatapku dengan tatapan kosong. Mata kami bertemu, dia tersenyum puas melihatku. Bagaikan ingatan kelam, Aku ingin membunuhnya dan menghancurkannya hingga tak berbentuk. Lirikan matanya berubah menjadi bentuk teguran bagiku, hingga sosok itu kemudian perlahan menghilang dalam bentuk kabut yang tebal.
“Aku membunuh wanita-wanita itu, keluarga bangsawan yang sombong dan seekor anjing mereka dengan goresan pisauku. Tapi tenang perban-perbanku akan membalut luka mereka,” ucapnya padaku. Itu adalah secuil potongan cerita yang kuingat dari Julian, selebihnya akan menjadi ingatan buasku saja
“Apa kalian mengenal Julian Dupont?” “Tidak, Aku bahkan asing mendengarnya,” “Tapi wanita pembunuh itu menjelaskan bahwa Julian pembunuhnya, apa dia sakit jiwa?” “Dia jelas gila! dia mengatakan seorang korban adalah pembunuhnya. Kudengar Julian itu adalah putra bungsu keluarga bangsawan yang dia bunuh. Kalau tidak salah, Julian itu anak yang sedikit bermasalah pada mentalnya, wanita itu benar-benar mengerikan,”
Tamat
Cerpen Karangan: Teresia Sinaga Blog / Facebook: Teresia Sinaga
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 13 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com