Drt … Drt … Drt … Suara itu. Entah bagaimana caranya namun mampu membuat diriku terjaga. Sembari menahan kantuk, aku beranjak dari kasur empukku menuju toilet yang berada di dalam kamarku. Berniat untuk mencuci muka agar lebih segar.
Entah sudah berapa kali -mungkin 10 kali- aku terbangun hanya gara-gara suara dering ponsel. Itu memang dari ponselku namun, aku yakin tak ada orang yang kurang kerjaan menghubungi orang lain di waktu dini hari begini.
Waktu itu, pertama kalinya aku mendengar dering ponsel dan menerima panggilan saat dini hari seperti ini hanya ada suara hembusan angin. Anehnya suara angin tersebut mampu membuat bulu kuduk merinding. Yang lebih aneh lagi, nomor yang menghubungiku -menelponku- adalah nomorku sendiri. Nomor yang lama. Bagaimana itu bisa terjadi? Memikirkannya membuatku pusing.
Setelah mencuci muka, aku kembali berbaring di kasur. Mencoba memejamkan mata, namun tak bisa. Mungkin karena aku habis mencuci muka. Insomniaku datang lagi. Lalu apa yang harus kulakukan? Ah … membaca. Aku bisa menyelesaikan novel horor yang kemarin sore kubeli.
Esoknya … “Kamu sakit?” Aku menggeleng pelan. “Saya gapapa Bu.” Jawabku sembari mencoba mengusir rasa pusing yang menyerang. “Saya hanya kurang tidur.” Aku mencoba meyakinkan Bu guru wali kelasku ini. Kemarin, aku tak tidur sampai mentari terbit dari timur. Terlalu tenggelam dalam novel yang kubaca. “Muka kamu pucat. Ibu izinkan kamu ke ruang kesehatan.” Aku akhirnya menganggukkan kepala. Baiklah, mungkin aku bisa tidur sebentar.
Lagipula pelajaran hari ini hanya untuk remidi ujian kemarin. Yang tidak remidi boleh keluar kelas, terserah mau ke kantin atau ke tempat yang lain. Yang penting, tak pulang ke rumah. Sedang yang remidi diwajibkan untuk berada di kelas, mengerjakan ujian ulang. Aku adalah salah satu dari orang opsi pertama yaitu yang tak mengikuti remidi.
Sesampainya di ruang kesehatan, aku berbaring di tempat tidur. Walau sedikit merinding mengingat aku sendirian di sini. Aku membuka layar ponsel kemudian mengklik apk bertuliskan ‘telepon’.
Terperangah saat tak menemukan riwayat telepon dari siapapun. Aku mengerutkan dahi. Mencubit lengan tangan. Meringis. Berarti ini bukan mimpi. Lalu bagaimana mungkin tak ada satupun riwayat telepon alias riwayat panggilan?
“Argh …” Tanpa sadar aku mengerang dan itu membuat orang yang mungkin melewati ruang kesehatan membuka pintu di mana aku berada. “Kamu gapapa?” Tanya orang itu. Aku tak menjawab. Siswi yang tadi bertanya terlihat kikuk. “Kamu bisa istirahat. Aku sedang piket di sini. Mau kubuatkan teh?” Tawarnya. Aku menggeleng. “Engga perlu repot-repot. Aku cuma butuh tidur sebentar.” Ujarku memanjangkan kalimat agar siswi di hadapanku tak kikuk begitu. “Baik. Selamat istirahat.” Itu ucapannya yang terakhir aku dengar sebelum aku terbang menuju pulau mimpi.
Aku mengerjap, menyesuaikan dengan sinar lampu. Mengedarkan pandangan, menyadari ternyata aku berada di kamar kosku. Kenapa aku bisa ada di sini?
“Udah bangun?” Aku menoleh ke sumber suara. “Kak Jo?” Kak Jo berjalan mendekat, menatapku datar. “Kenapa kamu bisa ketiduran di ruang kesehatan gitu? Ga takut sendirian di sana?” “Tadi aku agak pusing terus izin istirahat di sana.” Jawabku. “Kapan Kakak kesini?” Tanyaku kemudian. Kak Jo ini kakakku satu-satunya. Dia sibuk bekerja sembari kuliah dengan biayanya sendiri tentunya.
Kak Jo menyodorkan gelas berisi air putih, aku menerimanya. Tenggorokanku kering sehabis tidur. “Dari kemarin Kakak coba hubungi kamu. Telpon. Kenapa ga diangkat?” “Kapan Kakak hubungi aku?” “Jam 3 pagi.” Aku sontak tersedak. “Uhuk … uhuk … Kakak bilang apa?” Aku menatap Kak Jo dengan tatapan horor. “Jadi yang dari kemarin teror telpon aku tuh Kakak?” Tanyaku memastikan. Kak Jo mengangguk, “Kakak kan ganti nomor lagi. Kakak udah chat kamu di semua medsos kamu tapi ga aktif. Kamu ga pegang ponsel berapa lama?” Aku terdiam. Memang setelah panggilan ke-3 aku mematikan data ponsel. Namun tetap saja, tetap ada yang menghubungiku.
“Kakak pake kartuku yang lama?” Kak Jo menggeleng, “ngapain? Kakak beli kartu baru.” Deg! Jadi yang menelponku siapa?
“Kakak nelpon kamu jam segitu karena cuma di jam itu kegiatan Kakak udah selesai. Tinggal istirahat.” Kak Jo menatapku heran. “Dek, kartu lama kamu kan udah kamu bakar. Waktu Kakak lagi bakar sampah. Kamu lupa?” Ucapan Kak Jo benar, aku baru ingat kartu lamaku sudah kulempar ke kobaran api.
“Tunggu, kamu tadi bilang teror telpon?” Tanya Kak Jo. Aku mengangguk, “aku udah berkali-kali dapat telepon dari nomorku yang lama. Dengan jam yang sama, jam 3 pagi. Setelah telepon ke-3 aku ga pernah aktifin data ponsel. Tadi pagi, aku dapat telepon lagi. Insomniaku kambuh, aku jadi izin tidur di ruang kesehatan karena pusing.” Ceritaku panjang kali lebar. Aku mendekatkan diri ke tubuh Kak Jo saat tiba-tiba merasa takut.
“Kak, sekarang jam berapa?” “Jam 3 pagi.” Glek! Dengan susah payah aku menelan ludah. “Kak pon–” Ucapanku terpotong oleh suara khas dari benda berbentuk persegi panjang yang berada di meja belajar.
Drt … Drt … Drt … Aku yakin mukaku memucat sedang Kak Jo berkeringat dingin. “Kak Jo?” Aku memanggil nama kakakku dengan nada suara yang sarat akan ketakutan.
“Ponselku aku matiin Kak. Gimana bisa ada yang telpon?” Kak Jo menggeleng, “tidur sekarang.” Aku menurut, merebahkan diri. “Kakak temenin aku, aku takut.” Pintaku ketakutan. Kak Jo memenuhi permintaanku. “Stt … gapapa. Masih gelap. Tidur Dek.”
Aku menghela napas, merapatkan diri ke tubuh kakakku. Memejamkan mata. Perlahan, aku terlelap dengan suara dering ponsel yang masih setia berbunyi. Menjadi lagu penghantar tidur untuk kami, aku dan Kak Jo.
End!
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Daa. Dapat ditemui di Wattpad: Daa_zure
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com