Anak laki-laki itu terdiam di tempat. Kakinya membatu, dadanya menyesak begitu angin malam membawa dengan sempurna anyir darah dari jasad di depannya. Beberapa polisi mendorongnya mundur, tidak begitu keras, namun dengan mudah merubuhkan langkah yang memang telah layu itu.
“Adek, jangan di sini. Mayatnya mau segera dievakuasi. Kamu menghalangi jalan.” Seorang polisi menegurnya. Namun, pikiran anak laki-laki berusia 8 tahun itu terlanjur melalangbuana. Tatapannya terus mengarah pada satu titik. Sebuah wajah penuh darah yang kini mengintip dari kantung mayat. Sebuah wajah dari jasad yang setengahnya tercerai berai akibat lindasan kereta.
“Adek! Kamu dengar saya, kan?!” Emosi, polisi mengguncang bahu anak laki-laki itu kencang. “Dek!!”
—
“Keenan!!” Laki-laki itu terkesiap dari tidurnya. Wajahnya pias, sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Keenan menyentuh dadanya, napasnya sesak, ia seperti baru saja ditarik paksa keluar dari lembaran paling kelam dalam hidupnya.
“Keenan!” Sebuah tangan lagi-lagi mengguncangnya keras. “Berhenti, Na. Gue udah bangun.” Gadis itu menarik tangannya, kemudian lantas terduduk di pinggir ranjang. “Lo mimpi buruk?” Keenan menghela napas. “Gak, gue mimpi bahagia.” “Mimpi basah pasti, ya?” Keenan memincing, “Iya, mending sekarang lo keluar, daripada gue serang.” “Weits, si bapak, baru bangun juga udah emosi aja.” Sahna beranjak, “Cepet mandi, abis itu langsung ke ruang tengah.” “Ngapain?” “Hmm…” Gadis berambut pirang itu memasang raut ragu. “..Cuma ada sesuatu yang perlu lo lihat.”
—
“Kasus anyelir hitam lagi?” Rumi. Gadis pendek itu membeo. Tubuhnya membungkuk, menatap deretan foto korban pembunuhan tanpa sensor yang diletakkan acak di atas sebuah meja kaca.
Ruangan itu layaknya ruang tamu pada umumnya. Ada buffet, meja kaca, vas bunga, lukisan, hingga sofa beludru yang cukup berdebu. Semuanya tertata dengan apik, tampak cantik dengan nuansa vintage yang sangat kental. Sebuah tempat yang akan terasa hangat jika dipenuhi keceriaan. Namun, 5 orang dengan emosi mendung -yang kini duduk memutari meja kaca- itu malah menciptakan suasana sebaliknya.
“Kali ini siapa?” tanya Rumi. “Anak pertama kepala sekolah, Pak Haryadi. Waktu kejadian sekitar jam setengah 9 malam. Lokasinya di halaman selatan sekolah. Lagi-lagi di titik buta CCTV.” Jawab Diandra, gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu kemudian mengundurkan diri. Alasannya ia harus segera mandi karena rambutnya sudah lepek. “Kondisi jasadnya?” “Sama kayak 5 korban sebelumnya.” Natta, lelaki berkacamata bulat itu menjawab pertanyaan Keenana tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. “Pelaku seperti berusaha keras menghancurkan bagian tubuh bawah korban. Alat vitalnya dipotong kemudian dibakar. Sisa-sisanya ditemukan tepat di samping tubuh korban.”
Keenan mengambil satu foto dengan tangan kirinya, sementara tangan lain mengambil kaca pembesar. Foto itu adalah sebuah foto yang menunjukkan salah satu bukti tempat kejadian perkara, setangkai bunga anyelir hitam. Foto itu redup, tampaknya diambil tanpa pencahayaan yang cukup.
“Dan.. di tangkai bunga itu sama sekali gak ada darah.” Natta berucap, lagi-lagi dengan mata yang tidak kunjung lepas dari layar, namun entah bagaimana ia tau apa yang Keenan lakukan. “Sedikit beda dari kasus pembunuhan sebelumnya, kali ini pelaku gak menancapkan tangkai bunga ke jantung korban. Cuma ditaruh gitu aja.”
“Kenapa begitu?” Rumi bertanya. Tampaknya pertanyaan itu kelewat abstrak hingga mengundang decakan julid Natta. “Pertanyaan ‘Kenapa’, cuma bisa dijawab kalau kita udah bertemu pelakunya.” “Lo bisa menjawabnya dengan dugaan sementara, kan?” Balas Rumi.
Suara ketukan seketika mengalihkan atensi mereka. Dilihatnya Sahna sudah berdiri di ambang pintu ruang makan dengan apron merah kotak-kotak melekat di tubuhnya, sementara tangannnya memegang centong sayur yang masih basah oleh kuah entah-apa-itu.
“Waktu liat-liatnya udah abis. Sekarang cepet ke ruang makan. Kalian punya banyak laporan yang harus diselesaikan malam ini.” “Na, lo masak?” tanya Natta. “Iya, emang kenapa?” Seperti telepati, Rumi dan Natta saling melirik, ekspresi mereka berubah pahit. Sementara Keenan berlalu menuju dapur.
“Kayaknya mending nge-gofood aja, gak, sih?” “Maksud lo?!”
‘THE SERVANT’ Jarum pendek di jam dinding berbentuk burung hantu itu tepat menyentuh angka tiga begitu Keenan menyelesaikan laporan sepanjang 20 halaman itu. Ia menggeliat, selama beberapa detik mencoba melemaskan tulang-tulangnya yang terasa kaku. Matanya sekali lagi menatap satu kata yang kini terletak di bagian subjek email.
The Servant. Sebuah identitas yang melindungi mereka selama 2 tahun terakhir. Mereka; Sahna Nastusha, Natta Faresta, Kaluna Diandra, Aurumitha, Owen dan dirinya, Akalanka Keenan, 6 siswa jenius yang dikumpulkan sendiri oleh Badan Intelligen untuk menjalankan sebuah misi rahasia; menyusup ke dalam sekolah paling elit di Indonesia, NIS. Tugas utama mereka adalah membongkar dan membuktikan dugaan eksploitasi anak skala besar yang terjadi di sekolah tersebut, namun entah bagaimana, selama 6 bulan terakhir, mereka malah teralihkan pada kasus pembunuhan berantai yang mengorbankan beberapa staff pendidik di sana.
Brak Pintu kamar tiba-tiba saja terbuka, membuat fokus Keenan seketika kembali menyatu.
“Na, bisa gak, sih, kalau masuk ketuk dulu?” “Hehe, désolée.” Sahna mendekat dengan 2 cangkir cokelat panas di tangannya. “Lo belum tidur?”
Keenan menatap gadis yang kini berdiri disampingnya. Sahna adalah yang paling cerdas di antara mereka, tapi entah kenapa dia punya kebiasaan mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya.
“Apa, sih, lo ngeliatin gue begitu?” Merasa diperhatikan, Sahna menyodorkan segelas cokelat panas itu dengan gugup. Alih-alih duduk di samping Keenan, dia berakhir terduduk di pinggir ranjang di belakang laki-laki itu.
“Na.” “Apa?” “Gue pernah bilang kan, kalau lo mirip kakak perempuan gue.” “Gue udah denger itu untuk yang ke-20 kalinya.” Balas Sahna.
“Omong-omong, lo suka bunga Anyelir?” Tanya Keenan. “Biasa aja. Kenapa?” “Kakak gue suka banget sama bunga Anyelir.” Balas Keenan.
Sahna seketika menegakkan tubuhnya. Ini adalah momen yang jarang terjadi. Keenan adalah orang tertutup yang selalu bisa menyembunyikan sejarah hidupnya dengan baik. Jangankan tentang keluarganya, bahkan untuk identitas pribadi, semacam tanggal lahir saja, sangat susah diulik. Ini adalah kali pertama bagi Sahna mendengarkan penggalan kenangan dari seorang Akalanka Keenan sendiri.
“Kakak lo.. orangnya gimana?” “Dia random, bawel, gak bisa masak, kalau lagi nangis jelek banget.” “Dia mirip gue?” “Ya, lo kan begitu.” Jawab Keenan enteng, lantas membuat Sahna gemas, ingin memukul. “Tapi dia tetep kakak terbaik yang gue punya.”
Sahna menurunkan tangannya, “Terus dimana dia sekarang?” “Dia udah meninggal,” Jawaban tak terduga itu lantas membuat gadis itu menahan napas. “..bunuh diri, kelindes kereta.” “Oh iya, dia punya cita-cita random banget. Dia mau nanem Anyelir hitam. Lo tau, Anyelir hitam itu genetically gak pernah ada.” Lanjut Keenan, seakan apa yang diucapkan sebelumnya bukan apa-apa.
Sahna, yang masih terkejut, menelan ludah. “Apa alasan kakak lo..” “Dia diperk*sa berulang kali di tempat kerjanya.. sampai hamil.” “Tempat kerjanya.. dimana?” “Dia seorang pengajar honorer” Keenan terdiam, lantas menatap Sahna. Sesuai dugaannya, wajah gadis itu sudah memucat. “Di Naresh International School.” “Ini daftar pelakunya.”
Laki-laki itu menarik laci meja kerjanya. Mengeluarkan sesuatu yang membuat Sahna lantas kehilangan napas. Sebuah lembar berisi 7 potret, 6 diantaranya dicoret dengan spidol merah. Mereka adalah korban pembunuhan berantai Anyelir hitam.
Bruk Sahna menarik kerah Keenan keras hingga buku-buku yang berada di pangkuan laki-laki itu terjatuh semua.
“Keenan, jelaskan semuanya ke gue.” Keenan menarik satu ujung bibirnya. “Gak perlu. Lo sudah bisa menarik benang merahnya dengan cukup baik, Sahna Nastusha.” “Lo.. pelaku pembunuhan itu?” Praduga itu menamparnya keras. Suara gadis itu gemetar, wajahnya memerah, entah karena marah, kecewa atau mungkin keduanya. Keenan tidak menjawab langsung, menatap ekspresi gadis di depannya lebih lama.
“Jawab gue!” Sahna membentak keras. Keributan yang dibuat keduanya lantas membangunkan Natta, Rumi dan Diandra yang memang tertidur di ruang tamu.
“Apa, sih?” “Sahna, ada apa?” “Ini..” Natta mengambil lembaran berisi 7 potret di atas meja Keenan. “Ini foto korban Anyelir hitam dan.. Pak Kevin?”
“Keenan, jawab!!” Bentakan Sahna lantas membuat ketiganya kembali terkesiap. Mata gadis itu mulai berair, Keenan meraih sebelah pipi gadis itu, mengelusnya lembut, kemudian tersenyum tipis, seakan reaksi gadis itu sudah diprediksinya.
“Bukan. Gue bukan pelakunya. Walau gue punya motivasi kuat untuk itu.” Melepas cengkraman Sahna, Keenan lantas berbalik menghadap ketiga temannya yang masih bingung.
“Gue udah tau siapa pelaku Anyelir hitam. Hubungi pusat dan kepolisian setempat, besok jam 7 malam, kita tangkap basah dia.”
Pukul 8.00. Halaman depan sekolah paling elit seantero negeri itu kini dipenuhi manusia penuh rasa ingin tahu. Penjagaan yang biasanya terlalu ketat untuk dilalui itupun kini tampak kewalahan, terutama saat menghadapi segerombolan jurnalis gigih yang mengincar potret kejadian hot topic yang sedang terjadi di balik gerbang.
“Ini jurnalis kenapa ngumpul di sini semua, dah.” Owen, salah satu anggota The Servant, menonton kejadian itu dari jauh. “Kan bisa aja, mereka pergi lewat gerbang belakang.” “Hah! Gerbang belakang kita langsung ke hutan, bege. Siapa juga yang mau nunggu di sana.” Natta menyahut. “Ini kita beneran nonton doang, nih?” Tanya Rumi. “Ya, beneran. Emang kita bisa apa? Kita, kan, cuma murid teladan yang bisanya cuma belajar.” Ucap Owen nyinyir, lantas membuat ketiga temannya mendelik. Diandra menghela napas. “Gak nyangka, ternyata Pak Leo. Padahal dia kelihatan baik banget, lho. Ngajarnya enak, ganteng lagi.. Sayang kriminal.” Natta menggeleng-gelengkan kepala. Kelakuan temannya memang tidak ada yang benar.
—
“Kamu yang menemukan saya? Kamu pikir apa alasan saya melakukan ini semua?!” Lelaki blasteran itu berteriak histeris saat sebuah borgol mengunci tangannya. “Akalanka Keenan! Saya melakukan ini semua untuk kakak kamu! Asal kamu tau itu!” “Kiran gak pernah mengenal anda. Anda gak pantas berkata seperti itu.” Keenan menatap pelaku pembunuhan berantai itu dengan dingin. Sekelebat memori menyadarkannya, tentang bagaimana versi lama dari sosok keji itu mengikuti diam-diam dirinya dan Kiran, kakak sulungnya, di masa lalu.
“Kamu tau apa yang terjadi pada Kiran selama mengajar di sekolah setan ini?! Kamu akan melakukan hal yang sama kalau kamu tau! Mereka memang pantas mendapatkan akhir seperti itu!!”
Ekspresi Keenan sontak mengeras. Dia melangkah mendekati Leo, Sahna berusaha menahannya namun laki-laki itu mengabaikannya.
Satu tangan Keenan mencengkram bahu Leo dengan kuat. Mulutnya mendekat ke arah telinga laki-laki itu. “Saya tahu semuanya. Semua yang mereka lakukan pada kakak saya.” Bisik Keenan. “Tapi saya gak akan melakukan apa yang anda lakukan.” “Hah! Bisa-bisanya kamu percaya diri seperti itu! Saya tau kamu psikopat, Keenan!” “Wow..” Keenan berdecak kagum. “Anda juga mengorek informasi pribadi saya sejauh itu?”
Dengan isyarat, Keenan memerintahkan para petugas membawa Leo secepatnya. Setelahnya, Keenan kembali mendekati Sahna, namun baru beberapa langkah, kakinya langsung rubuh.
“Keenan!”
Rasanya seperti energinya tersedot habis. Bayangan senyuman dan ekspresi terakhir mayat Kiran tumpang tindih dalam ingatannya.
“Keenan, saya Kevin. Kamu ingat saya?” Seorang laki-laki berjongkok di hadapan Keenan. Wajahnya terluka dan lehernya lebam, tampak bekas percobaan pembunuhan di bagian tubuhnya yang lain. “Saya minta maaf tidak bisa melindungi Kiran saat itu.” Laki-laki itu mulai menangis.
Keenan melihat wajah lelaki di depannya. Ia ingat wajah itu. Seorang laki-laki baik yang membawa sejenak kebahagiaan dalam hidup kakak perempuan. Sangat baik, tapi terlalu lemah.
“Apa yang bisa saya lakukan sekarang, Keenan?” “Tidak ada.” Keenan bangkit, Sahna memapah satu bahunya. “Keenan.” Kevin kembali memanggil. “Terima kasih.”
Keenan hanya diam. Melanjutkan kembali langkahnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan, tapi ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Apapun, selama jalan yang ia tempuh masih kelabu.
Cerpen Karangan: Derai Hara Blog: jodohnyasunyi.blogspot.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 1 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com