Ruwetnya suasana lalu lintas jalan tol Bekasi pada pukul 19-an tak perlu dijelaskan. Bram terjebak di dalamnya. Kesal dan berupaya sabar saling bertindihan. Lembutnya suara penyiar di radio tidak mampu menguraikan kusut emosinya. Sejauh pandangan matanya, hanya tampak punggung kendaraan berbagai jenis, mengular panjang. Jari-jarinya menderap setir, gelembung gas di dalam lambungnya mulai menekan uluhatinya. Ia menggapai handphone.
“Bu, Bram masih lama. Kalau sampai jam sembilan belum sampai, ibu tidur saja dulu.” “Tidak, ibu masih tonton teve sambil tunggu kamu. Kamu sudah di jalan pulang?” “Ya, tapi ini jalanan macet sekali. Mana Bram lagi kesal, biasa urusan kantor.” “Nanti maag akutmu kumat. Sudah makan, kan?” Bram melirik ke kantong biskuitnya yang terbuka, isinya masih banyak. “Sudah.” “Jangan cuma biskuit nggak becus ya! Nanti kamu roboh lagi seperti yang lalu.” Ibunya terlalu tahu untuk dikecohkan. “Ya, bu. Sudah dulu ya. Ini lagi nyetir, nggak boleh telpon lama-lama. Bye, mom.” “Hati-hati ya, Bram.” Klik.
Setengah jam berlalu ternyata mobil Bram belum juga beranjak jauh. Habis sudah kesabarannya, Bram membawa mobilnya ke luar dari jalan tol untuk mencoba peruntungan di jalan lain. Aplikasi GPS di gawainya memberikan opsi jalur melambung yang lalu memandunya melewati jalan berkelok-kelok nan sempit menembus kampung dan berakhir di jalanan berkerikil di antara alang-alang tinggi yang gelap.
Bram menghentikan laju mobilnya karena ragu, hanya kendaraannya yang ada di jalan itu. Ia memeriksa aplikasi GPS dan kali ini hanya memberi tanda kehilangan sinyal. Bram menggerutu sambil mengotak-atik aplikasi itu, tetapi sia-sia. Ia berniat untuk memutar balik mobilnya namun jalan itu terlalu sempit, untuk mundurpun berbahaya karena sorot lampu mundur mobilnya ditelan oleh gelap. Ia seakan dipaksa untuk terus maju.
Bram mematikan radio dan mengunyah sekeping biskuit. Setelah keping berikutnya habis, ia memutuskan untuk terus maju, mengikuti jalan kerikil itu sambil mencari tempat untuk bisa memutar balik. Beberapa menit kemudian, meskipun mobilnya sudah melaju jauh tetapi tempat berputar yang ia harapkan belum juga ada. Alang-alang yang semakin tinggi di kanan-kiri mobilnya seolah menghisab Bram menjauh dari peradaban. Bram menyalakan lampu jauh dalam upaya melawan risaunya yang bertambah dalam hitungan meter. Tanpa disadari, Bram mengijak pedal gas semakin dalam hingga mobilnya melaju terlalu kencang pada suatu kelokan yang mendadak. Mobilnya terperosok dan terjebak di luar badan jalan. Bram berteriak sumpah serapah karena frustasi. Sesudah kesalnya reda, ia mangunyah sekeping biskuit lagi sambil menimbang opsi: tetap tinggal di mobil atau ke luar mencari pertolongan? Ia memutuskan opsi ke dua.
Dengan susah payah, Bram ke luar melalui jendela mobilnya, menerobos alang-alang dan sekarang ia berdiri di tengah jalan dengan hanya diterangi cahaya dari layar gawainya. Ke mana ia harus melangkah: kembali ke jalan kampung atau terus menyusuri jalan gelap ini? Ia mencoba lagi aplikasi GPS-nya dan bersorak lega karena aplikasi itu memperlihatkan ada sebuah bangunan tak jauh dari tempatnya berdiri.
Plang nama “Rumah Makan Kurma” terpampang di teras sebuah rumah sederhana yang hanya diterangi oleh cahaya lampu petromak. Tampaknya karena lokasi bangunan itu jauh dari kampung, aliran listrik dari PLN tidak mencapainya. Pintu rumah itu terbuka lebar meskipun pintu pagarnya tertutup. Bram memutuskan untuk masuk.
Pintu pagar besi rumah itu sudah penuh karat, berderit keras pada saat dibuka. Mungkin itu memang sebagai penanda datangnya tamu bagi pemilik rumah karena tak lama kemudian seorang wanita ke luar. Ia mengenakan daster warna putih yang panjang sampai menutupi kakinya. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai, kulitnya putih pucat, wajahnya lancip, cantik tetapi di ruang mata kirinya kosong. Setelah mendekat, Bram bisa melihat sampai ke dalam rongga mata kirinya itu yang menghitam. Namun mata kanannya sangat indah memancarkan cahaya persahabatan yang misterius.
“Selamat malam, apakah masih buka?” tanya Bram yang entah mengapa tidak terganggu atau merasa ngeri dengan penampakan sang wanita. “Masih, Tuan. Silahkan masuk” jawab wanita itu sambil tersenyum. Suaranya halus dengan sedikit warna tajam sembilu. Pada saat ia berbicara, tak terlihat giginya; rongga mulutnya terlihat kosong.
Rumah makan itu lebih tepat disebut rumah tinggal karena tidak ada sebuah meja makan pun. Bram memiringkan kepalanya heran tetapi menurut saja saat diminta duduk. Ruangan itu hanya berisi sebuah sofa, dua kursi kecil pasangannya dan meja pendek. Dindingnya putih polos tak berhias, kecuali sebuah kalender dinding di samping sebuah pintu bercat hijau yang tertutup. Sebuah lampu petromak yang mendesis, menggantung dari langit-langit yang tidak terlalu tinggi. Cahayanya yang putih menerangi seluruh ruangan. Ruangan itu memiliki dua buah jendela yang tertutup tirai, daun jendelanya terbuka sehingga udara malam bisa mengalir sedikit-sedikit.
“Mohon tunggu sebentar,” kata wanita itu seraya tersenyum kemudian berjalan ke pintu bercat hijau dan membukanya. Perlahan ia melangkah ke ruangan di balik pintu dan sebelum menutup pintunya ia berbalik untuk melihat tamunya lagi sembari pelan-pelan menutup pintu.
Tak lama setelah itu terdengar suara gemeretak, dinding tembok dan pintu sampai bergetar. Lalu sunyi. Sedetik kemudian pelan-pelan pintu terbuka, sang wanita muncul dengan senyum manisnya sambil membawa nampan. Sepiring nasi rames dan segelas teh manis ia letakkan di hadapan tamunya. Nasi putihnya mengepulkan uap panas, lauk-pauknya tersusun rapi dan terlihat menggiurkan.
“Silahkan, Tuan.” “Terlihat sangat enak!” jawab Bram dengan semangat, selera makannya tergugah. Wanita itu tersenyum senang dan duduk di salah satu kursi kecil lantas memperhatikan tamunya makan dengan lahap. Dalam tempo beberapa menit saja, nasi dan lauk-pauk, habis tuntas. Bram terlihat sangat puas.
“Betul, nikmat sekali masakannya.” “Saya lega Tuan senang. Mau tambah lagi? Atau mau minum kopi?” “Tidak, sudah cukup. Terima kasih. Berapa semua ini? saya mau bayar.” Wanita itu terlihat terkejut, seolah belum terpikirkan tentang harga sajiannya. “Ah, berapa saja menurut Tuan.” Bram mengerutkan alisnya, heran. Melihat itu, si wanita akhirnya mengajukan sebuah harga. “Mungkin dua puluh ribu, Tuan?” Bram menjawab dengan merogoh dompetnya dan memberikan uang lima puluh ribu. “Terima kasih, Tuan terlalu baik!” kata wanita itu dengan senyum ekstra manis, rongga mulutnya yang gelap terlihat tipis. Ia melipat uang itu dan menyimpannya ke balik kutang. Bram hanya melongo, tak tega meminta uang kembaliannya, lalu ia menghela nafas.
“Mobil saya terjebak ke luar badan jalan di kelokan sebelah sana” kata Bram sambil menunjuk ke arah lokasi mobilnya. “Apakah di sini ada yang bisa membantu saya menarik mobil?” “Di sini hanya ada saya. Kakak saya sedang pergi.” “Begitu, ya? Mungkin ada tetangga di sekitar sini?” “Tidak ada. Tetangga paling dekat di kampung sana.” Bram menggaruk-garuk kepalanya, ia kehabisan akal. Prospek bahwa ia harus kembali ke kampung dengan berjalan kaki di malam begini membuat rasa lelahnya tiba-tiba mendera.
“Tuan mau saya buatkan kopi?” “Boleh. Sepertinya bakal menjadi malam yang panjang buat saya.” “Jangan khawatir, Tuan. Bila berkenan, boleh menunggu di sini selama yang Tuan perlukan.” “Wah, terima kasih! Mbak tutup jam berapa?” “Tidak perlu dipikirkan, Tuan. Permisi, saya buatkan kopi Tuan,” jawab wanita itu yang kemudian bergegas membereskan bekas makan Bram dan membawanya ke pintu bercat hijau. Seperti yang ia lakukan sebelumnya, ia melihat dulu ke Bram sebelum menutup pintunya pelan-pelan. Sementara itu, Bram berupaya menelepon ibunya. Karena sinyal jaringannya lemah, ia beranjak hendak ke luar, ke halaman rumah.
“Tuan, mau ke mana?!” Sekonyong-konyong wanita itu sudah kembali dengan segelas mug kopi hitam yang aromanya bersemerbak memenuhi ruangan. “Eh!” Bram terkejut, ia tidak mengira wanita itu sudah kembali secepat itu. “Saya perlu menelepon ibu saya agar beliau tidak khawatir. Di dalam sini sinyalnya lemah, mungkin di luar lebih kuat.” “Oh, maaf. Silahkan, Tuan,” kata wanita itu dengan tersenyum.
Bram memperhatikan wanita itu sejenak lalu membalas senyumnya dan melangkah ke luar. Selama Bram di luar, wanita itu memperhatikan mug kopi yang masih di tangannya seolah ada sesuatu yang menarik di situ. Ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran.
Beberapa saat kemudian, Bram kembali dan duduk di sofa. Wanita itu mengikutinya sambil meletakkan mug kopi ke meja dan kembali duduk di salah satu kursi kecil. Bram meraih mug kopi dan mehirup aromanya. “Harum sekali…” ia berguman dan kemudian menyeruputnya. “Ah, nikmatnya,” kata Bram sambil menyandarkan kepalanya pada punggung sofa dan menutup mata.
—
“Kenapa kau ada di sini? Ini kan masih waktuku!” Wanita itu melotot, mata satu-satunya itu memancarkan kemarahan. “Aku hanya lewat saja! Khawatir sekali,” jawab wanita si daster merah. Wajahnya sangat mirip dengan si daster putih kecuali matanya lengkap. Selain perbedaan itu, penampakan mereka bagaikan hasil dari cetak biru yang sama, mereka adalah dua wanita kembar. “Aku tidak pernah mengusik waktumu. Cepat sana pergi!” “Siapa dia?” “Yang pasti dia bukan milikmu!”
—
Bram terbangun dan terkejut melihat cahaya matahari sudah menerobos masuk. Ia tidur begitu nyenyak sampai bajunya kusut. Setelah melihat tanda waktu di jam tangannya, ia cepat-cepat bangkit dan mendapati ruangan itu kosong. “Permisi!” Dalam sekejap si wanita muncul dari balik pintu bercat hijau, tersenyum membawa nampan saji. Seolah-olah ia sudah bersiap di balik pintu sejak tadi. “Selamat pagi, Tuan. Ini sarapannya, nasi uduk.” “Aduh, saya tampaknya sudah tidur begitu lama. Mohon maaf telah merepotkan!” “Jangan dipikirkan, Tuan. Tidak repot sama sekali.” “Terima kasih telah disiapkan sarapan, tetapi saya sudah harus segera pergi.” Tampak jelas wanita itu kecewa. “Kapan-kapan saya ke sini lagi,” sambung Bram cepat-cepat. “Kami hanya buka pada hari senin, rabu dan jum’at malam. Jangan ke sini selain waktu itu!” kata wanita itu yang tiba-tiba menjadi ketus. “Oh, di luar waktu itu tutup?” Wanita itu diam saja maka Bram melanjutkan, “baik, akan saya ingat-ingat itu.” Sebelum Bram pergi, wanita itu membungkuskan sarapan untuknya dan menolak dibayar.
Seminggu kemudian Bram berkunjung lagi dan lagi sehingga hampir setiap malam pada hari senin, rabu dan jum’at, Bram datang untuk makan malam. Percakapannya dengan wanita berdaster putih yang ternyata bernama Sativa, kian lama menjadi intim.
Pada suatu malam, karena sudah rindu, Bram berkunjung bukan pada hari yang ditentukan. Betapa senangnya Bram ia menemui wanita dambaannya datang menyambutnya di muka pintu dengan penuh kemesraan yang lebih daripada biasanya.
“Oh, Bram. Ini kejutan!” kata wanita itu sambil merangkul Bram tanpa malu-malu. “Aku sudah rindu kamu, jadi datang saja meskipun aku tahu hari ini rumah makan kamu tidak buka…” kata-kata Bram terputus saat menyadari bahwa dugaannya keliru. Rumah makan itu terlihat buka seperti malam-malam kunjungannya yang lalu.
Sebelum Bram bisa berkomentar lebih lanjut, wanita itu mencium bibirnya dengan hangat. Seketika ciuman itu menarik Bram hanyut ke dalam pusaran glora berahi yang membutakan sehingga ia tak menyadari bahwa selama pergulatan mereka di atas sofa, ia menatap lekat pada kedua mata wanita itu. Baju daster berwarna merah terkulai di lantai.
—
Tidak seperti biasanya, sudah tiga minggu lebih Bram tidak mengunjungi Sativa di hari senin, rabu dan jum’at. Hal itu membuat Sativa sangat gusar dan menunggu di pintu gerbang sampai larut malam pada hari-hari itu. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi sehingga Bram tidak kunjung datang. Ia tidak menemui sesuatu yang janggal pada kunjungan Bram yang terakhir. Malah, ia merasa sangat yakin mantranya sudah semakin merajut erat.
Dari hari ke hari, hatinya semakin gundah karena batas waktunya sudah dekat. Ranum rahimnya hampir habis. Ia yang mulanya sangat iri dengan kakaknya, karena melihatnya begitu ceria yang ia duga telah menemukan laki-laki untuk rahimnya, sekarang menjadi heran. Belakangan ini sang kakak juga sama gundahnya dengan dirinya.
“Mengapa kamu menjadi begitu kusut? Bukankah kau sudah mendapatkan lelaki?” tanya Sativa yang kemudian dijawab dengan tatapan kesal oleh kakaknya. “Kenapa? Mantramu mandul?” tanya Sativa lagi dengan nada mengejek. “Yang mandul itu laki-lakimu yang bodoh!” jawab kakaknya dengan sengit. “Laki-lakiku?” “Ya! Si Bram laki-laki tak berguna!” Mata Sativa mencorong yang dibalas dengan sama ganasnya oleh sang kakak.
—
“Bram, ibu sudah semakin tua. Kapan kau memberiku cucu?” tanya ibunya pada saat jeda iklan di teve. Bram menurunkan koran yang sedang ia baca, berita utamanya: “Ribuan ASN Bakal Menganggur Akibat AI”. “Bu, Bram mana tega punya anak di dunia yang semakin runyam. Bram sudah lama vasektomi!” “Hah!”
tamat
Cerpen Karangan: Lupin
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Februari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com