Dia adalah Raziel Raddian. Dia tidak memiliki kepercayaan diri terhadap pandangan orang lain kepadanya. Pria yang suka sendirian dan kesepian. Tapi sebaliknya, dia adalah tipe pria yang bersikap keren.
“Selamat pagi Raziel!” sapa dua orang gadis yang sengaja berlari ke arahnya hanya untuk mengucapkan selamat pagi “Pagi.” Balasnya cool. Gadis-gadis tersebut pun tersenyum dengan ceria sambil berlari-lari saking senangnya. Bukan hal aneh memang, kejadian seperti ini sangat sering terjadi. karena tak bisa dipungkiri bahwa Raziel adalah pria yang keren, pandai olahraga dan nilainya pun sangat tinggi. Jadi tak heran jika para gadis mengaguminya.
“Zielll…!!!” teriak seorang gadis berambut hitam pekat bermata bulat bak anime-anime jepang. Ya! Hanya dia yang memanggil Raziel dengan panggilan ‘Ziel’ alasannya sih karena itu panggilan sayang mereka karena sudah bersama sejak kelas 2 SD. Eh tapi sampai saat ini hubungan mereka hanya sebatas “Sahabat kecil” tidak lebih. Sontak Raziel pun menengok ke arah sumber suara “Emi!” Gadis itu bernama lengkap Emily Hatori. Ayahnya adalah asli berkebangsaan Jepang, sedangkan ibunya berkebangsaan Indonesia. Jadi tak heran kalau nama belakang Emily ditambahkan nama keluarga ayahnya yaitu keluarga Hatori. Sedari dulu Emi selalu beranggapan jika Raziel adalah hero, maka dirinya adalah heroine. Itu semua karena alasan yang melekat pada diri mereka yaitu “Sahabat kecil”. Lebih dari yang lain, sedari dulu Emi selalu di samping Raziel. Selalu ada disaat Raziel membutuhkan pertolongan seseorang. “Ziel, tak peduli apa kata orang lain. Aku akan selalu ada untukmu.” Itulah kata-kata yang selalu Emi ucapkan pada Raziel. Semakin beranjak dewasa, kedekatan mereka sering membuat orang lain salah faham. Mereka kadang iri dan mengira bahwa Raziel dan Emi berpacaran. Tapi situasi itu justru dimanfaatkan oleh Emi demi melindungi Raziel dari godaan para gadis yang jatuh cinta hanya karena tampang dan kepopuleran Raziel saja.
Suatu hari, saat Emi dan Raziel sedang beristirahat sejenak di bukit yang terletak di samping jembatan. Mereka tak sengaja melihat seorang gadis yang tengah memanjat jembatan seperti tengah mencoba melompat dan mengakhiri hidupnya saat itu juga. Sontak Raziel dan Emi berlari secepat mungkin untuk menghindari hal itu terjadi. dengan perasaan setengah takut, Raziel mencoba meraih tangan gadis tersebut dan memeluknya erat guna menenangkan gadis tersebut. Gadis tersebut berontak dan mencoba melepas pelukan Raziel. Tapi Raziel malah memeluknya lebih erat dan berkata “Jangan lakukan hal bodoh seperti ini! Karena hanya hidupmu yang akan berakhir. Tapi kesedihanmu akan kekal bahkan bertambah parah!” “Lepaskan! Kamu tidak tau apa-apa tentang hidupku! Aku sudah cukup muak menjalani hidup ini!” teriak gadis itu sambil terisak. “Eh, perasaan apa ini? Kenapa dadaku terasa sesak melihat Ziel memeluk seorang gadis? Dan… kenapa air mataku jatuh tanpa diperintah?” batin Emi di dalam hatinya. “Aku memang tidak tau menau soal masalahmu. Tapi aku tidak akan membiarkan seseorang melakukan hal bodoh seperti ini. Tindakanmu mengingatkan aku perihal ibuku yang mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama. Aku benci orang bodoh yang egois seperti kalian.” Beberapa detik kemudian air mata Raziel pun ikut jatuh tanpa diperintah.
Gadis itu merasa bersalah karena telah membuat pria yang menolongnya mengingat kembali akan kenangan pahit ibunya lalu ia mencoba melepaskan pelukan Raziel perlahan dan berkata “Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu.” “Tak apa. Bukan salahmu jika melakukan hal seperti ini. Dan bukan salahmu juga karena telah mengingatkanku akan kejadian di masa lalu. Aku menyayangi ibuku. Aku menyesal karena tidak bisa menyelamatkan jiwanya. Dan penyesalan itu masih terus berlanjut bahkan sampai hari ini. Jadi aku tidak ingin membuat orang terdekatmu merasakan hal yang sama.” Jelas Raziel sambil tersenyum. “Terimakasih telah menyelamatkan dan menyadarkan aku. Aku sangat berhutang budi pada kalian berdua.” “Tak apa kok. Itu sudah menjadi kewajiban kami untuk menolong.” Ucap Emi angkat bicara. “Oh ya maaf sudah membiarkan pacarmu memelukku. Kamu pasti cemburu.” “Tidak, aku dan Emi tidak seperti yang kamu maksud. Kita hanya berteman. Iya kan Em?” jelas Raziel. Entah kenapa jawaban Raziel barusan seperti telah menghentikan syaraf-syaraf tubuh Emi. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan sulit untuk bergerak. Kata-kata yang keluar di pikirannya hanya “Kenapa?”
Sadar bahwa gadis yang diajaknya bicara ini terdiam, Raziel pun menepuk bahu Emi sambil berkata “Emi? Kamu baik-baik saja kan?” “Eh tentu. Aku dan Ziel berteman sejak kecil. Iya kan Ziel?” jawab Emi dengan senyum yang terpaksa. “Oh syukurlah kalau begitu. Oh iya perkenalkan aku Vennil, rumahku tak jauh dari sini. Jadi, jika kalian berkenan kalian boleh mampir sebagai ucapan terimakasihku.” Tawar gadis yang baru diketahui namanya itu. “Eh, apanya yang syukurlah?” Batin Emi sinis. “Ah terimakasih atas tawarannya tapi maaf bukannya aku tidak mau. Tapi hari sudah mulai gelap dan kita harus pulang tepat waktu. Mungkin lain kali?” tolak Raziel lembut. “Emm… oke tak apa. Kalau begitu sampai jumpa! Sekali lagi terimakasih ya.”
Beberapa bulan setelah kejadian itu. Emi, Raziel dan Vennil jadi sering menghabiskan waktu bersama. Entah untuk berbagi cerita ataupun sekedar bermain di taman. “Zieeelll! Pulang bareng yahhh.” Teriak Emi. “Emmm maaf mi. Hari ini aku ada janji. Jadi tidak bisa pulang bersamamu? Tak apa kan?” jelas Raziel sedikit menyesalkan. “Um, tak apa kok. Kan masih ada hari esok.” Balas Emi dengan menyajikan senyuman manisnya. “Baiklah kalau begitu aku pergi dulu yah. Byee.” “Hat…” belum sempat Emi meneruskan perkataannya, Raziel seketika menghilang dari hadapan Emi dan yang tersisa hanya penampakkan punggungnya saja. “Kenapa? Siapa yang sangat ingin ia temui sampai tidak bisa pulang bersamaku seperti biasanya? Dan kenapa lagi-lagi dada ini sesak? Kenapa sikap dia begitu dingin sampai tidak mempedulikan perasaanku? Kenapa Zieeelll?” batinnya dalam hati.
Karena tidak pulang bersama Ziel, Emi pun memutuskan untuk mengunjungi bukit di samping jembatan yang sering ia dan Ziel kunjungi untuk sekedar beristirahat dan mengeluarkan keluh kesah. Selang beberapa jam kemudian ada sebuah pesan masuk dari Raziel yang menanyakan keberadaan Emi. Tak lama Raziel pun datang sambil mengatur nafasnya karena habis berlari. Dan entah kenapa wajahnya terlihat sangat bahagia seperti ada yang ingin ia bagi.
“Kamu habis darimana? Kenapa kamu berlari? Dan apa yang membuatmu terlihat sangat bahagia Ziel?” tanya Emi penasaran. Tanpa basa-basi Raziel pun memeluk Emi erat. Sekilas, Emi senang karena ini pertama kalinya Raziel memeluknya dan penasaran juga apa yang membuat Raziel sebahagia ini? “Aku suka kamu. Dan aku ingin kamu jadi pacarku.” Ucap Raziel. “Eh?” jawab Emi bingung sekaligus senang. “Aku bilang begitu pada Vennil Em. Akhirnya aku berhasil menyatakan perasaanku padanya. Dan ternyata Vennil juga menyukaiku. Aku bahagia sekali.” Lanjut Raziel. Entah kenapa dada Emily terasa lebih sesak dari biasanya. Air matanya pun lagi-lagi jatuh tanpa diperintah. “Kenapa? Kenapa Vennil?” jawab Emi sambil terisak.
Mengetahui ada yang aneh dari Emi akhirnya Raziel melepaskan pelukannya dan mendapati mata Emi tengah dibanjiri air mata. “Kamu kenapa? Apa yang membuatmu menangis Emily?” tanya Raziel panik. “Kenapa Vennil? Kenapa bukan aku? Apa kebersamaan kita selama ini sama sekali tidak membuat kamu jatuh hati? Kenapa harus Vennil yang baru beberapa bulan kamu kenal? Aku suka kamu. sangat suka. Bahkan lebih dari yang kamu pikirkan. Selama ini aku mencintaimu Ziel. Tidakkah kamu sadari itu?” teriak Emily tak tertahankan lagi. Akhirnya dengan perasaan kacau, Emily pun berlari meninggalkan Raziel tanpa sepatah kata lagi. Rasanya hatinya benar-benar hancur. Dan siapapun tak akan mampu memperbaikinya.
Semenjak pengakuan itu, Emily dan Raziel tidak pernah pulang bersama lagi. Bahkan ketika saling berpapasan sekalipun, mereka bertingkah seolah tidak pernah mengenal satu sama lain. “Aku tidak mau menetap jika yang bisa kulakukan hanya menatap!” itulah kata-kata yang sempat Emily katakan secara perlahan ketika tengah berpapasan dengan Raziel. Mendengar itu, Raziel hanya bisa menunduk seolah tak percaya bahwa gadis yang selama ini selalu bersamanya mempunyai rasa sebesar itu terhadapnya.
End
Cerpen Karangan: Yenti Siti Nuryaman Blog: yentisitinuryaman.blogspot.co.id