Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di SMA Darmawangsa. Di sinilah ia, dengan dandanan super norak, yaa seperti MOS biasanya. Rambut dikepang empat, memakai pita berwarna kuning, menggendong tas yang terbuat dari kardus, seragam MOS lengan panjang, rok hitam sepanjang di bawah lutut, memakai kaos kaki panjang warna-warni, dan sepatu hitam dengan tali sepatu dari tali rapia. Baginya, orang gila pun tidak suka memakai ini.
Meskipun begitu, gadis ini tetap kelihatan cantik karena bentuk wajahnya yang lonjong dan hidungnya mancung. Ia bisa dikatakan wanita dengan tinggi dan berat badan ideal. Badannya tidak terlalu pendek dan juga tidak terlalu tinggi. Kulitnya kuning langsat memang kelihatan seperti gadis Indonesia.
Bruuukkk “Maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Kata laki-laki tinggi yang menabraknya, memberikan tangannya membantu si gadis bangun. Laki-laki itu terpaku melihat si gadis. “Iya tidak apa-apa.” “Wahh, pria ini tinggi sekali ya? Telingaku saja sebahunya.” Kata gadis itu dalam hati. “Kamu dapat ruangan berapa?” tanya gadis itu iseng. “Oh, aku dapat ruangan tiga. Kamu?” Laki-laki itu mulai tersadar, lalu menjawab. Ruangan mereka sama! “Kebetulan sekali, aku juga dapat ruangan tiga. Aku bisa ikut denganmu?” katanya penuh harap. “Hmm, bagaimana yaa..” “Ayolah, aku hanya mengikutimu dan tidak akan mengganggumu.” “Hmm, sebenarnya aku baru datang dan tidak tahu di mana ruanganku. Jadi, bagaimana kalau kita mencarinya bersama-sama?” raut wajah si gadis berubah drastis. Sekarang malah laki-laki itu yang berharap ikut dengannya. “Sudahlah lupakan saja. Kita cari sendiri-sendiri saja.” Jawabnya singkat lalu pergi. “Sebentar sebentar,” ia mencegat si gadis. “Apa tidak sebaiknya kita mencarinya sama-sama, toh kita satu ruangan. Lagipula aku belum punya teman di sini. Namamu siapa?” “Minggir! Kau menghalangi jalanku. Nanti saja saat perkenalan di kelas, kau juga akan tahu namaku.” Jawabnya sambil tersenyum licik, lalu berjalan menyusuri koridot sekolah. “Kau tidak ingin tahu namaku? Atau mungkin kau memang sudah tahu?” “Dari mana aku tahu namamu? ini kan kali pertama kita bertemu dan apa kau anak pemilik sekolah ini sehingga aku harus tahu namamu?” sekali menatap laki-laki itu, merasa tidak pernah melihat, ia menggeleng lalu memfokuskan kembali pandangannya ke setiap kelas. “Haah, yang benar saja. Kau yakin tidak pernah melihatku? Apa kau tidak punya televisi di rumah? Aku benar-benar kecewa ternyata masih ada yang tidak tahu diriku.” Sadar ia tidak didengarkan oleh gadis itu, dia mengomel. “Hei, apa kau mendengarkanku? Kau benar-benar. Tak ada yang bisa mencampakkanku seperti ini. Heii! kau dengar aku tidak?” “Kau berisik!” jawab gadis itu singkat dan membuat laki-laki itu semakin penasaran. “Kau benar-benar tidak tahu aku atau kau seperti ini hanya untuk mencari perhatianku? Aaa, jangan-jangan memang benar begitu. Memang mustahil anak remaja sepertimu tidak mengetahuiku. Kau mendengarkanku kan?” “Haaa, ya Tuhaan.. sekolah ini kenapa luas sekali ya? dari tadi kita berkeliling tapi masih belum juga menemukan kelas kita. Apa perlu aku membawa scooterku untuk mengelilingi sekolah ini. Hhh, benar-benar melelahkan.” “Wahh, ternyata kau benar-benar tidak mendengarkanku. Kau memang unik.” “Apa? kau membicarakan apa?” “Sudahlah, aku jalan duluan. Kalau sampai aku yang menemukannya, berarti kau payah.” Jawab laki-laki itu lalu mendahului si gadis.
Laki-laki itu berjalan menunduk karena mungkin tidak ingin diketahui banyak orang. baru berjalan beberapa langkah, laki-laki itu terhenti karena melihat sepatu sport biru tua di depan kakinya. Ia memandang dari bawah sampai ke atas.
“Kau?” “Ruanganmu.” Jawab pria yang memakai sepatu biru itu sambil menengok ke samping lalu menatap laki-laki itu lagi. “Ternyata kau OSIS Kev? Seandainya aku tahu sejak awal, aku tidak ingin sekolah di sini, dan jadi babumu selama beberapa hari ini.” “Mengecewakan sekali, sayangnya sudah terjadi. Ingat, di sini aku bukan kakakmu Lev, jaga sikapmu. Dengan begitu, kau tidak akan mendapat masalah.” Jawab Kevin menggingatkan. “Jika aku tidak dapat masalah?” “Kau akan cepat melewati masa-masa ini yang menurutmu menjadi babu.” “Baiklah, kau tenang saja Broo!” sambil menepuk pundak Kevin beberapa kali. Hal ini dilihat oleh OSIS yang lainnya dan menatap aneh Levin yang kurang ajar. Levin menyadarinya dan segera menyapa. “Eh, maafkan saya kak. Selamat pagi kakak OSIS yang cantik.” Kata Levin kepada OSIS yang berdiri di depan kelas. Teringat gadis tadi yang diajaknya berjalan, dia menengok ke belakang. Lalu memanggil gadis itu. “Eh cewek jutek! Ssstttt! Di sini kelas kita. Cepat sini!” Levin memanggil gadis itu lalu menunjukan kelasnya. Kevin melihat gadis itu lalu tersenyum. “Apa yang kau lihat?” tanya Levin pada Kevin. “Tidak ada, aku sudah bilang untuk kau menjaga sikap.” Wajah Kevin kembali datar. “Jangan coba-coba mendekatinya.” “Kita lihat saja, siapa yang mendekati siapa.” “Kau terlalu percaya diri kak Sen. Jalani saja tugasmu terlebih dahulu.” Levin membungkuk hormat lalu masuk ke kelas.
Tiba-tiba Bruukkk… Mereka terjatuh dalam posisi si gadis di atas Kevin. “Kau tidak apa-apa?” tanya Kevin. “Maafkan saya kak. Tadi saya terburu-buru karena bel sudah berbunyi.” “Apa posisi kalian akan begitu terus sampai pulang nanti?” tanya Levin tiba-tiba berada di depan pintu kelas dan mengejutkan mereka, lalu mereka bangun. “Sini aku ikatkan tali sepatumu. Akanku ikatkan agar kau tidak jatuh lagi.” Tawar Levin sambil mengikatkan sepatu si gadis lalu menatap sinis Kevin. “Cepat masuk!” triak Levin pada Hani “Wah, perasaan kau bukan OSIS tapi malah kau yang membentakku.” “Sebagai pemanasan.” Jawab Levin. “Tunggu dulu.” Cegat Kevin. “Namamu siapa dik?” tanya Kevin pada si gadis. “Nama saya Hani kak. Kakak Kevin Brahmana itu kan? penyanyi solo yang satu menejemen dengan Kak Arisa itu kan?” Jawab si gadis itu dan bertanya lagi lalu memperlihatkan senyum manisnya kepada Kevin.
Ini membuat Levin geram. Saat dia bertanya nama gadis itu, gadis itu malah tidak mau menjawab dan sekarang saat Kevin yang menanyakan namanya, dia menjawabnya dengan cepat, tersenyum manis bahkan lesung pipinya terlihat di wajahnya. Yang lebih mengesalkan lagi, gadis itu tidak tahu bahwa Levin seorang artis, sedangkan dia tahu Kevin seorang artis bahkan tahu menejemen dan teman artis satu menejemennya. Levin merasa selalu saja Kevin mengambil semua yang dimilikinya, bahkan yang belum menjadi miliknya.
“Wahh, kau tahu dia artis?” tanya Levin jengkel. “Iyalah, siapa yang tidak tahu dia di negara ini?” “Baiklah, ayo masuk. Aku lelah bicara denganmu.” Jawab Levin menyerah.
Saat ingin memasuki kelas, Kevin memegang lengan Levin lalu berbisik. “Kau lihat sendiri bukan? Dia yang menggodaku.” “Dia beda dengan wanita-wanitamu Kev. Selamat berjuang!” jawab Levin sinis. “Kau juga. Tapi jangan terlalu kecewa lagi kali ini.” Jawab Kevin santai.
Levin dan Hani ternyata menjadi teman sebangku. Hani merogoh sakunya mencari HPnya yang berdering sejak tadi. Di layar Hpnya tertulis nama “Omma”. Hani terus memandang Hpnya tanpa mengangkatnya dan membiarkannya bergetar. Itu membuat Levin bingung. beberapa saat kemudian, sebuah pesan masuk. Tertulis di sana,
“Baiklah tak apa kau tidak mengangkatnya. Semangatlah dihari pertama sekolahmu Madu Sayang. Semoga kau mendapat banyak teman baru.” “Kenapa kau tidak mau mengangkat telepon nenekmu?” tanya Levin tiba-tiba. “Kau mengintip ya? Siapa bilang itu nenekku?” “Omma? Bukannya nenek?” “Omma itu bahasa korea dari Ibu.” “Aaa, kau orang korea?” “Kelihatannya?” “Dari warna kulit mungkin iya?” “Wah benarkah? Menyenangkan sekali.” “Jadi kau bukan orang korea?” “Tentu saja tidak. Kau lihat semuanya? Aiiissh, kau benar-benar.” Jawab Hani kesal. “Namaku Hani kak? Huuh, imuut sekali kau mengatakannya.” Meledek Hani sambil mengalihkan pembicaraan. “Iyalah, dia kan artis. Berbakat, pintar, tampan pula. Benar-benar laki-laki idaman banyak wanita. Tidak sepertimu, jutek, kasar pula dengan wanita.” “Heii, aku ini memperlihatkan sifat asliku kepadamu. Asal kau tahu laki-laki seperti Kevin itu yang sangat membahayakan. Saat kau sudah lama mengenalnya, kau akan tahu bagaimana sifatnya.” “Memangnya kau sudah lama mengenalnya? lalu, menurutmu kau adalah laki-laki yang tidak membahayakan?” “Kau bodoh atau terlalu polos? Tentu saja aku bukan orang seperti dia.” Jawab Levin percaya diri. “Maksudmu?” tanya Hani bingung.
Tiba-tiba OSIS melempar penghapus papan ke arah Hani. Levin berusaha menangkap penghapus papan yang bahan dasarnya besi itu dengan tangan kanannya, tapi ternyata OSIS perempuan itu terlalu keras melemparnya sehingga tangan Levin tidak mampu menahannya lalu terkena dahi Hani. Levin dan Hani tahu mereka salah karena sibuk berbincang dan tidak menghiraukan OSIS berbicara di depan, tapi Hani tidak tahu kenapa hanya dia yang dilempari penghapus sedangkan Levin tidak.
“Levin! Cepat ke UKS!” Perintah kakak OSIS yang melempari Hani penghapus papan. “Tapi kak, dahi Hani juga bengkak.” Jawab Levin sambil memandang Hani. “Aku tidak apa-apa, pergilah.” Jawab Hani. “Levin cepaat!” teriak OSIS itu lagi. Levin bergegas ke UKS untuk mengobati tangannya.
Setelah mengobatinya, petugas UKS melarangnya ke kelas dan memintanya istirahat saja. “Yang sakit tangan saya bu, bukan kepala atau badan saya. Saya baik-baik saja.” Jawab Levin santai dan akan berjalan keluar UKS. Saat membuka pintu, tiga anak perempuan terjatuh karena bersender di pintu UKS sambil mengintip Levin. Banyak anak perempuan lainnya yang mengintip di jendela dan segera akan menerkam Levin jika dia tidak menutup pintu UKS. Levin sangat panik. Dengan nafas terengah-engahi ia menutup pintu UKS lalu menguncinya. “Maka dari itu, ibu menyuruh kamu untuk istirahat dulu.” Jawab petugas UKS dengan santai. Dan menulis kembali. “Kenapa ibu tidak bilang dari tadi? Kenapa mereka cepat sekali tahu bahwa saya sekolah di sini? Belum ada tiga jam saya berada di sekolah ini. Bagaimana ini?” tanya Levin panik. “Tenanglah, lama kelamaan kau akan terbiasa nak.” “Tapi saya ingin ke kelas bu. Sayaa..” “Dia baik-baik saja, tadi aku sudah mengobati dahinya.” Jawab Kevin tiba-tiba. Lalu memberikan kode kepada ibu pengawas UKS untuk membiarkan mereka berdua saja di sana. “Siapa yang memberimu ijin mengobatinya?” tanya Levin kesal. “Dia sendiri yang memintaku mengobatinya.” Jawab Kevin merasa menang. “Dasar gadis tengik.” “Aku sudah bilang untuk tidak membuat masalah. OSIS cantik tadi itu sangat menyukaimu, tapi kau malah sibuk berbincang dengan Hani tanpa menghiraukannya berbicara di depan. Awalnya dia sangat senang karena kau sekolah di sini tapi kau malah membuatnya kesal lalu melempar Hani dengan penghapus papan yang seperti batu itu.” Jelas Kevin. “Dia seharusnya profesional.” Jawab Levin lesu. “Kau juga. Sekarang bagaimana caranya kau profesional karena kau tidak bisa bermain piano maupun gitar? Aku akan bilang pada menejermu. Sekarang kau istirahat saja.” Kata Kevin lalu pergi meninggalkan Levin sendirian.
Hani ternyata mendengarkan percakapan mereka dari luar. Hani sudah mengetahui Levin seorang artis karena sebelumnya Hani sempat ingin menjenguk Levin tetapi banyak fansnya di luar UKS menunggunya. Hani mengurungkan niatnya, dan datang lagi setelah luka di dahinya diobati oleh Kevin, dan mendapati Kevin sudah di sana.
“Hhm, kak Kevin memang baik sekali. Meskipun dia tidak dihormati oleh Levin.” Kata Hani dalam hati, kagum akan kesabaran hati Kevin. Hani bersender di pintu UKS. Saat Kevin membuka pintu UKS, Hani jatuh tersungkur ke belakang lalu bersender di dada Kevin. “Hani, kau tidak apa-apa?” tanya Kevin khawatir. “Hehe, lagi-lagi kakak menyelamatkanku. Maaf kak, saya ingin menjenguk Levin.” Jawab Hani nyengir tidak tahu malu. “Oh, lagi pula dia sudah baik-baik saja.” Jawab Kevin kesal. “Siapa bilang aku tidak apa-apa? katanya kau akan menghubungi menejerku, pergi sana!” usir Levin dengan senyum liciknya. Lalu Kevin keluar dari UKS. “Jadi kau adik kak Kevin? dan kau sebenarnya artis? Ini yang kau maksud aku sebenarnya bodoh atau polos?” tanya Hani dengan halus. “Jadi kau baru menyadarinya? Apa kau hanya akan berdiri seperti itu? Ayo disini duduk.” Pinta Levin duduk disampingnya sambil menepuk kasur disampingnya. Hani menurut saja. “Bagaimana ini? Karena aku kau tidak bisa bermain musik lagi? Maaf aku selalu membuat masalah.” “Siapa bilang tidak bisa lagi? Hanya tidak bisa untuk saat ini. Luka ini akan cepat sembuh jika kau yang merawatku. Hmm, ya kau memang pembuat masalah.” “Ya, aku memang pembuat masalah.” Sejenak Hani terdiam dan mulai menyadari lalu berkata “Apa kau bilang? Aku? Kau punya banyak asisten dan ada menejer juga.” “Kau tidak merasa bersalah? Aku begini karena kau?” “Kau yang ingin menyelamatkanku bukan aku yang memintanya.” “Apa perlu aku memohon?” “Baiklah, aku tak ingin berdebat denganmu.” Jawab Hani cepat. “Baiklah, sepulang sekolah nanti kau harus menjemputku di sini dan mengantarkanku ke mobilku, lalu mengantarku pulang.” Kata Levin senang. “bagaimana dengan fansmu? Mereka bisa memakanku nanti bila mereka tahu.” “Tak akan, aku akan bilang bahwa kau adalah asistenku.” “Menjadi asisten pasti mendapat gaji.” “Berapapun kau mau.” “Baiklah, aku ke kelas sekarang.” Hani berdiri tapi Levin mencegatnya dengan memegang tangannya. Hani berhenti lalu memandang wajah Levin. “Tentang ibumu, angkatlah teleponnya. Ia hanya seorang ibu yang memperhatikan anaknya dan ingin mendengar suara anaknya. Aku mungkin tidak tahu masalahmu dengan ibumu, tetapi seperti lukaku yang kau buat ini bisa sembuh, lukamu yang dibuat oleh ibumu itu bisa juga sembuh Han. Percayalah! mungkin aku memang mudah mengatakannya tapi aku sudah lebih dulu mengalaminya. Aku tidak bisa memaafkan ibuku, sampai akhirnya ibuku meninggal dan aku belum sempat meminta maaf kepadanya. Jangankan kakakku, aku pun tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Maafkanlah dia sebelum terlambat.” Hani menghapus air mata Levin lalu Levin melepaskan tangan Hani dan membiarkan gadis yang ia cintai itu pergi.
Cerpen Karangan: Putu Eni Oktaviani Facebook: Eni Oktaviani They