Di kelas Hani masih memikirkan kata-kata Levin tadi. Memang benar Hani sangat membenci ibunya karena ibunya setahun yang lalu telah memarahi kakaknya yang gagal diujiannya dan membuat kakaknya bunuh diri. Hani sangat terpukul karena hanya kakaknya yang bisa mengerti perasaanya setelah ayah dan ibunya bercerai saat itu. Hani juga yakin kakaknya gagal ujian karena terganggu oleh masalah keluarganya yang sedang kacau balau saat itu.
“Hei!” sapa Kevin yang mengejutkan lamunan Hani. “Eh, kakak.” “Hani, kamu ada waktu nanti sepulang sekolah mau ke toko buku? Kamu bilang tadi saat perkenalan kau suka baca buku.” “Buku Traveling kak. Hehe” jawab Hani malu. “Haha, kakak kira buku sejarah atau semacamnya.” “Hmm, nanti pulang sekolah aku menghantar Levin dulu pulang kak jugaan,” permbicaraan Hani dipotong Kevin “Hmm, Hani. Kami tidak tinggal serumah.” Jawab Kevin lesu. “Aaa, begitu kak. Maaf.” jawab Hani merasa bersalah.
Hp Kevin berdering lalu dia segera mengangkatnya. Hani memperhatikan laki-laki yang ia sukai itu dari kejauhan. Kevin mengangguk pasti sambil sesekali melihat ke arah Hani. Kevin kembali menghampiri Hani. “Lain kali saja Hani. Menejer kakak tadi menelepon dan ada job. Maaf ya Hani.” “Ahh? Iya kak tidak apa-apa.” jawab Hani dengan senyum terpaksa. “Perasaan tadi dia yang mengajakku hang out tapi kenapa malah dia meminta maaf seakan dia yang menolakku? Iih, menyebalkan sekali.” Katanya dalam hati.
Bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Hani bergegas pergi ke UKS untuk mengantar Levin pulang. Levin juga sudah ditunggu oleh menejernya di mobil. Levin masuk mobil.
“Cepat masuk, aku sudah mendengar semuanya dari Kevin.” kata menejer Levin sambil menatap Levin dengan wajah yang marah. “Siapa lagi wanita ini? Kau yang bernama..” lanjutnya lalu omongannya dipotong Levin. “Yaa, dia Hani. Biarkan dia bertanggung jawab atas tindakannya.” “Apa yang aku lakukan?” tanya Hani kesal pada Levin “Kau melalukan perjanjian denganku dan kau sudah menyetujuinya tadi bukan?” Levin bertanya balik kepada Hani dan merasa menang. “Baiklah, aku akan mengantarmu pulang lalu pergi.” Jawab Hani singkat.
Mereka sampai di Apartemen tempat Levin tinggal. Levin meminta pada menejernya agar meninggalkannya sendiri di rumah dan beralasan ingin banyak istirahat agar cepat sembuh dan bisa bekerja kembali.
“Masalah asisten rumah tangga?” tanya menejer. “Tenang saja. Aku sudah meminta Hani melakukannya.” Jawab Levin santai. “Siapa bilang aku mau?” jawab Hani kesal. “Baiklah, aku pergi. Aku juga butuh liburan. Jarang ada momen seperti ini.” Jawab menejer. “Wah, sepertinya kau ingin aku sering seperti ini.” “Baiklah, aku pergi. Ingat janjimu. Aku hanya akan memberimu waktu tiga hari.” Teriak menejer dari kejauhan. Dan akhirnya yang tersisa hanya Hani dan Levin disana.
“Hei, apa kau hanya diam saja seperti itu dan membiarkanku seperti ini?” “Wahh, aku hanya tidak percaya kau memperlakukanku seenaknya seperti ini. Asisten rumah tangga? kupikir perjanjian kita hanya sampai mengantarmu pulang saja.” “Ya memang, kau bahkan belum mengantarku naik ke atas dan masuk ke Apartemenku.” “Lalu?” “Kita akan membicarakan kontrak kerja. Bukankah kau ingin dibayar tadi?” “Baiklah, sehari lima ratus ribu.” Tawar Hani dengan senyum licik. “Deal!” Levin langsung menyetujuinya dan mengulurkan tangannya untuk sepakat. Hani terkejut karena Levin langsung menerimanya tanpa berpikir panjang. Setinggi itukah pendapatan seorang artis? Pertanyaan itu terngiang di benak Hani. “Hei, tanganku sakit nih!” tegur Levin yang masih mengulurkan tangannya. “Secepat itukah kau setuju?” tanya Hani meyakinkan. “Tentu saja.” Jawab Levin santai. “Baiklah, Deal!” akhirnya, Hani mengulurkan tangannya dan bersepakat. “Baiklah sekarang bawa aku ke dalam. Bersihkan Apartemenku dan buatkan aku makan malam lalu kau bisa pulang dan membawa uang lima ratus ribu pulang kerumah.” “Tapi, makan malam empat jam lagi.” “Berarti kau boleh pulang empat jam lagi, tak perduli apa yang kau kerjakan, selesai atau tidak, kau baru boleh pulang empat jam lagi. Mengenai transportasi, aku akan menelpon taksi yang akan mengantarmu sampai di depan rumahmu jadi kau akan aman.” “Baiklah terserahmu. Yang penting aku dapat gaji. Ayo keatas, aku sudah bosan mendengar ocehanmu.” Sambil menggandeng Levin ke Apartemennya. “Wahh, sebutuh itukah kau dengan uang?” “Ya, aku ingin ngekost. Jika aku bekerja denganmu, aku bisa menyewa kost sebulan hanya dengan tiga hari bekerja denganmu.” “Jadi kau ingin hidup mandiri. Kau mau kost dimana? Kau bisa menyewa Apartemen di sebelah kamarku, di sana belum ada yang menempati.” Mereka naik lift. “Kau gila? aku tidak sepertimu.” “Kau bisa menjadi Asistenku dan mendapat gaji lebih banyak dan penghasilan tetap.” “Kau sangat percaya diri ya? Siapa tahu tahun depan kamu sudah tidak laku lagi.” “Aku pastikan setidaknya untuk tiga tahun kedepan karirku masih cemerlang. Setelahnya kita akan lulus SMA dan kau bisa mencari pekerjaan tetap yang lebih menjanjikan. Tapi tetap ingat menabung.” “Wah, apa kau sedang mengatur hidup seseorang saat ini?” tanya Hani jengkel.
Ting tuung.. Pertanda lift terbuka. Mereka sampai di lantai 22. Hani dan Levin sampai di depan Apartemennya. Lalu Levin mencari kunci Apartemennya.
“Aku mengatur hidupmu ke jalan yang benar kan? Apa salahnya? Berhenti bicara dan ayo masuk. Aku sudah lelah lama berdiri tadi di bawah.” Kata Levin sambil membuka pintu. “Waahh, begini caramu menghabiskan uangmu.” Puji Hani melihat sekeliling Apartemen Levin. Dekorasi ruangannya serba gelap dan cukup luas. Pertama kali masuki Apartemen, Hani melihat ruang tamu yang lumayan luas dengan campuran warna krem dan abu dengan tembok berwarna ungu gelap. Sebelah kanan ruang tamu ada dapur yang serba abu pula. Sebelah kanan ruang tamu terpampang jendela yang lebar untuk melihat pemandangan, jika dibuka juga terdapat balkon di sana. Di depan dapur, tepatnya di samping kiri Hani saat ini terdapat pintu. Dan Hani memegangi ganggang pintunya lalu melirik ke arah Levin.
“Wah, di sini pasti kamarmu kan?” tanya Hani percaya diri. Hani langsung membukanya dan terkejut. Lalu menutup pintu dengan keras dan menghadap ke arah Levin. “Levin!” “Kau mengejutkanku saja. Ada apa?” jawab Levin kesal karena terkejut. Menatap Hani sebentar lalu dia kembali asik bermain ponsel. Hani mendekati Levin dengan senyum liciknya. “Ternyata kau laki-laki seperti itu. Fansmu harus tahu semua ini.” kata Hani menggoda. Hani mengeluarkan ponselnya berniat membuat artikel tentang Levin di Internet. Levin masih asik bermain ponsel seakan tak peduli. “Hmm, bagaimana ya? Bagaimana aku harus memulainya? Judulnya harus menarik agar artikelku menjadi trending topik. Hmm, apa ya? Menurutmu apa bagusnya Lev?” Levin masih tak berkusik. Membuat Hani semakin terpancing menggoda Levin lebih keras lagi. “Si Pingky Boy Levin? Atau Levin Brahmanda ternyata penyuka warna pink, atau menutupi aib, Levin Brahmanda menghias semua ruangan di Apartemennya berwarna gelap tetapi hanya kamarnya saja yang penuh dengan warna pink. Menurutmu, mana yang paling menarik perhatian fansmu? Hah?” lanjut Hani dengan senyum liciknya dan mendekatkan wajahnya ke Levin. Tetapi Levin masih tetap tak menghiraukannya dan membuat Hani jengkel. “Aiissst, orang ini sepertinya tidak mempunyai urat malu ya?” sidir Hani. “Hhh, kau memang bodoh ya?” Levin mendongak keatas karena Hani berdiri tepat di depannya. Levin merasa kesal bila dia diganggu saat bermain game. “Apa?” Hani meninggikan nada suaranya. Levin lalu berdiri. “Ya, kau bodoh. Lihat di situ?” tangan kanan Levin yang diperban memegang kepala bagian belakang Hani dan tangan kirinya menunjuk ke arah pojok kiri ruangan yang berada tak jauh dari tempat ia duduk. Posisi mereka saat ini sangat dekat, itu membuat Hani gugup. “Itu tembok.” Jawab Hani dengan polosnya sambil memandang ke arah Levin dan tangan Levin masih di kepalanya. Levin juga menatapnya sebentar lalu menjelaskan. “Kau tidak pernah nonton Drama Korea My Love From The Star? Ya, seperti ruang rahasia. Keren sekali bukan?” jelas Levin lalu menatap Hani lagi. Hani sejak tadi mendongak menatap Levin tanpa berkedip. Mereka berdiri sangat dekat saat ini. Tangan kanan Levin mengarahkan kepala Hani mendekat padanya. Tangan kiri Levin menarik pinggang Hani ke pelukannya. Levin menundukkan kepalanya dan menutup matanya, lalu mereka berciuman..
Suasananya sangat romantis. Levin baru menyadari dia mencium Hani tetapi dia tetap diam dan tidak membuka matanya. Yang saat ini dipikirannya hanya Hani. Dan ia mulai menyadari lagi, bahwa Hani membiarkan ia menciumnya. Itu membuatnya senang dan membuat jantungnya berdebar. Sepertinya Hani menyadarinya lalu Hani membuka matanya dan melepaskan pelukan Levin.
Hani menggaruk-garuk punggungnya. Ia tegang, bingung harus berkata apa. dan akhirnya dia bicara. “Apa yang baru saja kau lakukan?” Hani memegang kepalanya, memegang tas dibahunya lalu pergi. Tetapi ia dicegat Levin dengan memegang tangannya. “Maafkan aku, ini salahku. Jangan pergi dulu.” Kata Levin panik. Hani tidak peduli dia melepaskan tangan Levin lalu ke luar Apartemen, lalu masuk ke dalam lift.
“Aduh, bagaimana ini? Sejujurnya aku tidak marah, aku hanya malu. Aku takut dia meledekku lagi. Dan dia mengatakan bercanda menciumku. Ayolah Hani, jangan jadi murahan. Bagaimana bisa kau berciuman dengan orang yang bahkan belum sehari kau kenal. Bodohh!” Kata Hani dalam hati.
Ting tuung… Lift terbuka. Hani terkejut ternyata ada Kevin di depannya. Hani berusaha bersikap biasa saja agar Kevin tidak curiga. “Hhh, untung saja kau belum pulang. Tepat waktu. Mau jalan sekarang?” “Ahh? Ya boleh kak.” Jawab Hani tersenyum. “Baiklah, ayo!” Kevin mengulurkan tangannya untuk Hani. Hani menyambutnya dengan gembira. Dia sudah lama mengidolakan Kevin. Menurutnya Kevin itu sempurna.
Saat Hani dan Kevin keluar dari Apartemen, Levin melihatnya dari atas. Meskipun tidak terlihat jelas, ia tahu bahwa itu Hani dan Kevin. Bagaimanapun Levin berharap dengan mencium Hani, Hani bisa berhenti menyukai Kevin dan bisa mulai menyukainya.
Hani dan Kevin berjalan menyusuri trotoar daerah elit itu. Hani masih memikirkan Levin, dia baru menyadarinya kalau dia sama sekali belum melayani Levin sebagai asisten rumah tangga. Dia hanya menepati janjinya.
“Baiklah tak apa, setidaknya aku tidak menerima uang darinya jadi aku tidak merasa berhutang padanya.” Tiba-tiba saja kata itu keluar dari mulutnya. “Uang apa?” tanya Kevin yang bingung dengan apa yang Hani katakan. Hani tersentak menyadari bahwa dia masih memikirkan Levin. “Ayolah Hani, kenapa kau sempat memikirkan laki-laki jutek itu disaat yang menyenangkan ini?” katanya dalam hati. “Hhh, tidak kak. tadi aku disekolah belanja di Kantin tapi sepertinya uang kembalian yang diberikan bu Kantin kurang deh, hehe..” jawabnya mencari alasan. “Memangnya berapa?” “Sudahlah kak. Tidak perlu dipermasalahkan lagi. Jadi kita mau kemana?” Hani berusaha mengalihkan pembicaraan. “Kita ke Toko Buku Cemerlang yuk?” “Ya boleh, tidak banyak orang yang pergi ke sana. Jadi, tidak akan ada gosip nantinya.” “Baiklah, kita menghentikan taxi.” Mereka melihat ke kanan dan kiri. Berharap ada taxi yang lewat. Dan ternyata benar, Kevin menghentikan taxi dengan mengangkat tangannya. Mereka masuk ke taxi sambil berbincang. “Jika memang ada, kakak ingin itu menjadi kenyataan.” “Maksudnya kak?” Hani sebenarnya mengerti apa yang dikatakan Kevin tapi dia pura-pura tidak tahu agar kelihatan tidak terlalu agresif. “Ya, nanti kau pasti tahu apa maksudku. Ayo turun, kita sudah sampai. Ini pak uangnya, ambil saja kembaliannya. Terimakasih.” Kevin keluar taxi tapi dia memegang tangan Hani. Dan tetap menggandengnya sampai masuk ke Toko buku.
“Hani!” Tiba-tiba ada yang memanggilnya dari kasir. “Mandari?” tanya Hani ragu. “Ya, ini aku.” “Sedang apa kau di sini malam-malam begini?” “Aku bekerja paruh waktu di sini. Aku tidak sekolah di Darmawangsa sepertimu, jadi aku punya banyak waktu. Hei, seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Dan wah siapa ini?” “Tenang Manda, aku bisa menjelaskannya.” “Hai Manda! Senang bertemu denganmu di sini!” sapa Kevin santai dan membuat Hani menganga. Dia bingung kenapa Kevin santai bertemu dengan Mandari. Atau ini memang rencana Kevin mengajaknya ke sini? “Tenang Hani, kami baik-baik saja. Kami putus baik-baik. Tidak perlu terkejut seperti itu. Kau bebas berkencan dengannya.” Jelas Mandari sambil tertawa lebar. Kevin juga tertawa melihat keluguan Hani sambil menutup mulutnya. Hani juga bingung harus berkata apa. “Ke.. ke.. kencan apa sih? kami hanya ingin membeli buku. Hanya itu yang ingin ku katakan tadi.” Jawab Hani gugup lalu menjauh berpura-pura mencari-cari buku. Hani akhirnya berjalan kepojok toko buku agar tidak terlihat dari kasir. Ia menyadari wajahnya mulai memerah karena malu di ledek teman sebangkunya sewaktu SMP itu.
“Hei, Hani!” bisik Kevin yang tiba-tiba berada di belakangnya. “Aku mengejutkanmu ya? Maaf.” Hani masih tetap diam. “Kau marah ya?” “Kakak sengaja kan?” Hani mulai geram. “Jadi sebenarnya kakak tahu aku teman sebangkunya saat SMP? Aku sengaja tidak menanyakannya saat kita berkenalan karna aku tahu kakak pasti hanya melihat kearah Mandari saja. Bahkan kakak pasti tidak akan rungu denganku. Mandari gadis yang tinggi, cantik dan pintar bahkan menjadi Ratu di sekolah kita dulu. Dia sangat serasi denganmu. Bahkan aku tidak pantas membandingkanku dengan dirinya.” Lalu Kevin memegang tangan Hani. “Sebenarnya aku sudah memberikanmu Boneka Panda yang aku taruh di lokermu saat valentine dua tahun lalu.” Jawab kevin lesu. Hani hanya diam terpaku. Dia merasa tidak ada yang memberikannya Boneka. “Aku merasa tidak pernah menerima apapun saat valentine tahun lalu.” “Loker 202. Aku menaruhnya di sana dan ada pesan yang aku kirimkan padamu.” “sejak kelas tujuh lokerku bernomor 201.” “Ya, aku salah loker. Ternyata itu loker Mandari. Akhirnya dia menemuiku dan menyatakan perasaanya padaku di depan semua orang saat di kantin. Kau tahu itu. Mungkin Mandari juga sebelumnya menceritakan padamu bahwa boneka itu dariku. Jika aku menolaknya, kau akan salah sangka padaku, dan bisa saja membenciku. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi, setelah seminggu pacaran dengannya, aku tak bisa lagi menyembunyikannya dari Mandari. Aku jujur padanya bahwa sebenarnya boneka itu untuk Hani Lestari.” Hani masih terpaku, ia masih tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. “Aku tahu kau perlu waktu untuk mencerna semua ini. Aku juga sebenarnya terkejut kau bisa mengenal Levin dan bisa cepat akrab. Aku iri dengannya.” Lanjut Kevin.
Hani membuka mulutnya, berusaha untuk berbicara tetapi suaranya tidak mau keluar dari mulutnya. Entah bagaimana persaaannya saat ini, entah itu marah karena merasa cintanya bertepuk sebelah tangan selama 3 tahun belakangan ini, atau rasa bahagia karena tahu ternyata Kevin mempunyai perasaan yang sama terhadapnya. Yang jelas, dia sulit bicara saat ini. “Eee, Aku senang.” Kata-kata itu tiba-tiba dikatakannya dengan gugup. “Benarkah?” tanya Kevin sumringah. “Hmm, entahlah hanya itu yang bisa aku katakan. Apa kita bisa pulang sekarang?” “Tapi Hani aku belum..” “Aku merasa gugup saat ini. Apa tak sebaiknya kita pulang?” “Ah, baiklah.”
Cerpen Karangan: Putu Eni Oktaviani Facebook: Eni Oktaviani They