Kevin akhirnya mengantar Hani pulang sampai di depan rumahnya. “Maafkan aku, lingkungan di sini memang padat dan jalannya agak sempit. Tapi di sini lumayan bersih kok. Makasi kak sudah mau mengantarku.” Hani berusaha mengatur kata-katanya agar tidak canggung selama di taksi. “Baiklah.”
Hani membuka pintu, tetapi tangannya tiba-tiba dipegang Kevin. “Bisakah aku mampir kapan-kapan?” tanya Kevin. “Te.. tentu saja kak. Tapi..” “Tenang saja, fansku tidak akan tahu. Baiklah, pulanglah. Ibumu pasti khawatir.” Hani langsung kepikiran dengan kata Levin saat mendengar tentang Ibunya. “Ah? Iya kak. Sekali lagi terima kasih.”
Setelah Kevin pergi, Hani memikirkan lagi kata-kata yang diucapkan Levin di UKS. “Apa benar aku terlalu jahat pada ibu?”
Cekleekk… “Hani, kau sudah pulang nak? Kenapa pulang jam segini? Dan kau belum ganti baju. Kau tidak malu memakai pakaian seperti itu jalan-jalan?” “Aku capek.” Jawab Hani jutek. Dia langsung pergi ke kamarnya. Ibunya tersenyum mendengar Hani mau mengucapkan satu dua patah kata. Dia pergi ke kamar Hani, ingin masuk tapi dia ragu. Akhirnya, dia mengetuk pintu kamar Hani dari luar.
“Makanannya sudah siap di atas meja di dapur nak.” Hani sedang mengganti baju dan melepas kepangan rambutnya di kamar. Mendengar ibunya sudah selesai memasak, dia langsung pergi ke dapur dan makan. Setelah makan, dia kembali ke kamarnya. Mengetahui hal tersebut, ibunya kempali mengetuk pintu kamar Hani dari luar, ingin mengatakan sesuatu dan berharap Hani belum tidur.
“Terima kasih kamu sudah mau berbicara meski tidak banyak. Ibu sangat senang.” Kata ibu Hani dengan suara lirih. Hani mendengarkannya dari dalam. Entah kenapa dia merasa lega dan tenang ibunya mengatakan hal tersebut. Itu membuatnya merasa lebih baik.
Levin tidak bisa tidur sampai pagi. Ia masih teringat kejadian semalam. Ia masih bertanya-tanya, bagaimana bisa Hani dan Kevin bersamaan keluar dari apartemennya kemarin. Ia bangun dari tempat tidurnya lalu mengambil ponsel di atas meja. Ia mengetik dengan tangan kanannya.
“A a a. Shiit! Aku lupa tanganku sakit. Bagaimana ini, waktunya tinggal 2 hari lagi. Semuanya kacau. Tidak berjalan sesuai rencanaku. Hani juga marah padaku. Apa yang akan kulakukan? Bengong seharian? Membosankan.” Kata Levin nyeletuk sendiri.
Ting tuung… “Siapa sih yang datang pagi-pagi begini?” Levin mengomel sendiri sambil berjalan membuka pintunya. “Kak Irvan?” “Kau sudah mendingan?” “Kau berjanji untuk tidak menggangku selama tiga hari. Jadi, aku tidak akan membiarkanmu masuk.” “Bai..” Levin langsung menutup pintunya. Dia merasa frustasi dengan semua yang dia alami saat ini. Andai saja dia bisa tidur semalam, setidaknya dia bisa merasa lebih rileks.
Ting tuung… Levin membuka pintunya lagi, “Aku sudah bi… Kau?” Levin mengira itu Irvan, menejernya lagi. Ternyata itu Hani. Dia tak menyangka Hani akan datang ke apartemennya lagi. “Ya, aku. Aku ke sini untuk menjemputmu. Aku kan sedang bekerja denganmu.” “A a apa kau sebegitu butuhnya dengan uang?” “Tentu. Kau belum mandi?” “Aku sepertinya tidak akan sekolah sampai tangan ini sembuh. Palingan sampai 2 hari kedepan. Setelah aku pikir-pikir, melakukan hal yang mudah sendiri di rumah saja susah, apa lagi menulis atau mengambil kegiatan mos lainnya.” “Hmm, baiklah. Nanti sepulang sekolah aku akan kemari.” “Tunggu dulu, apa itu?”
Levin melihat sebuah kotak makan berwarna pink yang dibawa Hani. “Oh, ini bekalku. Aku taruh di atas. Kau pasti belum makan. Aku sudah makan di rumah.” “Tidak perlu Han. Kau pasti sudah lelah membuatnya tapi malah aku yang makan.” “Ibuku yang membuatkannya. Baru kali ini aku mau membawa bekal dari ibu. Setiap hari dia membuatnya tetapi tidak pernah kubawa.” “Syukurlahh..” “Aku pergi.” “Bawalah bekal pertamamu ini!” Levin berteriak karena Hani berlari. Saat, Hani ingin menutup pintu, ia menatap ke arah Levin sejenak. “Makanlah. Aku kembali nanti jam tiga.” Hani lalu tersenyum dan menutup pintunya. Levin sangat senang mengetahui ternyata Hani tidak marah padanya.
“Gadis tengik itu memang. Tahu saja kalau aku lapar.” Levin mengomel sambil memakan bekal yang diberikan Hani. Sehabis makan, Levin masih tetap nyeloteh. “Kenapa sekarang tiba-tiba aku mengantuk ya? Ahh, Levin kau ketahuan tidak bisa tidur karena memikirkan Hani. Sekarang disaat Hani sudah peduli denganmu, kau langsung mengantuk. Kau inii, aku tahu sekarang siapa kau.” Levin beranjak dari sofa lalu pergi ke kamarnya untuk tidur. Entah kenapa, sekarang dia bisa tidur dengan nyenyak dan berharap di saat ia terbangun nanti, Hani ada di sampingnya.
Suasana di kelas sangat sunyi, semua tidak berani berkutik maupun berbicara. Hanya suara OSIS yang terdengar. Kegiatan hari ini hiburan atau bermain game di kelas. Hani melirik kesamping kiri, ia teringat Levin saat mengganggunya dan selalu meledeknya. “Hani Lestari?” OSIS cantik yang melemparinya penghapus kemarin itu memanggilnya. Sejenak Hani merasa takut. Ia tersentak lalu mengangkat tangannya.
“Kau yang bernama Hani Lestari?” “Siap kak, saya Hani.” “Kau tahu kenapa kau dipanggil?” “Siap kak, tidak.” “Kau hafal OSIS yang membimbingmu di kelas ini kan?” “Siap kak, hafal.” “Baiklah, berarti kau tahu siapa saja yang tidak ada di sini sekarang atau dalam artian terlambat datang?”
Hani menatap wajah beberapa OSIS yang berbaris di depan kelas. Ia berpikir, siapa sebenarnya yang belum datang. Tetapi, ia mulai teringat. “Kak Kevin?” “Kenapa jawabnya ragu?” “Siap kak, kak Kevin.” “Baiklah, karena kau belum menjalankan hukumanmu yang kemarin, sekarang kau maju kedepan. Ambil ini.” Di tangan OSIS tersebut ada bunga mawar merah. “Siap kak, untuk apa?” “Sekarang kau bawa mawar ini lalu diam di depan pntu kelas. Jika Kevin sudah datang, berikan padanya.” “Ciiieeeeeee…” teriak semua orang dikelas. “Siap kak, laksanakan.”
Hani menunggu di luar kelas. Sudah sepuluh menit ia berdiri di sana tetapi Kevin belum datang juga. Sesekali dia melihat ke dalam kelas. Ia melihat anak-anak lain bermain game seru bersama OSIS lainnya.
“Hhhh..” Hani menghembuskan nafas. “Hei, kenapa di luar?” suara itu membuat Hani lega. “Hhh, akhirnya kakak datang juga. Ini.” Hani nyodorkan bunga mawar kepada Kevin. “Apa ini? Kau sedang mengajakku pacaran?” kata Kevin senang. “Terserah apa kata kakak. Yang penting sekarang aku sudah bebas. Aku masuk duluan.” Hani masuk ke dalam lalu melapor pada OSIS cantik tadi. “Baiklah, kau boleh duduk.” Kata OSIS tersebut. “Tunggu!” Kevin mencegat Hani untuk duduk. Hani masih berdiri di depan kelas dengan OSIS lainnya. Kevin masuk ke dalam. “Seharusnya aku yang memberikan bunga ini padamu Hani.” “Kiir kiir kirr.” Ledek teman lainnya.
Kevin berlutut di depan Hani. OSIS yang lainnya hanya berdiri saja di samping Hani. “Hani mungkin kita memang baru saling mengenal. Tapi kita bisa saling tahu dan lebih dekat lagi dengan menjalin hubungan lebih serius. Kau mau kan menjadi pacarku?”
Hani terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin saat ini. Ia tak menyangka Kevin akan menembaknya di depan semua orang seperti ini. Tapi di sisi lain, dia sangat bahagia karena Kevin secara berani menyatakan perasaannya padanya. Tanpa berpikir panjang, Hani langsung menerimanya dan mengambil bunga yang diberikan pada Kevin. Kevin lalu berdiri dan memeluk Hani. Kevin meraih tangan Hani dan ingin menciumnya.
Levin membuka matanya dan nafasnya terengah-engah. Keringatnya bercucuran di wajahnya. Rasanya ia sulit bernapas. Ia menelan ludahnya dan tenggorokannya terasa kering. Levin lalu melihat ke arah jam lokernya. Jam satu siang.
“Siaal, mimpi apa itu? Kenapa kelihatan nyata ya? Baru jam segini. Hani kenapa tidak pulang lebih awal saja ya? Sial! Baru sebentar aku senang malah mimpi hal yang mengerikan seperti itu. Mana aku harus menunggu dua jam lagi agar Hani pulang. Apa aku harus bertindak cepat ya? Agar mimpi itu tidak jadi kenyataan?” Levin beranjak dari kasur lalu pergi ke dapur untuk meminum air.
Tiing… Levin menaruh gelasnya dengan keras. Ia merasa uring-uringan lagi. Ia pergi lagi ke kamarnya dan duduk di kasur. Sekarang ia merasa lapar. Ia ingat, ia hanya makan bekal yang diberikan Hani tadi pagi.
“Aku harus melakukan apa sambil menahan rasa lapar ini sampai dia datang? Dia memang jahat. Hanya memberikan sarapan saja padahal dia tahu akan kembali sore. Ahhh.” Levin merebahkan badannya ke kasur. Lalu ia melihat tangan kanannya. Melepas perbannya lalu berusaha menggerakkannya.
Levin beranjak dari kasur lalu berjalan kearah piano yang ada didekatnya. Ia pelan-pelan memencet tut piano yang ada didepannya saat ini. Ia tiba-tiba teringat dengan Hani. Ia tersenyum lalu memainkan piano dengan lembut sambil melatih tangannya kembali pulih.
(Suara alunan piano)
Levin tidak tahu, dari mana ia mendapatkan inspirasi dengan lagu baru yang ia mainkan ini. Ia merasa senang lalu segera merekamnya dengan handphonenya karena ia tidak bisa mencatatnya karena kondisi tangannya. Lagunya ini dimainkan dengan lebih banyak menggunakan tangan kirinya. Jadi ia merasa bisa memainkannya meski tangan kanannya cidera saat ini. Dia berharap lagu ini bisa membantunya saat ia tampil tiga hari lagi.
“Semoga ini bisa membantu. Kau memang berbakat Levin.” Kata Levin membanggakan dirinya sendiri. Levin akhirnya melanjutkannya sampai ia bisa membuat dua lagu. Ia sampai tidak menyadari ternyata sudah jam tiga dan dia juga tidak sadar Hani sudah masuk dan melihatnya bermain piano.
Hani senang melihat Levin sudah mencoba untuk melatih tangannya. Ia kagum terhadap Levin karena lagu yang ia mainkan sangat bagus. Ia mengakui Levin tidak hanya modal tampang saja untuk jadi artis. Dia memang memiliki bakat.
Prook.. prook.. prook… “Wah, asik sekali main pianonya sampai kau tidak sadar aku masuk.” Kata Hani sambil berjalan menghampiri Levin. “Kau datang rupanya. Kau bawa makanan?” “Aku tidak ingat kau menyuruhku membeli makanan.” “Hhh, kau benar-benar tega. Aku hanya makan bekal yang kau berikan tadi pagi.” “Ah, begitu ya? Kalau begitu aku pergi membeli makanan dulu ya?”
Saat Hani akan pergi, Levin meraih tangannya, beranjak dari kursi depan piano. “Hani, jadilah pacarku.” “Apa?” “Aku tahu kau akan terkejut, tapi entah kenapa aku memimpikanmu pacaran dengan Kevin. Aku jadi khawatir, maka aku harus bertindak sebelum Kevin.” “Ahh, Levin. Entah kau punya indera keenam atau apapun itu, tapi yang kau mimpikan itu benar. Aku memang sudah pacaran dengan kak Kevin. Maafkan aku.” Levin menganga. Ia benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi. Ekspresi Levin membuat Hani merasa bersalah. Mata Hani mulai berair, dia melepas tangan Levin lalu pergi.
“Tunggu Hani!” Levin kembali meraih tangan Hani “Kali ini jangan pergi lagi. Jangan tinggalkan aku sendiri. Setidaknya, berikan aku makanan terlebih dahulu sebelum pergi.” Hani keheranan, dan akhirnya menjawab ya.
Levin dan Hani akhirnya duduk di meja makan menyantap makanan yang di masak Hani. “Kenapa kau tidak mengatakan kalau ada bahan makanan di dapur?” “Maka dari itu aku menghalangimu. Kau saja yang terlalu percaya diri terlebih dahulu.” “Ya, anggap saja aku begitu.”
Grrrtttt.. grrttt… “Siapa itu?” Levin mengintip. “Ibuku.” “Pulanglah.” “Kau yakin?” “Tentu. Aku sudah makan jadi kau bebas.” “Baiklah.” Hani beranjak dari kursi, tetapi Levin meraih tangannya lagi. “Sekarang apa?” “Aku tak peduli kau pacaran dengan siapa yang penting kau tetap di sisiku. Meskipun hanya sebagai teman, aku tetap bersyukur asal kau tetap ada di sini, saat aku susah.”
Hani hanya diam dan membalikkan badannya lalu pergi. Entah kenapa dia merasa gugup dan jantungnya berdebar tiap kali ia dekat dengan Levin. Terkadang ia juga merasa malu setiap Levin mendekatkan badannya ke Hani. Entah itu saat ia mengintip pesan yang sedang Hani baca di handphonenya, atau saat Levin bicara serius seperti tadi. Hani jadi merasa bingung saat ini, ia hanya berharap pilihannya ini benar, yaitu memilih Kevin.
Hani sampai di rumah. Ia masih memikirkan apa yang terjadi barusan. “Apa ini hanya lelucon? Bagaimana ia bisa membahas tentang makanan disaat situasi seperti itu? Apa dia hanya bercanda? Aiiistt..” Ibu Hani mengetok pintu kamar Hani karena mendengar dari dapur, Hani mengomel dari tadi. Hani membuat ibunya khawatir. “Apa terjadi sesuatu nak?” Hani hanya diam saja. Ia tidak menyaut. “Semoga kau baik-baik saja. Apa kau memang pulang jam segini? Kemarin kau pulang malam. Besok jangan membuat ibu khawatir lagi ya?” Setelah ibunya selesai bicara, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup. Akhirnya Hani bisa menghembuskan nafas kembali. Entah kenapa ia menahan nafas tadi saat ibunya bicara. Hani selalu merasa tersiksa saat ibunya bicara padanya. Dadanya akan sesak dan lama-kelamaan dia akan mengangis. Ia sendiri tidak tau kenapa.
Cerpen Karangan: Putu Eni Oktaviani Facebook: Eni Oktaviani They