Teett…. teeet… Bel istirahat pun berbunyi. Pagi ini Hani tidak pergi ke apartemen Levin. Ia merasa canggung dengan sikap Levin kemarin. Hani melihat ke arah jam. Sudah jam sembilan. Ia mengingat lagi kata-kata Levin. Kata-kata Levin yang menyuruhnya agar bisa memaafkan ibunya. Hani menghembuskan nafas, lalu bergegas mengambil headset di tasnya, lalu mendengarkan lagu yang mellow.
“Sebenarnya aku sudah mencoba untuk memaafkan ibu. Aku sudah ikhlas dengan kepergian kakak. Aku sudah berusaha, tapi kenapa aku masih tidak bisa menahan tangisku ketika mendengar ibu berbicara? Aku juga tak mau hidup seperti ini seterusnya. Aku tidak ingin akhirnya nanti aku diam di neraka.” Hani bergumam dalam hati.
“Hei!” Kevin menepuk pundak Hani dari belakang. Hani terkejut, lalu melepas headsetnya. “Lho, kakak dari tadi di sini?” “Sedang memikirkan apa? sampai-sampai kau tidak sadar pacarmu ini lewat di depanmu.” “Tidak apa-apa kak. Hmm, nanti pulang sekolah kita makan yuk kak? Sekarang kan hari terakhir MOS jadi tidak ada tugas untuk besok.” “Baiklah.” Kevin menjawab tanpa berpikir panjang. Hani bahagia mendengarnya karena Kevin tidak sibuk hari ini. Ia berharap kencannya hari ini berjalan lancar. Hani pun tersenyum. “Cantiiknyaa..” kata Kevin sambil mengelus-elus rambut panjang Hani.
Bel pulang pun berbunyi. Hani menunggu Kevin di depan kelasnya. Ia merasa sangat senang sampai-sampai dia melepas kepangannya dan menggerai rambutnya. Hani berfikir, ia harus tampil cantik saat kencan pertamanya dengan Kevin ini. Berselang beberapa menit, Kevin akhirnya datang.
“Wah siapa ini? Cantik sekali.” Kata Kevin sambil mengacak rambut Hani. “Ihh, kok malah diacak-acak sih kak?” Hani merapikan rambutnya kembali. “Jadi kita mau pergi ke mana?” “Terserah kau saja kak. Aku tidak ingin menjadi masalahmu jika aku yang memilih tempatnya. Fansmu lebih mengerikan daripada apapun.” Kevin tertawa terpingkal-pingkal. “Baiklah, kau harus tahan banting Hani sayang.” Kata Kevin sambil menyubit pipinya.
Kevin dan Hani akhirnya berjalan bersama ke parkir. Tapi disaat melewati lorong sekolah, entah kenapa Hani merasa ada orang yang mengikuti mereka. Hani segera memberi tahu Kevin dan Kevin juga merasakan hal yang sama.
“Begini saja, kau tahu taman kupu-kupu di dekat sekolah?” Hani mengangguk “Baiklah, kau tunggu aku disana jam enam sore. Kamu sekarang lebih baik pulang dahulu ganti baju. Kencan kita pasti lebih romantis jika tidak memakai pakaian sekolah kan? Apalagi kau memakai pakaian MOS.” “Baiklah kak. Aku akan menunggu bis.” “Baiklah, hati-hati.” Kevin menepuk pundak Hani lalu mereka akhirnya belok ke arah berlawanan. Hani berharap dengan ini, yang mengikuti mereka, entah itu fans atau wartawan, bisa berhenti mengikuti mereka.
Tapi sepertinya tidak, Hani diikuti dari naik bus sampai di depan rumahnya. Hani merasa takut. Tepat pukul enam, Hani keluar rumah. Ia merasa si penguntit itu sudah hilang. Jadi ia bisa merasa lega. Hani sudah sampai di taman kupu-kupu yang dikatakan Kevin. Ia duduk menunggu kevin di kursi panjang. Beberapa menit kemudian Hani melihat Kevin memandanginya dari kejauhan, Hani ingin mengangkat tangannya dan menyapa Kevin. Namun tiba-tiba handphonenya berdering. Ia mengangkatnya tadi tetap melihat ke arah Kevin. Ternyata Kevin yang meneleponnya.
“Hani dengarkan aku dulu. Sekarang ada wartawan yang mengawasimu. Dia tidak tahu aku ada di sini. Jadi kau diam saja. Jangan sampai dia tahu bahwa aku di sini.” “Tapi kak..” “Tolong mengertilah Hani.” “Apa ini? Saling memandang dalam jarak 50 meter? Apa ini masih bisa disebut kencan? Awalnya aku mengira ini akan berjalan lancar.” kata Hani putus asa. “Maafkan aku.” Jawab Kevin lesu dari kejauhan.
Mata Hani mulai berair. Ia kira, ia akan merasa bahagia karena sudah mendapatkan laki-laki yang dicintainya. Tapi ternyata..
“Aku mengerti kenapa tuhan tidak mendekatkanklu denganmu sejak dulu. Ternyata begini rasanya setelah aku mendapatkanmu.” Air mata Hani mulai mengalir tetapi matanya tetap tertuju pada Kevin. Di seberang, Kevin juga mulai frustasi. “Tolong jangan mempersulit keadan Hani. Ini baru berjalan sehari.” Kata Kevin dengan tulus. Ia juga mulai menangis. “Siapa sebenarnya yang mempersulit keadaan? Sampai kapan kita akan seperti ini? apa kau tak mau mengakuiku sebagai pacarmu? Apa aku tak pantas untukmu?” Hani mulai emosi dan Kevin hanya diam saja karena tak bisa berbuat apa-apa. “Aku tahu kau menjaga karirmu. Jika fansmu tahu kau punya pacar, mereka akan berpaling darimu dan karirmu akan meredup. Aku tahu itu semua, aku mengerti. Tapi jika kau memang mencintaiku, kau tidak akan peduli apa kata orang. Masalah fansmu, mereka akan tetap mencintaimu jika memang kau memiliki bakat yang hebat.” “Tapi Hani, hidup tak sesimple itu.” “Ya aku tahu. Anggap saja aku sedang berkhayal menjadi pemeran utama di drama korea. Ya, anggap saja begitu.” “Hani..” “Aku tutup.” Hani menutup teleponnya dan langsung berlari pulang. Di jalan ia melewati apartemen Levin. Ia hanya duduk di depan apartemennya dan beberapa saat melihat ke jendela Levin tinggal. “Dari sini kelihatan kecil sekali jendelanya. Hhh..”
Hani diam di sana lumayan lama. Akhirnya ia melihat ke arah jam tangannya lalu pulang.
Ting toong…. “Cepat sekali makanannya datang.” Levin segera membukakan pintu. “Kau?” “Setiap aku datang kenapa kau hanya mengucapkan kata itu saja? Selamat pagi atau apalah. Seakan-akan aku tidak diberikan masuk.” Kata Hani lesu. “Justru itu aku belum selesai bicara.” “Memang apa yang akan kau katakan?” “Kau datang?” “Aiiisst, apa bedanya bodoh? Kau tidak membiarkan aku masuk?” kata Hani kesal. “Lagi pula kenapa kemarin kau tidak datang? Kau benar-benar tega ya? Aku kira kau akan datang jadi aku tidak makan. Dan apa ini? Kau tidak membawa makanan?” “Apa aku pengantar makanan? Jadi setiap kesini harus membawa makanan?”
Ting toong.. “Aaa, yaa.” Kata Levin senang. Lalu membukakan pintu. “Apa kau bilang?” “Ini, pengantar makanannya sudah datang.” Levin menatap Hani lalu berbicara lagi dengan pengantar makanannya. “Terimakasih ya?” “Selamat menikmati.” Kata pengantar makanan lalu pergi.
Levin membawa makanannya ke meja makan tepat di depan Hani. “Kau mau makan? Aku pesan dua. Untuk nanti siang.” Kata Levin sambil makan dengan lahap. “Apa memang pacaran dengan artis susah begini ya?” Hani menghela nafas panjang. “Jika artis itu aku, tidak juga.” Kata Levin sambil makan dengan lahap. “Semua artis itu sama saja. Tidak mau hubungannya diketahui semua fansnya.” “Tidak semua fans seperti itu, ada juga fans yang mau mendukung hubungan idolanya. Itu yang namanya fans sejati, ingin melihat idolanya bahagia.” “Kau bisa serius juga rupanya. Apa kau harus mengisi otakmu dengan makanan dulu baru kau mau serius bicaranya? Biasanya ngawur aja.” Kata Hani nyeletuk. “Jangan salah.. oh ya, kau tidak berangkat? Sekarang sudah jam delapan.” Levin melihat jam di dinding, tembok yang menempel dengan meja makan. “Hari ini hari pertama masuk sekolah setelah MOS berakhir kemarin. Aku mau bolos saja.” Kata Hani lesu. “Wahh, kau memang hebat. Kau baru saja menjadi murid di sekolah Favorit di Bali. Kau bahkan menghabiskan uang orangtuamu untuk masuk kesa..” “Aku menggunakan beasiswa.” “Kau?” “Memangnya kenapa?” “Dari tampang kau tak terlihat pintar.” “Apa?” “Pasti terjadi sesuatu kan? Kau dan Kevin. Ahh, disaat seperti ini kau baru datang menemuiku? Baiklah aku tarik kembali omonganku. Kau memang pintar. Pintar mencari pelampiasan. Kemarin kau bersenang-senang dengan Kevin sampai-sampai kau melupakanku, lalu saat kau bertengkar dengan Kevin kau baru datang menemuiku.” Levin selesai makan lalu ia bangun dari tempat duduk dan menghampiri pianonya.
“Kau sudah sembuh?” “Kuharap begitu. Ini hari terakhirku. Besok aku sudah harus tampil, jadi sekarang aku harus latihan. Aku sudah menyiapkan tiga lagu untuk besok.” “Benarkah? Selamat atas kerja kerasmu!” Hani tepuk tangan. “Datanglah besok. Jika tidak bisa, kau bisa menontonnya di televisi. Tapi aku akan lebih senang kau datang dan melihatku.” “Kenapa? kenapa aku harus datang?” kata Hani dengan wajah penuh harap. “Kau akan melihat aku begitu tampan di panggung dengan permainan piano dan gitarku yang bagus. Di sana kau akan lihat betapa berkharismanya aku. Lihatlah besok.” “Ee, di mana kamar mandinya? Rasanya aku akan muntah.” Hani langsung menutup mulutnya. “Hahaha, tapi kali ini aku serius Hani. Datanglah besok kumohon.” Levin meraih tangan Hani dan ingin menciumnya. Tapi Hani segera melepasnya lalu mengalihkan pembicaraan dan melihat-lihat sekeliling ruangan menghindari suasana canggung ini.
“Hmm, itu siapa Lev? pacarmu?” tanya Hani. Ia melihat foto di lemari dekat piano. Seorang gadis muda nan cantik namun munyil, berambut panjang ikal. Kulitnya putih dan senyumnya manis. “Bukan dia pacar Kevin.” “Apa?” jawaban Levin mengejutkan Hani. “Dia juga pacarku. Dia yang punya kamar di sana, yang kau bilang kamarku itu.” “Jadi dia ibumu?” Hani mengernyit kesal, hampir saja ia tertipu. “Ya, saat muda dia mirip denganmu bukan? Mungkin karena itu kami menyukaimu.” “Tapi sepertinya aku lebih tinggi darinya.” “Jadi kau bilang ibuku pendek?” “Bukan aku yang mengatakannya, kau barusan yang mengatakannya. Aku hanya bilang aku lebih tinggi darinya.” “Apa bedanya?”
Hani akhirnya benar-benar bolos dan asik bicara dengan Levin. Levin juga sampai lupa dia harus latihan untuk besok. Mereka selalu mengobrol sampai lupa waktu. Sambil makan, menonton, belajar, dan akhirnya Hani menemani Levin latihan.
“Sudah jam tiga nih. Aku pulang dulu ya?” “Benarkah? Wah tidak terasa. Berarti kau benar-benar bolos.” “Sudahlah, aku mau pulang dulu.” Levin meraih tangan Hani “Ingat apa yang aku katakan tadi?” “Ya, sampai di rumah aku akan langsung mempraktekkannya.” “Baguslah. Hati-hati di jalan. Dahh!”
—
“Kau lihat Hani?” “Dia tidak sekolah kak.” “Lho, dia kenapa?” “Saya tidak tahu kak. Coba tanya ketua kelas saja kak. Itu di pojok.” Levin melihat ke pojok dan melihat kembali gadis di depannya.
“Oh ya, Makasi ya? Reni?” kata Kevin senyum lalu dan melihat name tag di bajunya. “Ya kak, sama-sama kak ganteng.” Kata Reni senang dan pergi sambil senyum-senyum.
Levin menghampiri Ketua kelas. “Ketua, kau tahu anggotamu yang cantik kemana?” “Hani? Tidak tahu kak. Dia absen tanpa keterangan.” “Ke mana anak itu dihari pertama sekolah. Oh ya, makasi ya?”
Hani pulang dengan jalan kaki. Ia masih kepikiran dengan nasehat Levin. Ia bingung, apa ia bisa melakukannya dengan baik? Tiba-tiba, saat Hani berjalan, ada kaki dengan sepatu vans biru tua menghalangi jalannya. Hani memerhatikannya dari bawah lalu ke atas. “Kak Kevin?” “Kalau jalan itu lihat ke depan, bukan ke bawah. Nanti nabrak.” Kevin langsung memeluk Hani karena merasa rindunya terbayarkan. Hani melepaskan pelukan Kevin. Ia melanjutkan jalannya. “Aku tidak akan bertanya kenapa kau bolos. Itu semua salahku. Maafkan aku telah membuatmu seperti ini.” Kata Kevin sambil berjalan di belakang Hani. Hani tetap diam dan terus berjalan. Ia bersikap seakan-akan tidak ada yang bicara padanya. Ia sama sekali tidak mempedulikan Kevin. Merasa Hani marah besar padanya, Kevin menarik tangan kanan Hani, lalu menciumnya.
Hani ingin melepaskannya tapi Kevin memeluknya sangat erat. Ia akhirnya terbawa suasana dan memejamkan matanya. Ia merasakan jantung Kevin berdetak sangat kencang. Tapi ia tidak bisa melihat mata Kevin karena ia memakai kacamata. Hani merasa nyaman saat ini. Itu merupakan rasa senang ataukah cinta? Hani masih bingung dengan itu. Beberapa detik kemudian akhirnya Kevin melonggarkan pelukannya.
“Beri aku kesempatan sekali lagi. Kumohon.” “Baiklah.” Kevin sangat senang mendengarnya. “Baiklah, aku akan menunggumu di taman kemarin. Jadi, aku tidak menjemputmu ke kelas karena aku akan menunggu di sana. Kali ini aku tidak akan peduli apapun dan pasti besok kencan kita akan berjalan dengan lancar.” Hani hanya mengangguk senang.
Cerpen Karangan: Putu Eni Oktaviani Facebook: Eni Oktaviani They