Kriinggg.. Hani menerima pesan dari Levin. “Siapa yang akan kau pilih? Seseorang yang membuat hatimu berdebar atau seseorang yang membuatmu nyaman?” “Apa maksudnya?” tanya Hani bingung. “Apanya? Siapa yang mengirim pesan?” Hani menyodorkan ponselnya pada Kevin. “Kau bersamanya dari pagi?” tanya Kevin tiba-tiba. Itu membuat Hani terkejut dan bingung harus berkata apa. Baru saja hubungannya membaik dan sekarang akan memburuk lagi. “Hhmm, Aa..” “Apa kau lapar? Pasti ada Restoran dekat sini.” Kevin mendahului Hani berjalan. Hani tahu Kevin pasti tahu jawaban sebenarnya. Hanya saja ia tak ingin mendengarkannya. Kevin juga memikirkan hal yang sama tadi dengan Hani, ia tak ingin hubungannya memburuk kembali.
Hani dan Kevin akhirnya sampai di depan rumah Hani. Hani mengajak Kevin untuk mampir tapi Kevin mengatakan terlalu cepat untuk kenal ibu mertua. Akhirnya Kevin pergi.
Tiba-tiba, Hani meraih tangan Kevin. “Bagaimana menurutmu kak?” “Apanya?” Kevin bingung “Kau akan memilih seseorang yang membuat jantungmu berdebar atau seseorang yang membuatmu nyaman?” “Tentunya yang membuat jantungku berdebar.” “Kenapa?” “Banyak orang bisa membuat kita nyaman. Seperti keluarga, teman atau sahabat. Tapi yang membuat jantung kita berdebar, hanya ada satu orang. Dan kau tahu siapa orangnya. Aku harap kau juga begitu.” “Tapi jika memang jantung kita berdebar jika dekat dengannya namun tidak merasa nyaman? Itu sama saja merasa tersiksa bukan?” “Aku tidak tahu dengan itu, tapi aku suka hal yang menantang dan langka. Dekat dengan seseorang merasakan hal yang langka seperti sedang naik roller coster, jumping ryder, dan lain sebagainya. Itu menyenangkan.” “Hh, kau benar. Baiklah. Kau boleh pulang kak.” “Sampai jumpa besok di taman.” Hani mengangguk lalu memandangi punggung kevin yang mulai menjauh.
Hani merogoh sakunya mengambil ponselnya lalu membalas pesan dari Levin. “Seseorang yang membuat jantungku berdebar.”
Levin bersender di kaca jendela besar di apartemennya. Ponselnya berdering, pertanda pesannya di balas Hani. Ia segera memeriksa ponselnya. Jawaban dari Hani membuat Levin tersenyum. “Semoga jantungnya berdebar hanya saat bersamaku.” Levin tersenyum dan mennyeruput kopi yang ada di tangannya dan melihat ke luar jendela. Lalu menghela nafas. “Indahnya langit sore..”
Saat memegang ganggang pintu, ia teringat Levin lagi. “Bagaimana dengan ibumu? Kalian sudah baikan?” “Aku sudah mencobanya, tetapi tetap saja masih terasa sakit dan sesak.” “Itu namanya trauma. Aku juga seperti itu dulu. Ayolah, Hani jangan sampai kau menyesal nantinya. Jangan sampai kau menjadi sepertiku.” “Baiklah, apa yang harus kulakukan pertama kali.” “Awali dengan mengucapkan ‘ibu, aku pulang!’ sampai di rumah.” “Tapi..” “Ayolahh.. Itu tidak sulit.” “Baiklah.”
Hani menggelengkan kepalanya, ia membuka pintunya lalu melangkah dengan berat. “I i ibu, Aaku pulang!” suaranya terdengar berat tapi ibunya mendengarnya. Ibunya sedang memasak tetapi ketika mendengar Hani mengatakannya tadi, ibunya berhenti memotong bawang. Ya, ibunya menangis. Hani kebingungan dan akhirnya pergi ke kamar. Ia mengirim pesan pada Levin dan memberitahukan keadannya saat ini menjadi rumit.
“Bukan, ibumu menangis karena senang. Percayalah padaku. Oke ke tahap selanjutnya, makanlah bersamanya dan ceritakan sesuatu agar kalian semakin dekat.” Balasan Levin.
Hani keluar kamar dan pergi ke dapur. Ibunya sudah berhenti menangis dan tiba-tiba memeluknya. Hani sempat terkejut, tapi ia juga membalas pelukan ibunya. Ia merasa senang, sekarang sudah tak sakit lagi. Malah ia merasa lebih baik dari sebelumnya. “Ibu ayo makan bersama.” “Baiklah.” Ibu Hani menyiapkan semua yang sudah di masaknya di atas meja makan. Ibunya tersenyum tapi air matanya masih mengalir.
“Ibu, sebenarnya aku tadi bolos.” Ibunya diam dan tersenyum lagi. “Makanlah.” “Aku diam di apartemen Levin, temanku. Aku menceritakan semuanya dan dia menyuruhku untuk melalukan ini pada ibu agar aku tidak menyesal nantinya.” Ibunya memeluknya lagi. “Ibu tak menyangka kau akan mengatakan semua ini. Apa ini hanya mimpi? Tolong bangunkan ibu nak.” “Tidak bu. Ini benar-benar nyata.” “Dengan mendengar suaramu saja ibu sudah senang nak. Kau tak perlu memaafkan ibu. Ibu pantas mendapatkannya.” “Semua sudah berlalu bu. Lupakan saja. Kak Jo sudah tenang. Mungkin memang ini jalannya. Aku tak mau seterusnya seperti ini.” “Ibu jadi ingin bertemu dengan Levin itu. Ibu akan sangat-sangat berterimakasih padanya. Dia pasti anak yang baik.” “Ibu bisa melihatnya di televisi besok. Dia akan tampil di acara musik jam tiga. Oh Tuhan!” Hani teringat bahwa dia juga ada janji dengan Kevin besok di jam yang sama. “Kenapa nak?” “Hmm, aku ke kamar dulu ya bu? Aku belum mengerjakan PR.” “Kau bilang tadi kau bolos? Bukannya tadi hari pertama sekolah?” Hani kelupaan, apa yang harus dia katakan sekarang. “Hmm, ya tadi teman sekelasku sms ternyata ada PR bu.” “Ah, begitu. Baiklah kalau begitu. Jangan begadang nak.” “Ya bu!” teriak Hani sambil menutup pintu.
Sekarang Hani sedang berada di taman kupu-kupu dekat sekolahnya. Sepulang sekolah, ia langsung pergi ke taman tersebut lalu duduk di kursi tempat ia kemarin menunggu Kevin. Ia selalu berkata dalam hatinya, hal yang ia lakukan sekarang ini sudah benar dan tidak perlu memikirkan apapun lagi. Beberapa saat kemudian, Kevin datang dengan pakaian sekolahnya juga. Entah kenapa Hani masih merasa resah.
“Sudah menunggu lama?” Kevin berlari menghampirinya. “Kakak tidak memakai kaca mata?” Tanya Hani sambil tersenyum. “Ayo kita mulai lagi dari awal. Seperti yang kau harapkan, aku tidak akan peduli apapun lagi selain dirimu.” Kevin membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya pada Hani lalu menyentuh hidung Hani. Kevin mengulurkan tangannya dan disambut hangat oleh Hani.
Hani bingung, kenapa ia masih merasa resah. Ia seharusnya merasa senang saat ini karena Kevin sudah mau mengikuti semua keinginannya. Ia juga sudah baikan dengan ibunya. Meski butuh waktu menjadi akrab seperti anak dan ibu pada umumnya, setidaknya bebannya sudah ia keluarkan sekarang. Hani dan Kevin berjalan-jalan mengitari taman sambil berpegangan tangan. Semua orang yang lewat, memandangi mereka. Ada juga yang memfoto kami.
“Apa ini tidak masalah?” tanya Hani khawatir. Kevin menggeleng sambil tersenyum dan terus melihat ke depan saat berjalan tanpa menghiraukan orang sekitar. Entah kenapa malah Hani yang merasa risih.
Grrrttt… “Kau tidak datang kan? Aku anggap saja bagitu.” Hani terkejut Levin ternyata mengiriminya pesan. Ia menjadi merasa bersalah pada Kevin karena setiap ia bersama Kevin, Levin selalu mengirimi pesan. Ia takut Kevin mengira ia sering chat dengan Levin, walau sebenarnya memang begitu. “Levin lagi?” tanya Kevin sambil menggertak-gertakan giginya. Hani hanya diam tak berani menjawab. Hani memejamkan matanya lalu menundukkan kepalanya. Terdengar isak tangisnya saat menunduk. Kevin mulai menyadari semuanya lalu melepaskan tangan Hani. “Pergilah!” kata Kevin pelan tapi terdengar sesak. Tangis Hani mulai mengeras. Ia tak bisa menahannya lagi. Hani tak tahu harus mengatakan apa pada Kevin. Ia merasa sangat bersalah padanya. “Maafkan aku kak.” Hani mengucapkannya terpatah-patah sambil menangis. “Aku hanya bisa membuatmu kecewa dan merasa tertekan bersamaku. Kakak mau melakukan apapun agar bisa bersamaku. Tapi aku..” “Kau sudah berusaha keras. Seandainya aku bergerak lebih cepat, getaran jantungmu itu pasti hanya jadi milikku.” Kevin tersenyum lalu memeluk Hani. Kevin mengusap mata Hani, lalu membiarkan Hani pergi. Setelah Hani pergi, Kevin tak menyadari air matanya mengalir begitu saja. Ia mengusapnya, lalu tersenyum. “Waaa, jadi begini rasanya cinta bertepuk sebelah tangan?”
Levin terus melihat jam tangannya. Ia sangat berharap Hani datang karena lagu ini memang khusus untuknya. Hani sepertinya memang tidak akan datang. Sampai tiba saatnya Levin dipanggil untuk tampil. Saat memasuki panggung, sangat besar sambutan yang diberikan pada penonton dan fansnya. Levin akhirnya duduk di depan piano.
“Lagu ini aku ciptakan untuk orang yang spesial. Semoga kalian suka dengan laguku. Judulnya Bidadariku. Baiklah, aku mulai.” Kevin mulai memainkan jarinya dan ia pun mulai menyanyi dengan penuh perasaan.
Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi Tak sengaja ku menemukan bidadari Ditutipi dandanan ilfil Sengaja ku menabrakkan diri Akupun mengatakan maaf Kau mengatakan tak apa-apa Senang rasanya melihatmu lebih dekat Dan ingin juga mengenalmu lebih dalam Bidadari.. Bidadariku.. Kau membuat jantung ini berdebar kencang Bidadari.. Bidadariku.. Bisakah kau mendengar suaraku?
Levin menyanyikannya dengan sukses. Lagunya juga memuncaki tangga lagu setelah itu. Ia merasa masih ada yang kurang jika Hani tidak melihatnya tampil. Hani diam merenung di depat cermin di ruang make up.
“Selamat Levin! Aku harus sering-sering menyuruhmu libur jika hasilnya seperti ini.” Menejernya memberikan selamat lalu memeluknya. “Bilang saja agar kau dapat berlibur juga kak, sudah ketebak dulu.” “Apa terjadi sesuatu? Seharusnya kau senang saat ini. Ayolah!”
Kring.. kriiing.. kriing.. Kevin langsung tersenyum melihat yang tertulis di layar ponselnya ‘Hani’. Kevin menyuruh menejernya untuk menunggunya di mobil karena dia akan mengangkat telepon sebentar. Menejernya hanya mengangguk.
“Kau sudah liat?” “Ya, aku menontonnya dengan Ibuku.” “Wah, aku kan menyuruhmu datang. Tapi, selamat kau jadi semakin dekat dengan ibumu. Tak apa lah kalau begitu.” “Dan lagu apa tadi itu? Jadi sejak awal bertemu kau sengaja menabrakku?” Kevin membalikkan badannya, dan ternyata Hani datang. “Jadi kau datang? Kevin tahu?” Levin sangat senang dan langsung menutup telponnya. “Tentu saja. Hubungan kami sudah berakhir.” “Wah benarkah?” “Kenapa ekspresimu senang sekali?” “Karena kau telah memilihku.” “Siapa bilang?”
Seperti biasa, mereka akan terus bertengkar namun karena pertengkaran itulah yang menumbuhkan rasa mereka. Levin juga tahu Hani orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Jadi Levin tak pernah menyuruh Hani mengungkapkan perasaannya. Levin hanya mengatakan, biarkan ini berjalan begitu saja. Biarkan ia menjadi pacar dan sekaligus menjadi teman untuk Hani.
TAMAT
Cerpen Karangan: Putu Eni Oktaviani Facebook: Eni Oktaviani They