Aku sangat mencintaimu, dulu sampai sekarang dan mungkin selamanya. Perasaan itu masih sama meskipun berulang kali kau menghancurkannya. Tidak, bukan kau. Tapi aku sendirilah yang menghancurkannya. Kenyataannya aku yang bodoh karena telah mencintaimu, tapi apakah aku salah jika aku mencintaimu?. Orang bilang cinta itu seperti mati, ke mana pun kau berlari, kau tak dapat menghindarinya. Dan sekarang, meskipun aku memilikimu tapi aku masi belum bisa menggapai cintamu. Seekor lalat takkan bisa terbang menggapai langit meski ia punya sayap. Aku tahu, aku sudah merenggut segalanya darimu. Cinta, impian, dan kebahagiaanmu, tapi aku akan berusaha membuatnya kembali padamu lagi, itu janjiku. Janji seorang istri yang tak diinginkan.
Satu minggu berlalu sejak pernikahan kita, tapi sampai sekarang aku masih belum melihat senyuman itu, senyuman yang dulu selalu menjadi objek terindah dari dirimu. Matamu penuh dengan luka dan penderitaan. Sampai kapan akan terus seperti ini?. Aku tahu cinta di hatimu hanya untuk fada, aku sadar betul bahwa aku salah, aku telah menghancurkan segalanya. Persahabatan dan juga kepercayaan, persahabatanku dengan fada, dan kepercayaanmu padaku. Aku akui, aku egois. Aku memaksakan cintaku padamu dan mengabaikan cintamu dan fada. Seharusnya aku tidak menghancurkan kisah kasih kalian, tapi bagaimana?, aku tak berdaya karena ego dan hasratku untuk memilikimu. Dan sekarang aku pun tak menyesalinya karena semuanya telah terjadi.
“Nak, apa yang kau katakan?. Ai, ini bukan permainan atau film yang bisa kau ubah tokohnya dengan yang lebih sempurna, ini kenyataan, ai” “Bu, aku tahu ini memang gila. Tapi, aini harus melakukannya” “Tapi, farhan. Bagaimana dengannya?, ibu tidak setuju”. “Bu, tolonglah ini demi kebahagiaannya”. “Tidak, aini”. Perbincanganku dengan ibu mertuaku berakhir di sana, ia meninggalkanku. Aku tidak berhasil membujuknya untuk menyetujui rencanaku, rencana untuk menyatukan fada dan mas farhan.
“Apa ini, ai?. Kau tahu kan aku sangat mencintai fada, begitu pun fada, kami saling mencintai. Tapi, kenapa kau lakukan ini?” Pertanyaan itu menjadi kalimat pertama yang terlontar dari mulut mas farhan di malam pertama kami. “Apa aku salah?” Entah kenapa pertanyaan itu keluar dari mulutku begitu saja. Mas farhan menatapku dengan tajam. “Kau tidak pernah menikah dengan fada, apa salah jika aku menikanimu?. Kenyataannya adalah, sekarang kau suamiku dan aku adalah istrimu, bukan fada”. Piaar… Tangannya mendarat tepat di pipi kiriku. “Aku menganggap sebagai saudariku, aku menaruh kepercayaan besar kepadamu, tapi kau hancurkan semua itu. Hari ini, aku menyadari satu hal, bahwa aku telah salah, aku salah karena menilaimu sebagai wanita yang baik” Malam itu ia pergi meninggalkanku, dan kata itu adalah ucapan terakhir yang ia ucapkan padaku, dan setelah itu ia tak pernah lagi bicara padaku bahkan untuk menatapku saja, sepertinya ia enggan.
“Aini, kau yakin dengan keputusanmu?, kau tidak akan terluka?, apa kau akan bahagia?”. Tiba tiba mertuaku datang kembali, membuyarkan lamunanku. “Ibu, hanya orang yang tidak waras yang akan bahagia dan tidak terluka melihat suaminya menikah lagi. Tapi, aku masih waras, ibu. Aku pasti merasakannya, tapi ibu, mas farhan dan seluruh anggota keluarga akan lebih terluka dariku. Aku bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak akan memiliki keruturan, aku bisa menanggung semua luka, tapi bagaimana dengan mas farhan?. Ibu tolong, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku”. Aku menangis memohon di hadapan ibu mertuaku untuk menyetujui rancanaku. Ibu memelukku, kurasakan punggungku basah karena air matanya.
Minggu itu pula kami melangsungkan pernikahan mas farhan dan fada, meskipun sulit untuk meyakinkan fada dan orangtuaku, tapi pada akhirnya mereka harus setuju karena kenyataan yang ada memang menuntut semua itu terjadi. Hari itu, hatiku hancur entah yang kesekian kalinya, tapi kali ini hatiku benar benar hancur lebur, berserekan di mana mana, aku bingung bagaimana caraku untuk bisa menemukan setiap potongan hati yang telah hancur, bagaimana caraku untuk membuatnya kembali utuh, sedangkan itu tidak mungkin.
Dua minggu setelah itu, fada hamil. Semua orang begitu gembira, termasuk mas farhan yang tak hentinya bersyukur, yang tak sabar menunggu anaknya lahir. “Selamat mas” Ucapku menjulurkan tangan pada mas farhan. Ia mendengus kesal dengan langkahnya meninggalkanku. “Setidaknya maafkanlah aku, jika memang kau tak bisa menerimaku” Ingin sekali mengatkan hal itu padanya tapi aku tak bisa kata kata itu tertahan dan tak bisa dikeluarkan dari bibir, hanya mampu kuucapkan dalam hati. Seandainya ku bisa, aku ingin kau melihatku sebagai istrimu, bukan temanmu yang kini berubah menjadi musuhmu, orang yang paling kau benci. Kau berbahagia dengannya, dengan istri ke duamu dan calon bayimu, tapi bagaimana denganku?. Orang orang menatapku dengan iba, mereka prihatin terhadap keadaanku, terhadap kisah yang tak sempurna dari istri yang tak diinginkan.
Cerpen Karangan: Lutfiyana Blog: Lutfiyana.mywapblo.com