Hari-hariku berlalu lebih cerah. Sebuah cahaya menerangi sebuah ruang kosong yang tadinya gelap. Tak hanya menerangi, tapi juga mengisinya. Dia bukanlah pengunjung pertama yang singgah, namun hadirnya itu sedikitnya membuat rasa bahagia hadir begitu saja. Dialah gadis yang bernama wahda.
Aku daniel, seorang siswa SMA, di salah satu SMA di kota angin Majalengka. Aku mempunyai rasa yang aku pun mengerti rasa apa namanya, karena ini bukan kali pertama aku merasakan ini. Tapi dia itu hanya bagai mimpi, hanya pengunjung yang secara rahasia aku pun ingin mempersilahkannya singgah dan ingin membawakan secangkir coffe. Tak nyata, karena kenyataan tak memperbolehkan untuk menunjukkan kalau aku menyukai sosoknya, karena kebersamaanku dengan yang lainnya.
Beralih pada sahabat baruku, dia adalah ranggita. Gadis yang menyenangkan, selalu ada untukku setelah kami ditempatkan di kelas yang sama. Jam istirahatku hampir habis dihadiri oleh tawa kami. Rasanya baru kali ini aku mempunyai sosok sahabat wanita yang menyenangkan.
Nampaknya aku benar-benar menyukai wahda, wanita yang setiap harinya terlihat di tempat parkir. Ingin rasanya menyampaikan kalau aku menyukainya. Jikalau aku sungguh benar-benar berkata sepertu itu, aku yakin dia pun akan menerimaku. Dia adalah wanita pertama di antara lainnya yang tak pernah lelah menunggu. Menungguku di tempat parkir, setelah batang hidungku terlihat dia pergi begitu saja. Seiring waktu aku menikmati kehadiranya setiap menuruni tangga di tempat parkir. Wajahnya tak menampakkah keraguan ketika mengunggu lama seseorang yang bahkan kami tak pernah saling menyapa.
Bagaimana dengan gita? Karena kebersamaan, disamping menyimpan rasa rahasia pada wahda, gita pun mengisi kesosongan yang tak kudapatkan dari wahda yaitu kebersamaan. Dirinya bagai ilalang yang mengisi lahan kosong pada hamparan bunga. Berawal dari kenyamanan, lalu kebersamaan mendukungnya. Selalu berdua sepanjang hari, itulah mungkin yang membuat rasa ini tumbuh. Aku hanya bingung, ada dua rasa yang mengisi kekosongan. Jika boleh dikatakan, gita adalah hidup nyataku berbeda dengan wahda yang hanya melintas, tak pernah nyata.
Wahda, berakhir sampai di sini. Dia benar-benar terluka karenaku dan karena gita. Dia tau kalau aku dan gita selalu bersama ketika di kelas. Tak bisa dipungkiri aku dan gita terlihat lebih dari seorang sahabat, kami nampak seperti pasangan kekasih, mereka pun berkata demikian. Jangankan menunggu di tempat parkir, melihatku saja dia langsung pergi menghindar, apalagi melihat gita sahabat dekatnya. Benar, wahda dan gita bersahabat sejak SMP. Kesalahan ada pada gita, seberanya dia menjanjikan akan menjadi macomblang. Tapi nyatanya dialah yang dominan merebut hatiku karena kebersamaan kita.
Tak terpikir untuk memacari gita, sahabat yang lebih dari sahabat. Kami tetap berhubungan baik, bahkan sangat baik. Walau tak ada status pasti yang hadir. Kami tak saling berkata “aku menyukaimu” “aku juga” tidak. Tanpa kata-kata seperti itu, sepertinya apa yang aku dan gita lakukan di kelas telah mewakilinya. Notifikasi BBMku pun tak pernah kehilangan nama “Ranggita”, nama itu selalu melintas.
Karena kebersamaan membatasi bunga untuk kembali tumbuh subur. Lagi-lagi karena kebersamaan, tak ada celah kosong lagi untuk rasa wahda, untuk bunga itu tumbuh kembali. Gita pernah berkata “apa yang aku lakuakn ini salah niel? Wahda bahkan tak lagi menyapaku, jangankan bersahabat kembali sebagai seorang teman pun tak nampak”. Persahabatan telah kuhancurkan secara tak sengaja, lagi-lagi karena kebersamaan. Teman satu kelas wahda pernah berkata “menunggumu di tempat parkir, benar kau tak menyuruhnya… tapi kau bisa melihat bukan kesungguhannya?”
Ya benar, aku tahu betul wahda walau aku dan dia tak saling mengenal. Hanya sama-sama pemilik rasa. Bagaimanapun dengan gita, bunga itu tetap hidup di ruang yang tak pernah terlihat oleh gita begitupun mereka, walau tak lagi pernah tumbuh lebih banyak. Aku menyimpan rasa itu dalam-dalam, lagi-lagi karena kebersamaan. Bahkan tak ada satu celah pun dan tak memungkinkan bisa berkata “aku mempunyai rasa itu padamu” pada wahda karena semuanya telah menganggap kalau aku dan gita berpacaran. Lagi-lagi karena kebersamaan, satu hati telah terluka dan tak mengizinkan untuk mengobatinya.
Cerpen Karangan: Renita Melviany Facebook: Renita melviany