Terik matahari memudar bersamaan dengan jarum jam ini terus berputar. Matahari semakin condong ke barat diikuti tiupan angin yang semakin kencang. Rambutku yang terurai terbang mengikuti arah angin. Mataku masih tertuju pada air danau yang beriak karena boots melewatinya dengan cepat. Diiringi teriakan si penunggang boots yang terlihat begitu senang melaju kencang di atas air. Dan ternyata sudah dua puluh menit aku menunggunya di sini.
Kuarahakan pandanganku ketika dia memanggilku. Tas tangan menggantung di lengan sebelah kirinya. Baju batik berwarna dominan hijau dengan bawahan kain yang dilipat sedemikian rupa hingga menampakkan bagian bawah kakinya begitu serasi dengan tubuhnya. Udeng yang setiap hari melingkar di kepalanya masih ada di sana. Ia mendekat ke arahku dengan langkah yang memburu.
Sesak semakin melanda dadaku disetiap langkahnya yang terus mendekat ke arahku. Kupaksakan bibirku untuk mengulurkan senyum padanya. Senyum yang selalu aku tunjukan setiap hari padanya. Senyum palsu yang selama ini aku rahasiakan darinya. Sama seperti perasaan yang aku pendam selama ini. Sebuah rahasia yang entah sampai kapan harus kupendam sendiri. Menyiksa batinku setiap kali aku bertemu dengannya, seperti saat ini.
Pekerjaanku sebagai seorang tour guide yang membawaku bertemu dengannya tiga tahun lalu. Kebetulan aku diterima di agen tour yang sama dengan dirinya. Sejak saat itu juga aku sering bersamanya saat memandu rombongan wisatawan yang berlibur ke Bali dan kebanyakan adalah anak sekolah.
Angin semakin kencang. Hingga bunga Kamboja yang terselip di telinga kiriku jatuh di depannya. Ia membungkuk mengambil bunga Kamboja berwarna putih kekuningan itu. Aku memandanginya saat ia berusaha memasangkan lagi bunga Kamboja di telinga kiriku. Sampai mata kami bertemu, mengundang gemuruh di dalam dadaku. Ia tersenyum, “Jegeg!” pujinya. Jegeg berarti cantik dalam bahasa Bali. Aku mengerjap saat ia menarik tanganku ke arah bus yang sudah tiga hari ini kami pandu berdua. Dia mengantarku sampai di depan bus 2. Setelah aku masuk, ia berlari kecil ke arah bus 1 yang ada di depan bus yang aku tumpangi. Ini hari terakhir kami memandu rombongan ini, mungkin juga hari terakhirku melihatnya.
Tujuan terakhir jatuh di pantai pandawa. Pantai di ujung Selatan pulau Bali, tepatnya di daerah kabupaten Badung. Cukup jauh perjalanan dari Bedugul ke pantai pandawa. Saat tiba di pantai pandawa, senja sudah menyambut. Sunset di ufuk barat begitu mengagumkan. Diirngi deburan ombak yang hilang setelah menghantam bibir pantai.
Aku duduk di pasir putih pandawa, memilih tempat yang agak sepi dari pengujung saat langit mulai menghitam sesaat setelah aku berpamitan dengan rombongan dan melepas mereka untuk kembali. Meninggalkan Bali setelah tiga hari ini aku menemani mereka berkeliling Bali. Sedih saat harus berpisah seperti ini dengan mereka. Tapi memang harus seperti itu. Setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan.
“Geg..!” ia menepuk bahuku dari belakang. “Bli? Tau aku di sini? Kenapa belum pulang?” tanya ku saat ia duduk di sampingku. “Aku mau pulang sebenarnya. Tapi aku lihat kamu balik ke pantai.” Ia menarik napasnya sejenak. “Cerita Reen, aku tau kamu ada masalah.” jarang sekali ia memanggilku dengan nama asliku Maureen. Karena biasanya ia memanggilku ‘geg’ atau singkatan dari jegeg. Dia tau aku ada masalah? Kamu masalahnya. Setelah kamu menemuiku dua minggu lalu di tengah hujan. Kukira ada yang penting menyangkut kita. Ah! Maksudku, aku dan kamu. Bukan kita. Dan ternyata, saat itu kau hancurkan aku dengan kejutan yang luar biasa. “Sebenarnya aku suka dengan seseorang. Sejak lama, sejak tiga tahun yang lalu,” kataku memulai bercerita. “Oh ya? Siapa? Kenapa nggak cerita?” dia begitu antusias mendengar ceritaku. Padahal dia yang kumaksud. “Terus? Dia tahu?” Aku menggeleng. Mataku kembali menerawang langit hitam yang berhias Bintang. “Kenapa kamu nggak bilang kalau suka dia sejak lama?” dia kembali bertanya. “Entahlah Bli. Aku terlalu takut cintaku tak berbalas. Dan sekarang aku menyesal. Menyesal membiarkannya pergi dengan wanita lain.” Aku mulai menangis, hingga tangisku berubah menjadi isakkan. “Maksudnya? Dia akan menikah?” Tanyanya lagi. Semua pertanyaannya begitu menyakitkan di telingaku. Apa dia benar-benar tidak sadar jika aku menyukainya. Aku mengangguk. Isakkanku semakin keras. Kurasakan ia merengkuhku. Membawaku ke dekapannya. “Aku menyesal Bli. Seandainya saja dia tau aku menyukainya sejak awal kami bertemu. Seandainya aku punya cukup keberanian untuk mengatakan perasaanku padanya. Mungkin ini semua tak akan terjadi. Mungkin aku yang akan menikah dengannya seminggu lagi. Bukan wanita itu,” aku terus menagis di dekapannya. Ia mengusap lembut punggungku. Berusaha menenangkanku.
“Kalau boleh tau siapa laki-laki itu?” Aku terdiam. Siapa katanya. Apa dia sama sekali tak punya hati? Aku sedang menceritakan tentang dia, tapi dia masih tak sadar jika dia yang membuatku seperti ini. “Dia.. Dia seorang laki-laki yang kutemui di tempatku bekerja tiga tahun lalu. Dia yang selalu memanggilku dengan sebutan geg. Aku cantik katanya. Tapi nyatanya, semua hanya kebohongan belaka. Ada wanita yang lebih cantik dariku yang akan ia nikahi seminggu lagi. Dan dia…” “Reen?” ia menarikku lepas dari dekapannya. Mencoba mencari bola mataku yang tertutup dengan air mata. “Apa laki-laki itu aku?” Aku memandangnya sayu. Aku tersenyum perih di hadapannya. Aku tak menjawab pertanyaannya. “Dan dia.. Dia membuatku hancur dua minggu lalu saat memberiku undangan pernikahannya. Dan yang lebih menyakitkan lagi, wanita yang dinikahinya adalah wanita dari Gianyar yang tak lain adalah kakakku sendiri. Mereka sama-sama kejam. Bahkan kakakku sendiri tau aku menyukai laki-laki itu, tapi dia tetap akan menikahinya. Aku… aku…” “Hentikan Reen!” “Aku seperti wanita gila sekarang. Wanita yang gila karena sikapnya sendiri yang tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Hingga akhirnya..” “Ni kadek Maureen Dewi! Cukup! Kubilang cukup!” Ia mendekapku erat. Tubuhnya ikut terguncang seiring dengan isakanku yang semakin menjadi. Sakit. Ini terlalu sakit bagiku. Kakakku sendiri yang akan dinikahinya. Salahku memang. Salahku tak pernah berani mengungkapkannya. Ini bukan salahnya. Ia tak pernah tau jika yang akan dinikahinya adalah kakakku. Apalagi dengan perasaanku, ia tak pernah tau itu. Karena aku menyimpannya dengan begitu rapat selama ini.
“Kenapa nggak bilang dari awal Reen?” ia semakin mengeratkan pelukannya. “Kenapa baru sekarang kami biarkan aku tau semuanya.” Aku tak menjawab. Isakkanku tak bisa kuhentikan. Semuanya begitu sulit kuterima. Air mata ini tak bisa melukiskan bagaimana hancurnya hatiku yang begitu rapuh. “Katakan Reen! Katakan!” ia mengguncang-guncangkan kedua pundakku. Aku tak berani menatap matanya. Aku takut aku semakin lemah jika harus melihatnya. Aku yakin aku akan semakin hancur melihatnya saat ini. “Lihat aku Reen! Lihat aku!” aku semakin membeku. Aku tak bergeming sama sekali. Ia kembali menarikku ke pelukannnya. “Jika aku tau dari awal. Semuanya akan berbeda Reen. Kenapa aku terlambat tau semuanya.” Aku melepaskan pelukannya. Aku menatapnya dengan penuh luka. Kulihat matanya juga basah. Sama seperti mataku.
“Aku besok akan berangkat London. Aku lulus tes beasiswa di sana untuk melanjutkan S2 ku. Maaf aku nggak bisa datang di hari pernikahanmu. Aku sudah bilang kakak sebelumnya,” Ia terduduk di pasir pantai. Wajahnya ia tutup dengan kedua tangannya. “Jaga kakakku baik-baik. Semoga semuanya berjalan lancar. Malam ini aku akan ke Gianyar untuk mengambil barang-barangku. Dan besok pagi, aku terbang ke London. Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Karena setelah lulus dari sana. Aku akan bekerja dan tinggal di Jakarta. Sesuai kesepakatan dengan pihak yang memberiku beasiswa. Tapi aku akan mengunjungimu dan kakak jika aku memang sudah bisa menerima semuanya.” “Reen.. Aku minta maaf. Maaf Reen.”
Aku memeluknya sebentar. Pelukan terakhir sebelum aku benar-benar pergi. “Aku mencintaimu.” kataku lagi. Selanjutnya hanya isakan yang keluar dari mulutku. Aku berjalan mundur meninggalkannya. Meninggalkan semua kenangan dan semua perasaan Cintaku padanya di pantai ini. Aku memang tak bisa bersamanya seperti yang aku impikan dari dulu. Tapi setidaknya, rahasiaku bukan lagi rahasia sekarang. Aku sudah mengungkapkan apa yang kupendam selama ini. Walaupun nyatanya aku tetap tak bisa bersamanya.
Selamat tinggal Bli, selamat tinggal rahasiaku, selamat tinggal.
Cerpen Karangan: Dhina Feb