Pindah sekolah? Siapa yang menginginkannya? Aku rasa tak ada, kecuali mereka yang punya masalah di sekolahnya, tapi aku bukan mereka. Aku tak menginginkan apalagi membayangkan riwayat pendidikan SMPku di dua tempat. Tapi no problem aku cepat beradaptasi dengan hal baru walau yang kubawa adalah watak cuek, cerewet dan bahkan dalam tanda kutip menyebalkan.
Hari pertama aku menginjak sekolah baruku yang lebih megah dari sekolah lamaku. Aku duduk menunggu ayahku yang sedang berbincang dengan calon guruku. Dan tak lama mereka keluar serta mengajakku untuk mengikutinya. Ku berjalan dengan kepala yang tak mau diam, memperhatikan setiap sudut yang kulalui dan aku tahu aku menjadi pusat mata orang-orang yang kulewati.
Pak Guru sudah memasuki sebuah ruang kelas, sebelum aku masuk kulihat sebuah papan yang bertuliskan IX-B dan aku rasa, aku akan tinggal di kelas ini. Saat aku masuk, aku kembali menjadi perhatian tiap pasang bola mata penghuni kelas ini. Kuperkenalkan diri dari mulai nama hingga alamat. Dan sudah kuduga aku akan menempati bangku kosong di sebelah kanan gadis itu, entah bangku tak berpenghuni atau memang penghuninya sedang tak hadir, aku tak peduli.
Belum sempat aku duduk gadis itu mengulurkan tangannya, ya pertanda dia ingin berkenalan dan sudah menjadi tradisi aku pun menyambut uluran tangannya. “Arin” ucapku sambil meneruskan niatku untuk duduk “Sany” katanya Kami tak punya waktu untuk berkenalan lebih lanjut, karena guru di depan sana sudah kembali menerangkan.
Keesok harinya aku kembali sekolah, dan setibanya di kelas kulihat Sany sedang menyapu. “pagi Sany” sapaku dan langsung membantunya “pagi juga Arin” jawabnya “bagian piket San?” tanyaku basa basi “iya, kayanya hari ini bakalan bebas deh.” Ucap Sany “emangnya ada apa?” tanyaku heran “ada lomba olah raga sama kesenian” jawabnya “antar sekolah?” tanyaku lagi “hanya antar kelas” Jawabnya mempertegas “kelas kita mengirimkan?” tanyaku sok perhatian dengan kelas baruku “iya dong, tenang aja kelas kita punya tim atlet juga tim artis yang udah langganan lomba walau kebanyakan kalah” jelasnya panjang diiringi tawa “kamu masuk tim mana?” tanyaku “tim penonton aja cukup” jawabnya dengan senyuman “ngomong-ngomong nonton, mau nonton yang mana?” “seni aja yuk, aku kurang suka olah raga, ya terkecuali liat pemainnya yang ganteng” katanya senyum manis “ya udah ke seni dulu aja” keputusanku
Bel masuk telah berbunyi menandakan perlombaan akan segera dimulai. Langsung saja kami pergi ke aula untuk melihat tampilan kesenian dari tiap kelas. Kami duduk di bangku barisan ke 5, sengaja agar tak terlalu depan, karena bangku depan seolah punya misteri tersendiri.
Sudah 9 nomor urut tampil, namun tak ada yang menarik, hanya tarian dan nyanyian. Tapi aku terpukau oleh suara nomor urut 8 yang dimiliki oleh seorang lelaki yang menjadi vokalis band. “San vokalisnya siapa?” tanyaku mencari tahu “oh… itu Hayan” jawab Sany “kelas berapa?” tanyaku masih penasaran “IX-D, emang kenapa suka ya?” tanya Sany seolah meledek “enggak, ya pengen tahu aja.” Jawabku “Rin, bosen nih liat yang olah raga yuk!” ajak Sany “yuk!” jawabku sambil beranjak pergi, ya toh yang bagus udah aku liat.
Di perjalan tetap saja kepalaku masih tak mau diam, terus memperhatikan sekelilingku. Tiba-tiba Sany berhenti, karena ada orang yang menyapanya, tak cukup lama aku memperhatikan aku sudah tahu dia si vokalis band tadi. “San, anak baru?” tanyanya pada Sany sambil mengarahkan matanya padaku “iya, pindahan kemaren.” Jawab Sany Lelaki itu mengulurkan tangannya dan memang seolah wajib untuk menyambutnya, ya bersalaman. “Arin.” Gerak bibirku “Hayan.” Kata lelaki itu “mau ke mana Yan?” tanya Sany “mau liat yang olah raga.” jawab Hayan “ya udah bareng.” Ajak Sany
“yang tadi jadi vokalis ya?” tanyaku memberanikan “ya, tadi nonton?” ucap Hayan “hmm, iya.” Jawabku diikuti senyuman “gimana? Jelek ya?” tanya Hayan merendah “enggak kok, bagus banget.” Jawabku apa adaya “bener, dia tertarik banget sampe-sampe…” ucap Sany tak selesai “Sany” kataku memotong “sampe apa San?” tanya Hayan penasaran “dia kepoin kamu.” Jawab Sany secepat kilat “ya, karena penampilan bandmu menarik.” Kataku agak malu “baru juga yang ke 9 belum sampe akhir.” Kata Hayan Percakapan kami seolah mempersingkat waktu untuk sampai ke tujuan. Sesampainya di tempat kami berpisah dengan Hayan.
“Hayan ganteng juga ya?” kataku tak terjaga “duuuh ciee ciee” ledek Sany “ikh, ya wajar kali.”
Setelah acara itu aku berubah menjadi penunggu koridor kelas. Kenapa? Karena dari sana aku dapat memperhatikan penghuni kelas seberang, ya lebih tepatnya Hayan. “ada yang beda nih.” Kata Sany menghentikan fokus mataku “apa?” kataku tak mengerti “merhatiin Hayan ya?” tebak Sany “enggak.” Sangkalku “kalau suka aku bilangin.” Ucap Sany dengan senyuman jahat “jangan ihk malu-maluin.” Kataku seenaknya “tuh malu, ciee.” Ledek Sany seolah menang “udah ah jangan dibahas. Hoby banget ngeledek orang.” Kataku dengan wajah agak cemberut
Baru saja aku mau melangkah pergi dari sekolah menuju tempat ternyamanku, ya rumah dan kamarku, tapi Sany menarik tanganku hingga aku masih ada di lingkungan sekolah. “Arin tunggu dulu” kata Sany tanpa melepaskan tanganku “ada apa?” tanyaku kesal “Rin, minta nope dong” kata Hayan yang tiba-tiba datang “aku gak hafal.” Jawabku jujur “pinjem tangan kamu.” Kata Hayan yang langsung menarik tanganku dan menulis sesuatu tanpa persetujuanku “ini no aku, pulang sekolah sms ya?” ucap Hayan “iya.” Jawabku dan membuat Hayan pergi
“Sany kamu bilang apa sama dia?” tanyaku menginterogasi “gak bilang apa-apa, dia sendiri yang nyuruh.” Jawab Sany “beneran?” tanyaku tak percaya “suer.” katanya meyakinkan
Sesampainya di rumah, kulepas sepatu, simpan tasku, ambil handphone dan kurebahkan badan. Saat kumainkan handphoneku terlihat ada tulisan di telapak tanganku dan… “oh ya nomor Hayan” ucapku
“hay, aku Arin.” Isi pesanku “oh… ya, siang Arin.” balasnya “juga.” ketikku “lagi apa?” tanyanya dan aku tau hanya basi-basi “rebahan aja.” jawabku seadanya “masih cape ya? Nanti malem aja lanjut lagi, sekarang istirahan dulu aja.” Balasnya yang cukup membuat lega. “hmm, iya.” Menunjukan sikap malasku
Matahari pun sudah berubah warna, menandakan senja tiba yang seolah jingga adalah penyambut hitamnya malam. “malam Arin.” pesan Hayan “iya malam juga.” balasku cukup semangat “Rin, boleh curhat?” tanyanya “ya silahkan.” Jawabku yang pasti dia sudah ketahui “sebenernya aku lagi suka sama seseorang, tapi aku juga tahu ada orang yang suka sama aku. Aku mencintai tapi aku tak ingin menyakiti orang yang menyukaiku. Aku harus bagaimana?” jelas Hayan cukup panjang “udah deket belum sama orang yang kamu suka?” balasku seolah sok jadi penasihat “ya, lagi coba” Balasnya “ya udah kejar dulu aja orang yang kamu suka, siapa tahu dapet. Kalo dapet ya syukur kalo enggak ya udah coba aja balas rasa orang yang suka sama kamu.” Jawabku sesuai dengan yang ada di pikiranku “gitu ya, makasih aku coba saranya.” Pesanya “yang penting jangan dua-duanya, bakalan nyakitin.” Ketikku “gak bakalan kalo sampe dua-duanya, tapi aku emang tukang nyakitin kok.” Jawabnya “bagus deh, eits tapi itu jangan.” Balasku
“Rin.” “apa?” isi pesanku heran “Arin.” “iya apaan sih?” balasku malah kesal “sebenernya orang yang aku suka itu kamu, kamu mau jadi pacar aku? Love you Rin.” Deg… tulisan itu memecahkan pikiraku, karena yang aku pikirkan aku adalah orang yang menyukainya. “ehk maaf udah ngantuk.” Pesanku mengakhiri “besok aku tunggu jawabannya. Good night.” Ngantuk? Dari mana? Itu hanya alasan, aku tak ingin langsung menjawabnya. Aku memang tertarik padanya tapi entah kenapa aku tak menginginkan sebuah hubungan yang spesial.
Di sekolah “Rin tumben pagi?” sapa Sany yang baru datang “iya, San aku pengen cerita sama kamu.” Jawabku sambil senyum-senyum gak jelas “kenapa nih?” balas Sany dengan senyumannya “tadi malem Hayan nembak aku.” Kataku tanpa basa-basi “gimana? Diterima?” respon Sany gembira “Aku bingung, aku emang suka tapi aku gak pengen punya hubungan apapun karena begini lebih nyaman.” Ucapku apa adanya “senyaman apapun tanpa status, akan terasa menyakitkan saat dia punya yang lain.” Sany menjelaskan “iya deh, nanti aku pikirin lagi.” Jawabku
Pulang sekolah aku langsung mencari handphoneku, berharap ada pesan dari Hayan. Namun, sampai jingga menyambut dia tak kunjung ada. Bagaimanpun aku hanya bisa menunggu, tak mau mengawali, karena aku wanita dengan harga diri. Jingga pun hilang tergantikan oleh hitam malam tanpa bayang. Dan ya, apa yang telah lama aku tunggupun ada.
“Rin gimana?” isi pesannya “maaf sebelumnya.” Jawabku ragu “Nggak usah canggung jujur aja.” Balasnya “maaf, bukan aku tak suka atau gimana, tapi entah aku lebih nyaman seperti ini. Jika ditanya suka? Iya aku suka, bahkan dari saat pertama melihatmu di atas panggung. Status hubungan? Menurutku itu tak penting, karena saat hubungan itu berakhir kita akan kembali seperti ini, iya jika seperti ini, tapi bagaimana jika kau pergi menjauh dan menghilang. Aku tak menginginkan itu. MAAF HAYAN.” pesanku menjelaskan “iya aku bisa menerimanya, tapi tolong perlakukan aku lebih dari sosok teman.” Mohonnya “perlakuanku terhadap seseorang itu bagaimana seseorang itu bersikap. Jika kau melakukannya pasti itu terbalaskan.” Jawabku “makasih, love you Arin.” Ungkapnya “sama-sama, love you too” balasku
Indah dan benar-benar indah, hari-hariku terus kulalui dengan penuh warna bersamanya. Tapi, cahaya yang terindah selalu muncul dikala malam, dan waktu itulah yang selalu aku tunggu. Berbagi cerita dengan canda tawa terucap do’a juga semangat. UN dan hari menjelang kelulusan kami berbagi rasa khawatir, tapi rasa itu selalu terkalahkan oleh pikiran positif darinya juga ungkapan semangat dariku.
1 bulan menjelang kelulusan, sikap Hayan memang tak pernah berubah, hanya saja dia sering menanyakan tentang Sany. “Rin, kamu punya nope Sany gak?” tanya Hayan “punya.” Balasku heran “minta dong.” jawabnya “ya minta aja langsung ke Sanynya!” ketikku semakin heran “Rin minta, please!” mohonnya “ya udah nih 088517665182” jawabku kesal “makasih Arin.” Balasnya “iya sama-sama.” Balasku malas
Beberapa hari ke depan sikap Hayan memang Hayan, masih terus dengan kabarnya setiap malam, walau selalu terselip tentang Sany. “Rin, boleh minta tolong gak?” tanya Hayan “boleh.” Jawabku “tolong bilang ke Sany sms dari aku bales.” Balasnya, membuat rasa curiga menghantui. “emang urusan apa gitu?” tanyaku “please.” Rengeknya “aku tahu kamu orang jujur, ada apa?” balasku kesal “enggak kok.” Jawabnya memuncakkan amarahku “JUJUR HAYAN.” Ketikku marah “aku suka sama Sany.” Jawabnya, membuat sesak di dada. Dia menyukai sahabatku? Tak mampukah menghargaiku. Bukan aku, tapi hatiku. Aku mengatakan aku tak ingin menjalin hubungan dengan status pacar, tapi aku rasa kau tahu bahwa aku mencintaimu. Tak berartikah cinta kita yang lalu?.
Tak lama dari itu aku sudah medengar kabar baik tentangnya, ya dia menjalin hubungan dengan sahabatku Sany. Sungguh kabar baik yang mampu meluluh lantakkan hatiku. Hayan, kau yang merajut sayap indah agar aku bisa terbang bersamamu, tapi sayang kau buat sayap itu dengan bualan, hingga disaat aku terbang tinggi justru sayap itu menghilng entah ke mana. Yang tersisa hanya rasa sakit di hati. Terimakasih untuk hari-harimu bersamaku, terimakasih untuk mimpi indah yang kau beri, dan terimakasih banyak untuk luka tanpa obat yang kau sisakan. Sany, aku tahu dia karenamu, dan kau juga salah satu alasanku untuk berani mendekatinya. Aku pikir senyummu itu mendukung, tapi nyatanya tingkah masih belum mampu membongkar hati yang sebenarnya. ‘senyaman apapun tanpa status, akan terasa menyakitkan saat dia punya yang lain’ Iya sungguh menyakitkan ditambah lagi orang lain itu sahabatku.
Kini hanya aku, bukan dia atau sahabat. Aku yang menggenggam hati, mencoba untuk memperbaikinya lagi. Walau tanpa yang menemani, tapi aku yakin mampu kembali menjadi Arin utuh yang sesungguhnya. Tak pantas ku menjadikan kalian alasanku untuk lemah dan rapuh, karena aku punya banyak hal berharga dibanding kalian. Terimakasih atas pembuktian bahwa yang terdekat punya peluang hebat untuk menjadi pengkhianat.
Cerpen Karangan: Rena Siti Nurfalah Facebook: Rena Nur Eka Shafar Hai sahabat pena, perkenalkan saya Rena Siti Nurfalah sebagai pelajar di SMKN 1 Kadipaten kelas X dengan jurusan akuntnansi. bisa hubungi saya melalui akun facebook saya, serta menerima kritik dan saran. cerita di atas terinspirasi dari sepenggal cerita kehidupan saya dengan hiasan imajinasi.