Angin sore itu lembut menyapanya, Ia menikmati suasana sore yang begitu romansa dalam indera penglihatannya. Ia selalu jatuh cinta pada suasana sore hari, saat mentari yang lelah bergelayut manja pada kaki ufuk dengan semburat jingga yang mempesona. Hatinya terpagut dan tertambat pada sang senja, selalu Ia sempatkan untuk menantikannya sebagai pendopping lelahnya seharian berjibaku bersama tumpukan-tumpukan pekerjaan yang selalu menuntutnya sempurna. Setiap moment seperti ini, Ia selalu saja berdoa kepada Tuhan untuk membolehkannya mengantongi satu senja dan membawanya pulang untuk menerangi malam yang menggelapinya. Baginya, memandangi senja bisa menenangkan hati, melapangkan dada, memberi kekuatan yang sangat luar biasa. Senja mengajarinya banyak hal walaupun senja pula yang membuatnya tergugu dalam takdir Tuhan. Ia penikmat senja sejati. Penikmat karya-karya Tuhan yang maha sempurna.
Sore itu Ia hanya diam dalam menikmati senja. Ia memikirkan ternyata banyak hari-hari yang tidak ringan telah ia lewati sendiri, hanya senja yang kala itu sanggup menenangkannya. Sekarang Ia siap untuk tegak kembali. Menghampiri banyak hari berat yang belum Ia jumpai dan berjanji akan menakhlukannya dan tanpa air mata (lagi). Banyak yang ingin Ia ceritakan, banyak pula yang ingin Ia kisahkan. Tapi keputusannya bulat bahwa Ia akan menunggu seseorang yang benar-benar tepat untuk Ia memulai berkisah. Ia menunggu seseorang yang selalu hidup dalam ruang imajinya walau Ia tak tahu siapa. Ia menunggu seseorang yang Ia pelihara hidupnya dalam bidak pikirannya walaupun Ia tak tahu kapan Tuhan akan menekan tombol start dan alam akan merealisasikannya. Ia melamun (lagi), kali ini menerawang jauh tentang seorang itu, berharap semoga Tuhan akan berbaik hati kali ini untuk mempertemukan tanpa harus memisahkannya. Semoga!.
Reynatha adalah perempuan pecinta senja dan goresan tangan Tuhan. Perempuan yang hatinya lahir untuk kedua kalinya berkat senja. Maka itu Ia sangat mencintai senja. Rey, begitu Ia selalu disapa. Ia memiliki paras yang rupawan, senyum manis yang khas dengan dagu runcing, terlebih kesopanan, keramahan dan kepandaiannya membuat Ia menjadi sosok yang sempurna bagi laki-laki. Tapi bagi Rey, Ia tak sesempurna itu, hidupnya tak sesempurna apa yang nampak dari luar dan apa yang terlihat oleh orang lain. Ia berada dalam jalan yang salah, dan Ia belum menemukan jalan untuk pulang. Ia tersesat!!. Ya, Reynatha tersesat, tapi bukan tubuhnya yang belum bisa kembali pulang, namun hati dan pikirannya yang saat ini sedang tersesat dan belum menemukan jalan untuk kembali pulang. Hatinya tersesat pada seorang laki-laki yang salah namun hatinya sangat menyayanginya. Laki-laki yang telah memiliki perempuan sebagai ibu dari anaknya. Pikiran dua orang itu mengerti tentang realitanya tapi hati keduanya hanya mengerti bahwa mereka saling menyayangi. Putra, laki-laki yang sangat menyayangi Reynatha lebih dari perempuannya, laki-laki yang membuat Rey tersesat. Cerita ini berjalan dalam diam, hanya Reynatha, Putra dan Tuhan yang tahu. Hingga 3 bulan lalu, Putra datang ke ruang kerja Rey, menyapanya seperti hari biasanya tapi dengan kabar yang luar biasa.
“Rey, aku perlu bicara denganmu. Nanti waktu jam makan siang Aku tunggu di balkon atas ya!”. Rey mengangguk lembut sambil menatap teduh mata Putra.
Rey masih terdiam siang itu, masih di pelukkan Putra, 15 menit Putra menjelaskan dengan panjang dan jelas. Jelas bahwa Ia dengan segala pertimbangan akan pergi meninggalkannya. “2 bulan lagi Aku fix bakal dipindah ke kantor cabang baru di Batam, Rey”. “Berapa lama?” “Aku akan tinggal di sana” “Mikaila?” “Ikut bersama ku!” “Jadi?” “Aku harus pergi” “Kenapa tiba-tiba?” “Aku sudah berpikir panjang dan matang, cerita kita tidak akan pernah punya masa depan. Kasihan kamu Rey, Kamu masih muda, masa depan Kamu masih panjang, Kamu harus bahagia tapi bukan dengan Aku!. Kamu bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari Aku, Rey” “Rasa itu apa sudah hilang seluruhnya?” “Ini bukan soal rasa Rey, mengertilah!. Ini tentang masa depan, terutama masa depan Kamu!. Kisah Kita tak pernah punya masa depan!” “Ada Putra, Kita memiliki masa depan!” Jawab Reynatha dengan suara tergugu. “Tidak Rey jika harus meninggalkan mikaila!” “Itu maksudku, Putra!” “Apa yang Kamu pikirkan?. Lihat dirimu, sudah 1 tahun berlalu dan Kamu sendiri masih berontak dengan takdir Tuhan saat Bapak meninggal”. Putra berusaha sabar menjelaskan alasannya untuk pergi. Ia sadar keputusannya untuk pergi akan membuat luka yang dalam buat Rey, tapi Putra juga tak berdaya dengan keadaan ini. Ia hanya tak ingin gadis kecilnya merasakan kehilangan sosok ayah sebagai cinta pertamanya, selama ini hanya Mikailalah satu-satunya alasannya untuk bertahan. “Rey, Kamu bisa mendapatkan seorang laki-laki yang jauh lebih baik dari Aku. Jaga diri kamu ya sayang. Aku pergi bukan Aku tak menyayangi Kamu, justru Aku sangat menyayangi Kamu, menyayangi masa depan Kamu, karena denganku, Aku dan Kamu tak akan pernah menjadi Kita. Kamu hanya harus bahagia Rey, dengan cara apapun” Ucap lembut Putra sambil mengusap kepala Rey. Putra melepas pelukannya dengan satu kecupan sayang di kening. Rey masih tergugu. Putra dengan langkah berat perlahan meninggalkannya. Tangisnya tak bisa Ia hentikan, dadanya terasa sesak hingga susah untuknya menghembuskan nafas panjang. Ia menepuk lembut dadanya berharap rasa sesak itu bisa keluar.
Rey masih berdiri di balkon atas, ada mata dan telinga yang sedari tadi tidak sengaja mendengar dan melihat semua scene itu. Yang membuatnya lebih remuk adalah ternyata Reynatha yang ada dalam scene itu, perempuan yang dengan susah payah Ia dekati tapi tak tersentuh sama sekali, ternyata bukan Reynatha tak melihat dirinya tapi di matanya, di hatinya dan di pikirannya sudah ada orang lain. “Reynatha, kamu baik-baik saja?” Tanya Devan yang tiba-tiba sudah di belakang Reynatha. “Devan”. Reynatha terkejut dengan kehadiran Devan yang tiba-tiba. “Sejak kapan?” Tanya Reynatha dengan nada takut. “Sudah dengar semuanya kok”. Ucap Devan dengan diiringi senyum tipis. (Ikhlas). “Maaf, tapi benaran gak sengaja Rey, setiap jam makan siang Aku selalu di situ” Sambil menunjuk kursi malas yang teronggok tak terpakai di pojokan. “Maaf ya, Rey. Tapi tolong percaya sama Aku ya kalau semua yang Kamu bicarain sama Putra gak bakalan ada yang tahu. Aku janji!”. Ucap Devan meyakinkan Reynatha. Yang dilakukan Devan bukan tanpa alasan selain karena perempuan ini telah menarik hatinya Ia tak tega jika harus melihat Reynatha dalam keadaan seperti ini. “Duduk di sana ya, di sana nyaman. Kamu bisa tenangin diri Kamu dulu, Kamu gak mungkin balik kerja dalam keadaan beler gitu”. Reynatha nurut dan beranjak dari tempat Ia berdiri. Ia duduk di kursi malas yang biasa ditempati oleh Devan. “Ahh, nyaman sekali di sini, Aku bisa bersandar dengan mata tertutup sejenak”. Gumam Rey. “Aku balik dulu ya Rey, nanti Aku bilang sama Pak Rama kalau Kamu ijin pulang, sakit. nanti sore jam pulang kantor Aku ke sini lagi jemput Kamu, sekalian bawain tas sama jaket Kamu ya. Itu bekal makan siangku belum Aku makan, boleh Kamu makan kalau kamu lapar. Kamu tenang saja, gak bakalan ada orang yang ke sini, kunci pintunya Aku yang bawa. Prediksi cuaca hari ini cerah, sekitar pukul 5 sore nanti kalau beruntung Kamu akan melihat lukisan Tuhan. Namanya SENJA. Semoga Kamu jatuh cinta kepadanya dan sedikit mengikikis perihnya sakit yang sekarang Kamu rasain”. Ucap Devan lembut, Rey mengangguk mengerti tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devan mengerti. Ia beranjak turun dari balkon lantai atas dan mengunci pintunya meninggalkan Rey di sana sendiri. Devan pernah mengalami ini semua dan di sana tempat Ia menemukan ketenangan yang tak terusik.
Beberapa jam Ia habiskan sendiri di balkon atas, Ia sudah tak memikirkan pekerjaanya. Pukul 5 kurang 7 menit Ia bertemu dengan senja, lukisan Tuhan yang sangat indah. Ia terpesona!. Devan benar Ia jatuh cinta lagi bahkan yang Ia cintai kali ini tak akan pernah pergi seperti Putra. Sejak saat itu selalu Ia sempatkan pergi ke balkon atas untuk melihat senja bersama Devan. Dan Rey akhirnya menemukan seorang untuk Ia berkisah. Kisah tentang bagaimana hatinya tersesat.
“Sudah 27 hari sejak hari itu Rey, apakah hatimu sudah menemukan jalan untuk kembali?”. Tanya Devan ingin tahu, selama 27 hari ini setiap sore Rey selalu menghabiskan waktu bersamanya, rasa kagumnya semakin meruncing terhadap Reynatha tapi Ia sadar, Ia masih harus menunggu. “Aku masih menyayangi laki-laki berperempuan itu Van. Aku masih tersesat. Ia masih sering menyapa dan tersenyum, masih sering mengingatkan bahwa aku harus bahagia, bagaimana aku bisa lupa kalau setiap hari harus bertemu dengannya?” “Ah, itu hanya masalah waktu saja Rey. Seberapapun sakit yang Kamu rasakan waktu akan menyembuhkan Kamu” “Kamu kenapa seyakin itu?” “Hanya pernah mengalaminya Rey” “Apakah senja yang jadi obatnya?” “Bisa dibilang begitu, hanya perantara sih, tiap lihat cantiknya senja selalu lupa sama rasa sakit” “Setelah senjanya terbenam rasa sakit itu ada lagi?” “Kan besok senja ada lagi, dihadirkan lagi sama Tuhan. Lupa lagi dong sama rasa sakitnya” “Masa bakalan gitu terus setiap hari” “Makanya itu kenapa waktu jualah yang bisa menyembuhkan rasa sakit dan senja cuman sebagai perantaranya”. Ucapan devan menenangkan hatinya
Devan benar, waktu jualah yang akan menyembuhkan rasa sakitnya dan saat ini senjalah perantaranya. Sudah 58 hari sejak hari itu, Putra masih sering menyapanya, masih sering tersenyum kepadanya, masih sering mengingatkan untuk jangan lupa bahagia, dan semua masih bisa terekam jelas dalam ingatannya. Sama seperti mimpi-mimpi kecil Reynatha bersama putra juga masih sangat jelas dalam ingatannya. Lusa Putra akan benar-benar meninggalkannya, meninggalkan hatinya, meninggalkan kota tempat Mereka berjumpa, meninggalkan mimpi-mimpi kecilnya yang tak satupun terealisasikan. Dan Ia belum sedikitpun beranjak dari jalannya, Reynatha masih tersesat!.
Siang itu Devan menghampiri Reynatha, “Rey, gak makan siang?” “Enggak Dev, kerjaannya banyak harus selesai sore ini, nanti sore saja ke atasnya” “Tapi jangan telat makan ya” “Siap bos!” jawab Rey dengan senyum manisnya. Ahh, sial, senyuman kamu, Rey. Sumpah! Bikin semua nyaliku menguap- Devan merutuk disertai gemelatak giginya. Tertahan semua rasa itu dalam rongga dadanya, menyeruak ikut menyesaki tenggorakannya. Tidak terucap sepatah katapun, hanya helaan nafas berat yang akhirnya keluar. Dan pergi meninggalkan Rey yang sibuk dengan kerjaannya. Dan ada mata yang selalu memperhatikan Mereka bedua.
“Rey, jam 4 sore nanti temuin Aku di balkon atas ya. Ada sesuatu yang harus Kita bicarakan” Putra menghampiri Rey setelah Devan pergi dari ruangannya. Lagi-lagi Reynatha hanya menganguk, tak berdaya untuk menolaknya. Ia benar-benar masih tersesat.
Pukul 4 kurang 5 menit Reynatha bergegas menuju balkon atas. Putra sudah menunggunya di sana. “Putra” Panggil lirih Reynatha. Sore itu, seperti de javu bagi Rey, Ia pernah dalam suasana seperti ini. Di balkon atas dengan Putra. Iya, dengan Putra, 58 hari yang lalu. Ia ingat, sangat ingat. Saat itu Putra membawa kabar luar biasa untuknya. Saat ini kabar luar biasa apa lagi yang ingin Putra sampaikan, Reynatha menunggunya untuk berbicara. “Bagaimana hidup Kamu sekarang Rey?”. Satu pertanyaan meluncur dari mulut Putra. “Masih sama” “Masih suka tidur larut malam? Masih suka telat makan?” “Ah.. sudah tidak” “Jaga kesehatannya. Pastikan kalau Kamu tetap sehat setiap hari. Setidaknya hal itu bisa membuat Aku tidak lagi khawatir”. “Hhm, iyah. Aku ingat semuanya kok. Perkata yang kamu ucapkan hari itu, Aku ingat”. Satu kalimat Rey selesaikan dengan tenang. “Baguslah. Aku tahu Kamu kuat Rey. Makanya Aku tahu rasa ini tak salah”. Rey diam, menarik nafas dalam-dalam untuk menikmati rasa sesak yang tiba-tiba menyerangnya. Ia hanya mengingat semuanya tanpa berbicara sepatah katapun. Dan Putra tahu, tapi Ia terlalu rindu dengan perempuan yang saat ini berdiri di sebelahnya, sangat rindu.
Rey tak bergeming dari diamnya dan satu kalimat Putra berhasil merontokkan keterdiaman Rey. “Reynatha, Aku rindu Kamu!”. Ucap putra lirih. Reynatha tetap terdiam tapi degup jantung yang sedari tadi belum bisa Ia kendalikan sekarang semakin menjadi. Perjuangannya selama ini, Ia yakini tidak akan runtuh seketika. Ia yakin.. “Hari ini, hari terakhir Aku di kantor ini, besok Aku, mikaila dan ibunya akan berangkat, Aku harap Kamu baik-baik di sini ya, harus bahagia!” Reynatha tetap terdiam.
“Hubungan Kamu sama Devan bagaimana sekarang Rey?. Aku lihat sekarang Kamu semakin dekat dengannya?” Pertanyaan Putra membuyarkan keterdiaman Reynatha. “Haruskan Aku menjelaskan kepada Kamu bagaimana Kami sekarang?” “Aku hanya ingin memastikan Kamu bersama orang yang tepat, Rey!” “Hubungan Kami baik” “Hhmm, baguslah. Berusaha untuk terus bahagia ya Rey, karena Kamu hanya harus bahagia. Sudah terlalu banyak air mata yang Kamu keluarkan” “Iya, akan selalu Aku usahakan untuk terus bahagia” “Terima kasih, itu membuatku lega”. Ucap Putra ditutup dengan satu senyum dan usapan sayang di kepala Reynatha. Reynatha tersenyum, (lagi). menatap Putra teduh. Masih sayang!. “Ada sesuatu yang ingin Aku berikan ke Kamu, tapi tertinggal di ruangan kerja, Aku ambil dulu ya, Kamu tunggu di sini sebentar” “Iya”. Putra mengangguk halus sambil tersenyum.
Putra masih menunggu Reynatha, ada mata yang mengawasinya tajam. Bengis, bahkan terlihat beringas ingin menghajar lelaki bertubuh tinggi itu. “Putra!” Panggil Devan dengan suara menantang, penuh dengan benci. “Devan” Putra terkejut sepersekian detik. “Sejak kapan Kamu ada di sini?” “Sejak 58 hari yang lalu, sejak Kamu memutuskan meninggalkannya tanpa melihat lagi ke belakang, Ini kesempatan yang bagus untuk berbicara denganmu sebelum Kamu berangkat ke Batam besok!” “Ada yang ingin Kamu sampaikan? Masalah Reynatha kah?” Devan terdiam sesaat. “Biarkan Dia bahagia, jangan jadi bayang-bayang dalam hidupnya lagi. Pergilah” Reynatha tercekat. Ia mematung, berdiri tak terlalu jauh dari ke dua lelaki itu. Dan Ia mendengar dengan sangat jelas apa yang Mereka bicarakan. “Tenanglah, Aku juga berpikir sama seperti Kamu. Aku juga ingin Ia bahagia dengan cara apapun, termasuk jika harus bahagia bersama Kamu” “Baguslah, Aku tak rela jika melihat Rey lagi-lagi sedih hanya untuk lelaki yang salah” “Baik, Aku mengerti itu. Jaga Reynatha. Jangan buat Ia dalam keadaan yang seperti ini untuk ke dua kalinya. Jika terulang, Kamu tak akan selamat dari Aku. Ingat!” Hatinya tercekat, tak ada kalimat yang bisa diucapkan oleh Devan. “Berjanjilah sebagai lelaki!” Ucap Putra sambil menepuk mantab pundak Devan. Reynatha, perempuan yang amat Ia sayangi lebih dari perempuannya Ia lepas bersama Devan. Berharap semoga lelaki ini bisa lebih dari menjaga dan membuat bahagia Rey.
“Devan” Panggil Reynatha dengan suara lirih. “Rey, berapa lama Kamu berdiri di situ?” Rey tersenyum. “Aku mendengarnya” “Baguslah, kalau begitu Aku tak harus bersusah payah untuk menjelaskannya”. Devan tersenyum lega, karena Rey tak marah dengan apa yang Ia lakukan saat ini. “Bingkisan kapan hari yang beli sama Aku itu ternyata buat Putra toh, Rey?” “Iya Van, hari ini pasti datang, Dan Aku sudah siap”. Ucap Rey seraya tersenyum. Putra hanya diam melihat percakapan dua orang yang ada di hadapannya, Ia lega bisa melihat Reynatha bisa nyaman berbicara dengan Devan walau ada dirinya di depannya. “Pergilah sebentar, belikan Ia air mineral dingin untuk membuatnya tenang. Aku ingin berbicara sebentar dengannya” Tak ada bantahan dari Devan, Ia beranjak dari balkon atas untuk membelikan air mineral dingin untuk Reynatha “Jaga sikap Kamu!” Ucap Devan dingin dan tegas sambil berlalu.
“Rey, Kamu sudah mendengar apa yang Kami bicarakan. Aku Sudah tak perlu lagi menjelaskan apapun sama Kamu. Ingat! Kamu hanya harus bahagia, Aku tak masalah dengan siapa Kamu bahagia, yang terpenting Aku tak melihat Kamu terluka lagi” “Iya, Aku mengerti” “Jaga diri baik-baik ya sayang, jaga kesehatan Kamu, buanglah semua kebiasaan buruk Kamu, Jangan lupa untuk bahagia. Aku berdoa yang terbaik buat Kamu” “Iya, terima kasih. Kamu juga jangan lupa untuk bahagia, belajarlah untuk menyayanginya sama seperti Kamu menyayangi Aku” “Ah, untuk itu Aku tak bisa menjanjikannya Rey. Kamu tahu, Aku hanya bertahan karena Mikaila, tidak lebih” “Setidaknya cobalah” “Sudahlah, rasa sayang itu sudah terbawa olehmu Rey, biar tetap seperti ini saja, kamu hanya harus bahagia, cukup!. Jangan memikirkan apa-apa lagi selain itu, mengerti?” Ucap Putra sambil mengusap lembut kepala Rey. Rey mengangguk lembut. “Tersenyumlah untukku Rey!. Ayo senyum” Rey tersenyum simpul. Manis. Dan itu cukup menenangkan hati Putra. Putra mengecup lembut kening Rey, penuh sayang yang tak bisa dijelaskan lagi dengan sebuah kata. “Tunggulah Devan di sini, sebentar lagi Ia kembali” “Iya”. Rey berucap pelan dengan hati yang Ia sendiri tak mengerti bagaimana cara menafsirkannya. Banyak yang Ia rasakan, terlalu banyak!. “Kamu berangkat besok?. Hati-hati ya. Jaga diri dan keluarga. Salam buat Mikaila” “Iya, Rey. Aku balik ke ruangan dulu ya Rey” Putra berjalan gontai meninggalkan Rey sendiri di balkon atas. Rey melepasnya, yang bisa Ia lihat hanya punggung Putra. Karena Putra tak menoleh ke belakang lagi.
Rey menjatuhkan tubuhnya lemas, Ia terduduk di kursi pojokan menunggu Devan kembali. Rey terlihat tenang, tak ada air mata di pelupuknya. “Hey manis, Kamu baik-baik saja?” Tanya Devan dengan mata berbinar, berharap kehadirannya bisa sedikit menenangkannya. Rey masih bisa tersenyum dan ia menjawab “Iya, Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir ya” “Iyalah, Masa nangis sih? Malu ih” Air mata yang sedari tadi hanya tertahan di bola matanya perlahan menghilang dengan candaan kecil Devan. “Aku sudah menduga jika hari ini akan datang dan pasti akan seperti ini” “Hhhm, tahu dari mana?” “Idih, lupa ya? Kapan hari kan Aku pernah bilang, Aku itu bisa melihat semua tentang Kamu!” “Idih, mulai deh” “Emang iya” Rey tertawa, Devan tertawa. Sejenak Mereka tertawa, melepas beban yang masing-masing Mereka bawa. Bersama senja sore itu Rey mulai mencari jalan pulang dengan kelapangan hati dengan dibantu genggaman tangan Devan.
Sore itu dengan senja yang menjadi saksi, satu hati dengan kelapangan hati menuju jalan pulang setelah sekian waktu tersesat. Hari ini yang Reynatha tunggu. Reynatha melepas Putra dengan hati yang sudah ikhlas. Dan Devan masih mencoba di terima dan menerima kehadiran partner senjanya itu.
Cerpen Karangan: Putri El Es Facebook: Putri.cr7[-at-]gmail.com