“Sudah cukup, sekarang kau boleh pergi” dengan berbalik arah, Linggar berkata lembut. “Tapi mengapa? Ini adalah kesalahan, dan tiap kesalahan pasti ada cara pembenarannya” Indah menyela. “Kesalahan akan muncul ketika ada sebuah sebab yang berakibat, dan manusia adalah sebab tetapi bukan sebab yang mutlak! Dari mana aku bisa mempercayaimu setelah sekian kali kau buktikan bahwa kau tak bisa mengeksklusifkan diri, demi aku!” Katamu Indah pun terdiam, matanya mulai berkaca-kaca dan mulai menggerakkan jemarinya memeluk Linggar dari arah belakang. Dan melinang buih airmatanya, “Maafkan diriku, Linggar. Aku memang tak mampu menjadi apa yang kau mau, tapi aku sudah mendaya-upayakan segalanya, untukmu! Iya, untukmu. Tapi kalau memang kebahagiaan bagimu untuk mempersilahkan aku pergi, maka aku akan pergi pun dengan kebahagiaan yang sama” Merekat lekat dekapannya pada Linggar. Linggar juga terdiam dan melangkah menjauh sembari melepas ikatan-ikatan jemari Indah yang mendekapnya. Dia mulai merogoh kantong saku bajunya dan mengeluarkan cincin yang dahulu selalu tersemat di jari manisnya. Lalu melempar ke samping Indah, “Lihatlah! Andaikata kau memilih cincin itu tetapi kau hanya diperbolehkan mengambilnya dengan mata tertutup, maka ada berapa kemungkinan kau akan berhasil mendapatkannya?” Tanya Linggar dengan badan tetap berbalik dari arah tangis Indah yang kian berisak “Ribuan kerikil berbanding satu cincin, terlalu banyak kemungkinan gagal dan hanya satu kebenaran” “Andaikata kau berhasil mendapatkannya, kau beresiko selalu menjaganya dari karat dan apabila kau mendapat kerikil hanya perlu dibiarkan begitu saja” “Aku tetap memilih cincin, karena itu berharga” “Meski kau tau betapa sulit menjaga cincin tetap mengkilap daripada kerikil yang sedari awal memang telah pekat?” Desak Linggar. “Iya Linggar… Iyaa… Cepat pakailah” Indah tak berterima cincin mereka terlalu lama tergeletak di antara kerikil dan segera merebut lengan Linggar dan memasangkan pada jari manisnya.
Linggar pun pasrah, dan segera berbalik arah kembali ke hadapan Indah. Menatap bola matanya dan mulai mengusap ngarai kesedihan yang menganak sungai di pipinya, kemudian memeluknya, dalam-dalam. Indah pun perlahan terdiam dari isak yang tak berkesudahan, tetapi tiba-tiba Linggar menghempaskan Indah dari pelukannya dan terjatuh. “Ahh, Linggar! Ada apa lagi?” Indah kaget, sakit dan kembali menangis “Kau kaget dengan satu hempasanku daripada lamanya pelukan itu?” Linggar berkata sembari mengusap air mata yang sedari tadi ditahannya “Seberapa lama kau memelukku adalah seberapa lama kau mencintaku, namun sekali hempasanmu adalah kutukan bagiku, menyakitkan tak berujung waktu” Tangisnya menjelaskan “Betapa bijaknya kau setelah kuhempaskan, sayang. Begitu pun aku dan cincin ini! Kau bisa mendapatkan cincin ini tapi kau harus menerima konsekuensinya, pun kau memilih tubuhku sebagai kubur derita dan tangismu juga ada konsekuensi, dan aku memintamu untuk tidak bermain cincin lain di belakangku dan tak bermain tubuh, meski hanya main-main bukan? Apa bagimu kurang jelas?” Mulai menada tinggi dan menunjuk ke arah Indah.
Burung-burung bersiul menjauh dari ketegangan yang telah merangsak hinggap di antara ranting-ranting pepohonan. Mereka terdiam. Dan tiba-tiba dari arah belakang Linggar, muncul sesosok pria bersandar di mobil berwarna putih variasi biru, lalu berteriak “Indaah!!” Sontak, Indah dan Linggar pun mengarahkan pandangan pada pria tak dikenal itu. Kemudian, dengan segera Linggar berlari menuju pria tersebut dan Indah pun mengikuti arah lari Linggar dan mencegahnya berbuat macam-macam. Benar saja, Linggar langsung menatap pekat pria itu dan menggenggam erat kerah kemejanya, “Mengapa kau kemari, pria jal*ng!” “Sudah Linggar, biarkaaan!” teriak Indah “hahaha… Tenang, kawan. Aku hanya ingin bertanya pada kekasihmu, sabarlah!” katanya tenang sambil menjauhkan tangan Linggar dari kemejanya. “Baiklah, apa maumu? Segera bicarakan dan enyahlah dari pandanganku!” Linggar mengecam dan sedikit menjauh membelakanginya. “Hai Linggar, hadaplah kemari! Dan kau Indah hadaplah pada kami berdua di sini! Andaikata kau memilih, dengan sebenar-benarnya pilihan. Kau pilih pria dengan kemeja rapi bermobil ini atau kau akan memilih dia yang hanya berkaos murahan dan bermotor itu?” Tanya pria itu dengan tetap pada posisinya bersandar pada mobil mewahnya. “Aku memilih bukan dari materi, aku memilih karena hati. Dan hatiku memilih pria berkaos itu, meski pria berkemeja itu terlihat lebih elegan. Karena aku percaya, kesederhanaan adalah kebahagiaan yang abadi” “Hatimu adalah ruh dari cinta itu, sedang materi hanyalah bungkus dari rasa kagum yang ada. Maka apabila kau melirikku karena materi dan bukan hati, maka kau sedang mengagumi, bukan mencintai kan?” “Benar” Jawab Indah singkat. “Pahamilah itu juga, kawan. Aku adalah seorang model, bisa dikata artis yang pasti bermateri, berbeda dengan profesi muliamu itu. Aku dan Indah adalah kawan semasa SMA. Kini kita memang sedang berhubungan, bisa dikata nostalgia, namun sebatas kawan. Dan obrolan itu semakin panjang karena jiwanya adalah jiwa model, dan aku telah terlibat lebih dulu di dunia yang disenanginya, maka salahkah dia mengagumiku? Sebagai kawan yang dikata sukses dengan hal yang sesuai dengan keinginannya itu, bedakan rasa kagum dan cinta, kawan. Pahamilah Indah sebagai orang yang harus kau jaga atas dasar cinta dengan memberinya ruang sebagaimana manusia biasa tanpa mengubah hatinya.” Linggar pun mengalihkan pandangan dan mulai memikirkan dalam-dalam perkataan pria itu. Indah tertunduk, dan tak lama kemudian pria itu beranjak dan masuk mobilnya kemudian pergi. “Berbaiklah pada dunia, dan dunia akan memperbaiki semuanya. Semoga bahagia, kawan” teriak pria tersebut dari dalam mobil sembari mengayunkan tangan ke luar kaca mobilnya.
Keheningan kembali tergenang selepas kejadian itu, perlahan Linggar pun melangkah ke arah Indah dan membantunya untuk berdiri, Indah pun hanya bisa menurut dan tetap diam. Linggar pun mengajak Indah ke arah ayunan di pohon rindang dan mempersilahkan Indah untuk duduk dan Linggar mengayunkannya perlahan. “Semakin cepat ayunan ini diayunkan, arah angin pun akan semakin cepat menghempas. Disitulah kemungkinan terjatuh akan semakin besar, dan kita tau hal itu. Meski begitu kita akan tetap menghempaskan ayunan ini semakin kencang karena dengan begitu kebahagiaan tawa akan riang. Maka bagaimana aku harus menghentikan? Apabila aku tetap ingin tawa itu tersemat di ujung ayunan?” “Maka, jangan hentikan ayunan itu” jawab singkat Indah. “Apabila terjatuh?” “Bukankah konsekuensimu untuk membangunkannya, lagi?” “Tapi aku tak mau ada luka yang membekas, Lalu bagaimana?” “Hidup memang selalu atas dua pilihan. Baik atau buruk, hitam atau putih, tetapi apabila kau biarkan sebuah cincin tak dikenakan atas dasar kau tak ingin ia ternoda, bukankah ia akan berkarat pula? Lalu?” “Aku akan mengenakan cincin itu sebagai pembuktian sebuah ikatan, dan segala sesuatu pasti mempunyai masa bertahan dan akhirnya akan berkarat jua. Jadi aku tak boleh membiarkan apa yang aku miliki kumiliki sepenuhnya karena dia punya kehendak sebagai manusia biasa.” Simpulan akhir Linggar yang mulai menyimpul senyuman di pipinya.
Kemudian keduanya melanjutkan bermain ayunan, dan masing-masing hatinya mulai lega dengan akhir yang begitu menentramkan. Linggar memahami overprotektif adalah hal yang semestinya dibenahi, pun dengan Indah harus lebih mengeksklusifkan diri, karena hakikatnya ada dua hati yang sedang dilesapkan dalam jiwanya dan memiliki beda rasa. Cinta dan Cemburu. Bijak berlaku dan menyikapi segala sesuatu agar dua hati ini tak beradu dan tetap padu dalam satu simpul yang menyatu.
Cerpen Karangan: Zarkasyi Abulhauly Facebook: Zarkasyi PQ Ufakarsyah Sembilan belas tahun. Asal Jombang, tinggal kini di Yogyakarta, Masjid Jami’ Al-Inayah, jl. Iromejan GK III/785 RT/RW 35/09 Sleman. Beralamat email : mohammad.fikri.z[-at-]mail.ugm.ac.id Narahubung 0856-5576-5817 “Menjadi Hebat Jangan Menanti Disemat”