Alamat terlambat. Pandu sialan! Motor saja boleh terlihat gagah berani, merah mengkilap. Baru berjalan beberapa ratus meter, sudah mogok di tengah jalan sepi antah berantah. Lagi-lagi aku menjadi jasa dorong motor sampai depan bengkel terdekat. Tidak menurutku. Bengkel dengan jarak satu kilometer cukup membuatku kehilangan pernapasan di pagi-pagi buta yang terlihat indah dan cerah di belahan langit timur.
“Pan, tungguin!” napasku sudah berada di ujung tanduk. Aku tersengal. Lututku terasa mau copot hanya karena tidak mampu mengimbangi langkah kaki Pandu notabene seorang remaja laki-laki yang penuh semangat kaula muda. Dan bayangkan, aku adalah wanita. Ini tidak bisa disamakan. “Lemot banget, sih! Kita terlambat nih!” gerutunya gamblang. Kepalanya diarahkan melirikku disertai lipatan tangan depan dada. Sungguh membuatku muak. Tidak tahu diri! “Gue capek, dodol! Semua ini gara-gara loe, tau! Motor boleh berbody bagus, tapi dalemnya odong-odong. Selalu gue yang jadi korban kebrengsekan si motor dan juga pemiliknya!” “Haishh…, ayo, jangan banyak ngebusa itu mulut. Dimarahin Pa Hartanto baru nyaho!” Mencekal lenganku, Pandu menyeretku dengan langkah cepat. Pergelangan tanganku terasa sakit kemerahan. Ia seakan tak peduli aku merintih. “Pandu! Kaki gue, jangan kenceng-kenceng jalannya” “PANDUUU!”
Sorak sorai penonton dilengkapi cuaca terik seakan menambah intensitas para pemain basket yang sedang bertanding di lapangan. Aku lebih memilih duduk di bawah atap kelas yang teduh. Aku hanya mendesis ketika melihat sebagian besar kaum wanita yang berteriak dengan gaya yang sungguh alaynya, memberikan semangat kepada para pemain. Bagiku semua itu sangat merendahkan martabat wanita. Semua anak basket semakin tinggi hati saja.
“Bila, kok nontonnya di sini? Ayo ke sana!” Ochi menyeretku ke arah pembatas lapang. Aku mencoba melepaskan tanganya. “Lepasin, Chi! Panas tau! Mending nontonnya di sana aja!” tunjuku ke arah koridor kelas. Kulihat Ochi menggelengkan kepalanya, malah mempererat pegangan tangan kami. Mau aku memelas bagaimana pun, Ochi tak akan menggubris saranku. Tidak Pandu juga tidak Ochi, kedua sahabatku memang keras kepala. Alhasil aku hanya pasrah duduk di atas dinding pendek. Membiarkan kulit putihku terkena terik matahari.
Kulihat pandu mendrible bola dengan gaya khasnya. Angga, lawan mainnya tak ingin kalah, mulai merebut bola dari tangan Pandu. Aku mulai merasa was-was juga melihat kilatan singa dan macan di mata mereka. Pandu masih terus mendrible bola menggunakan trik pengecoh. Angga tak tinggal diam. Direbutnya bola itu dengan sedikit menyikut dada Pandu. Sayangnya wasit tak jeli melihat kecurangan yang terjadi. Rasanya aku ingin meneriakinya. Suaraku tenggelam. Malu rasanya jika aku harus alay seperti wanita-wanita lain. Tidak mungkin aku mengambil air ludahku yang sudah dilepehin begitu saja.
Angga terbakar api semangat. Tinggal tunggu hangusnya saja. Hatiku ikut berdoa agar bola itu tidak sampai masuk ring. Dewi fortuna sepertinya berpihak. Kulihat pandu melakukan jumping power. Dirinya berhasil menahan shooting dari Angga. Tanpa sadar aku berteriak histeris melihatnya. Pandu memandangku dihiasi senyum tengil sekilas, sebelum kembali melanjutkan permainannya. Kenapa juga jantungku berpacu begitu cepat. Perasaan senang dan bahagia terasa menggelikan dalam perutku. Geli sekali rasanya. Ah, Pandu. Si tengil menyebalkan.
“Aaaaaa…, wohoooo!” Tanpaku sadari, Pandu melakukan shooting dan bolanya berhasil masuk ring. Riuh gemuruh suara penonton terasa masuk semua ke dalam telingaku. Tak peduli lagi. Aku pun ikut berteriak atas kemenangan yang diperoleh tim basket Pandu di detik akhir pertandingan.
“Lihat deh Bil, Pandu keren banget! Cocok banget jadi leader tim basket. Dan cocok juga jadi idola cewek-cewek,” tutur Ochi antusias. Aku hanya tersenyum singkat. Hmm…, aku tahu betul, Ochi menyukai Pandu. Sangat.
“Panduuu, Sini!” teriak ochi ketika melihat Pandu yang baru saja keluar dari lapangan basket. Tak dihiraukannya cewek-cewek yang memandanginya kagum. Pandu fokus melihat aku dan Ochi. Ini adalah salah satu sifat yang aku kagumi dari dirinya. Dia bukan sosok cowok player atau badboy. Meskipun dia sedikit sombong. “Keren kan gue tadi,” kagumnya penuh percaya diri. Aku hanya berekspresi ingin muntah mendengarnya. Berbeda dengan Ochi yang mengiyakan dengan antusias. “Loe keren pake banget, Pan!” balas Ochi. Sedangkan Pandu hanya mengibaskan kaos timnya dengan angkuh. Tambah aku ingin muntah kereta saja melihatnya. Pandu melirikku di tengah aksi sombongnya. “Eh Bil, beliin minum dong! Haus nih, gue!” perintahnya kepadaku. Aku hanya mencebikan bibir tanpa berkata-kata. Tapi tak urung melangkahkan kaki menuju kantin.
Sebotol minuman segar telah kubeli. Aku tahu Pandu sangat senang dengan minuman dingin rasa jeruk. Dia pasti sangat suka. Langkah kakiku terhenti. Sekilas kulirik Pandu dan Ochi sedang asyik bercanda. Mereka terlihat intim. Tangan pandu terulur mencubit pipi Ochi mesra. Rasanya sedikit menyesakan. Jika harus diingat kembali, ia tak pernah menyuruh Ochi membeli minuman. Selalu aku yang disuruh. Bukan hanya itu, Pandu selalu menyuruhku membawakan bola basketnya, menyuruh mendorong motornya, menyuruh mengerjakan PR, dan masih banyak lagi. Tapi entah kenapa, aku selalu merasa tidak keberatan melakukan itu semua. Justru aku selalu senang meskipun tidak pernah sesuai dengan ucapanku terhadapnya. Perasaan macam apa ini? Kenapa aku seperti iri dengan Ochi. Cemburu? Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Mereka berdua adalah sahabatku. Lagipula, Ochi meyukainya. Iya, sangat.
“Nih!” kataku sambil mengulurkan sebotol minuman segar. Pandu menghentikan aktivitas bercandanya. Dia balik menjahiliku. “Pegel Pandu! Buruan ambil, ih!” bentaku setengah kesal. Dirinya mempermainkanku dengan tidak mengambil botol yang kuulurkan. “Bukain,” nadanya sungguh manja. Pandu begitu lucu dengan ekspresi wajahnya yang merengek seperti anak kecil minta dikasih permen. Sepertinya Ochi tak suka melihatnya. Matanya seolah menyiratkan rasa cemburu. aku sangat menyayangkan kasus seperti ini. Cinta di tengah persahabatan. Dan sialnya, itu terjadi menimpaku. “Buka sendiri. Kamu masih punya tangan, jadi pergunakanlah!” Kuletakan kasar minuman itu di sampingnya. Lebih baik aku pergi ke kelas saja. Pandu hendak mengejarku, tapi Ochi mencekal lengannya agar tetap berada di sana. Tak menyurutkanku untuk tidak kembali lagi ke tempat mereka. Malah mempercepat langkahku yang terkesan panjang.
Akhir-akhir ini memang Ochi selalu memberikan garis pembatas antara aku dan Pandu sesaat setelah dirinya curhat tentang perasaan terdalamnya itu. Ochi mulai menyukai Pandu, sahabatnya sendiri, sahabatku juga. Sempat aku merasakan kecewa. Apa aku menyukai Pandu juga? Kalau pun iya, bukankah aku harus tetap memendamnya. Iya atau pun tidak, untukku sama saja.
Kuhempaskan tubuhku di kursi kelas. Kubenamkan wajahku dalam tangan yang terlipat di atas meja. Ada rasa sesak menjalar dalam hatiku saat ini. Akhir-akhir ini, perasaanku selalu saja bercampur aduk. Rasa gelisah, takut dan sebagainya terasa menghantui. Aku takut berlama-lama dengan perasaanku yang seperti ini. Tidak jelas titik temunya.
Saat aku masih bersitegang dengan hatiku sendiri, sekilas aku mencium harum parfum yang khas tepat di sisi kiri. Tidak salah lagi, baunya bercampur dengan khas keringat. Sedikit kutolehkan kepala. Tepat! Aku terperanjat kaget saat menoleh ternyata Pandu sedang memandangku dengan jarak sedekat itu. “Kenapa tadi pergi, hmm?” ujarnya masih memandang sorot mataku. Lama-lama aku melumpuh. “Mau tau aja. Kenapa emangnya?” dengan segala keberanian, kutodongakan kepalaku tepat di depannya. Tapi dia tak menghindar malah sorot matanya semakin ganas dan tajam memandangku. Akhirnya aku yang menyerah dan sedikit mundur. Dia tak pernah memandangku sampai seserius itu. Nyaliku benar-benar menciut. “Lo…, loe kenapa?” tanyaku terbata melihat tingkahnya yang mendadak dingin dan aneh. “Hanya ingin mencari sesuatu di dalam mata loe, Bil,” jawabnya. Aku hanya mengerutkan dahi, bingung. “Mata gue? Memangnya mau nyari apa di mata gue?” “Tidak. Lupakan aja. Loe gak akan tahu dan mengerti. Ada saatnya deh! Hm…, bentar lagi bel, nih, ya? Gue ganti baju dulu,” serunya sambil beranjak dari kursinya. Kulirik punggung Pandu sekilas. Ia terlihat aneh barusan. Ganjal. Aku masih saja memikirkan perkataannya. Mencari sesuatu? Di mataku?
Sudah menjadi rutinitasku setiap mulainya pagi, lengkap dengan seragam yang sudah terpakai rapi di tubuhku. Aku senang duduk di balkon yang terhubung dengan kamarku. Menikmati sejuknya hawa embun sisa semalam. Di satu sisi, aku pun memiliki tujuan lain. Rumah klasik berwarna khas kayu selalu menjadi kegemaran lensa mataku. Tujuh meter dari sisi kanan rumah, di sanalah tepatnya rumah pandu berada. Sejak kecil, kami memang sudah saling kenal. Ya, hanya saling kenal tanpa tegur sapa apalagi saling lempar canda.
Dulu sekali kami masih sama-sama canggung. Awal mulanya terjalin persahabatan hingga awet sampai saat ini hanya karena sebuah tali sepatu. Saat itu, Pandu menegurku untuk menalikan tali sepatu. Pada akhirnya dia menungguku yang sedang menalikan tali sepatu dan berangkat ke sekolah bersama untuk yang pertama kalinya. kalau tidak salah, saat kami masih duduk di bangku SD kelas empat.
“JANGAN DIPANDANG TERUS! GUE TAU, GUE GANTENG! RUMAH GUE BAGUS! AYO BERANGKAT!” aku terperanjat kaget dengan teriakan Pandu di atas balkon rumahnya. Terlalu tenggelam dalam lamunan, tanpa kusadari dia memandangku sejak tadi. Pipiku terasa panas dan memerah. Pasti Pandu akan berpikiran yang tidak-tidak. “SIAPA YANG MANDANG? GUE CUMAN MELAMUN! LOE BERANGKAT SENDIRI AJA, GUE KAPOK!” teriaku kencang dihantar angin pagi yang berhembus sejuk. Kulihat pandu tak mengindahkan teriaku, lebih memilih masuk ke dalam kamarnya. Apa dia marah? Perkataanku terlalu menyinggung? Sekelebat rasa khawatir mengusik ketenangan pikiranku.
Lima menit sudah tidak ada tanda-tanda munculnya Pandu di balkon kamarnya. Kuraih Hp di dalam saku seragamku, lalu kutekan angka satu yang akan terhubung otomatis dengan…, “Tugas loe bawa bola basket gue tiap sekolah! Jangan berani kabur!” “Pandu? Loe?” diluar dugaan, Pandu berada di dekat pintu kamarku. Napasnya tidak beraturan sambil memegang perutnya mengaduh sakit. “Cuman mastiin aja kalau loe gak kabur ninggalin gue. Pokoknya loe harus berangkat sama gue!” Kutengadahkan wajahku. “Kalau gue gak mau?” “Ya harus mau. Pilihannya cuman dua, antara ya dan ok,” tukasnya. Aku hanya mencibir mendengar celotehnya. “Itu bukan pilihan, tapi paksaan!” Aku hanya bisa mengembuskan napas terberat. “Baiklah, mau atau gak mau juga, loe bakalan memaksakan kehendak. Ya udah buruan, entar telat lagi kaya kemarin!” ajakku sambil melenggang pergi melewati di mana pandu bersandar dekat pintu. Kudengar helaan napasnya sebelum derap langkah kakinya mengikutiku.
“Pokoknya gue gak mau loe berangkat lagi sama Pandu! Jujur aja, gue cemburu, loe deket-deket sama dia. Dan lihat, seantero sekolah ngira kalau loe itu pacaran, Nabila!” “Chi, gue gak ada apa-apa sama dia. Loe tau sendiri kalau gue tetanggan sama Pandu. Lagian gue sama dia jelas statusnya, cuman sahabatan, gak lebih.” Entah kenapa hatiku merasakan perih dan tertatih ketika mengucapkan seberondong pernyataan tadi. Aku sama sekali tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. “Loe bener, kan, gak menyukai pandu, Bil? Meskipun hanya seujung kuku?”
BLAM Pertanyaan Ochi berhasil membuatku seperti patung. Denyut nadiku terasa berhenti. Hatiku pun ikut sulit tuk menjawab. Haruskah aku berbohong pada Ochi tentang perasaanku? Iya. Tidak ada pilihan. “Mm. Tentu. Pandu sahabat gue dari kecil. Gak mungkin lah gue suka sama dia,” ujarku dengan nada yang nyaris hilang. Cairan bening menggenang dalam pelupuk mataku. Sekilas kulihat Ochi hanya mengembuskan napas leganya. “Gue percaya sama loe, Bil. Loe gak mungkin khianatin gue, kan? Loe sahabat terbaik gue. Maafin gue karena pertanyaan tadi menyinggung perasaan loe.” “Loe sahabat terbaik gue juga, Chi. Gue juga minta maaf.” Tangannya tertarik merangkulku. Aku membalas rangkulannya. Dibaliknya, aku hanya bisa tersenyum miris. Mataku kembali memanas disertai pandangan yang sedikit kabur. Tetaplah tersenyum. Dorongan semangat yang berasal dari dalam hatiku. Jangan biarkan tetes demi tetes air mataku meleleh dan terbuang percuma seperti ini. Segera kuusap kasar air mataku dengan punggung tangan. Kupererat pelukan Ochi.
“Wey! Gue jadi takut. Kalian aslinya lesbong, ya?” Aku dan Ochi terperanjat kaget mendapati Pandu memandang kami penuh selidik. Laki-laki yang membuatku nyaris putus asa, datang di waktu yang tidak tepat. Segera aku dan Ochi melepaskan pelukan itu. “Enak aja. Kita…, kita lagi seneng. Iya kan, Bil? Ulangan kita paling tinggi?” dustanya menatapku mengharapkan anggukan setuju. “Iya itu bener,” kataku ragu. Tapi syukurlah, kulihat Pandu mengangguk paham tanpa terlihat menaruh curiga. “Ke kantin, yuk? Laper nih!” Pandu memelas manja. Tangannya mengusap-usap perutnya yang terlihat rata. Aku dan Ochi mengangguk serempak.
Kami bertiga berada di taman sejuk dan sepi. Senja hampir menjelang, menampakan langit jiga yang masih terlihat samar. Aku terpana dengan penampilan Pandu sore ini. Kaus lengan pendek dengan warna membumi cocok di badan atletisnya yang putih. Rambutnya sedikit basah, dan harum shampo menyeruak terbawa semilir angin yang berembus. Ia tampak lebih tampan tanpa baju seragam putih abu. “Tumben banget sih, loe ngajak kita ke taman, Pan?” kataku memberengut. “Udah deh ikutin maunya gue. Ada sesuatu yang ingin gue lakuin. Jangan banyak tanya. Kalian berdua bakalan tahu!” “Iya, Nabila. Gue aja gak banyak protes!” kali ini Ochi menimpali. Kulihat ia berada di pihak Pandu untuk meyudutkanku. Mau tak mau aku pun diam dan terus berjalan.
Aku dan Ochi menatap takjub. Pandu tersenyum tersirat penuh arti. Kami berdiri di taman dekat kolam ikan yang di tata sedemikian indah. Bunga-bunga yang beragam tersemat di dinding pagar taman. Mawar merah dan mawar putih berderet rapi membentuk lingkaran. Aku hanyut, terbawa suasana cerita dalam dongeng.
“Indah bukan?” Pandu tersenyum simpul. “Sangat indah, sampai gue ngerasa speechless,” Ochi menimpali. Aku hanya ikut tersenyum. Kagum. “Jadi dari tadi ini yang ingin loe tunjukan, Pan?” “Bukan Chi. Ada yang pengin gue ungkapin di sini. Sesuatu yang selalu mengganjal di hati gue dari dulu. Sebenernya gue…, gue…, suka sama loe, Nabila Harera!”
Deg. Aku mematung, tubuhku membeku. Kulihat Ochi menahan kilatan marah penuh kepedihan. Terlihat kontras di kedua bola matanya yang bulat beriris hitam. Aku memaksakan untuk tertawa mengejek. “Gak lucu, Pandu. Loe becandanya garing banget sih!” “Terlihat aku sedang bercanda, Bil? Apa terlihat ada sebuah kebohongan di mata gue ini?” ucapnya sendu dan lirih. Tanpa sadar, Pandu telah menggenggam hangat tanganku. Ini tidak seharusnya terjadi. Ochi yang selama ini menunggui momen ini dalam curhatnya. Sahabatku sendiri, tak mungkin kulukai. Aku mencintainya, tapi tak bisa memilikinya. Membiarkan rasa ini terkubur dalam dan harus ku enyahkan meskipun terasa sulit.
“Maaf, Pan. Aku nggak bisa. Kita hanya sebatas teman dan gak akan pernah lebih dari itu!” Kulepaskan pegangan tangannya. Kucepatkan langkah kaki yang terasa berat membekap. Langkahku seakan terseok menahan bobot tubuh yang tak seimbang. Bukan. Ribuan batu terasa menghimpitku. Hatiku kembali sesak. Mataku mulai basah. Genangan air di kelopak mataku telah tumpah. Kutinggalkan Ochi dan Pandu yang masih diam mematung. Kulirik sekilas siluet tubuh Pandu yang melayu, tertunduk, dalam jauh. Hatiku teriris. Namun aku terus berjalan ke mana pun tanpa tujuan, sampai aku benar-benar lelah.
Matahari perlahan ditelan oleh batas laut. Malam pun menyapa. Formasi bintang di angkasa mulai nampak. Kenangan itu kembali terkuak. Pandu sejak tadi berada di depan pintu rumahku. Angin malam yang dingin menancap tak dihiraukannya. Ia tetap diam membeku dengan tangan menggenggam sebuket mawar putih kesukaanku. “Sampai kapan loe di sini, hah!” ucapku terdengar kasar. Tidak ada cara lain untuk mengusirnya dari rumahku. Aku terpaksa melakukan ini demi utuhnya persahabatanku dengan Ochi dan dirinya. “Sampai loe nerima gue dan mawar ini!” “Berapa ratus kali lagi gue harus bilang kalau gue gak bisa nerima loe! Gue nggak ada cinta sama loe. Loe itu cuman sahabat bagi gue. Please, loe jangan paksain perasaan gue buat nerima loe! Pulanglah. Ini sudah malam.” “Nggak! Gue bakal tetep di sini sampai loe nerima gue. Delapan tahun, Bil. Delapan tahun gue pendam rasa ini. Gue gak mau sia-siain perjuangan gue selama ini buat bersama, sama loe. Bukan sebagai sahabat tapi sebagai pasangan seumur hidup, loe. Kasih gue satu kesempatan buat bikin loe juga ngerasain hal yang sama kayak gue, Bil. Gue bener-bener mencintai loe. Hanya loe yang ada di dalam hati gue tujuh tahun ini. Gue sayang sama, loe. Dan loe tahu, Bil, gue selalu menjeput loe ke sekolah karena gue gak mau loe sampai dijemput cowok lain. Gue selalu nyuruh loe beliin gue makanan karena gue ingin disangka orang-orang bahwa loe itu pacar gue. Yang gue mau cuman loe yang temani gue setiap hari. Tolong jujur sama gue bahwa loe juga ngerasain hal yang sama sama gue. Loe cinta dan loe sayang sama gue lebih dari teman. Tapi kenapa loe nolak gue? Apa jangan-jangan karena Ochi? Tolong jujur sama gue!” Pandu menatapku dalam dengan matanya yang memerah dan berair pilu. Deraian mataku telah tumpah kembali. Aku terduduk lemas mendengar penuturannya yang terlihat dari dalam hati yang paling dalam. Kepalaku terasa berdenyut nyeri. Aku tak ingin mengorbankan persahabatanku demi perasaanku sendiri. Aku telah berjanji pada Ochi. Jauh sejak Pandu menembaku.
“Persahabatan kita lebih penting. Loe tahu Ochi juga sangat mencintai, loe! Dan lebih dari itu, maaf…, gue gak bisa nerima cinta loe. Sampai kapanpun loe cuman sahabat gue. Gak lebih. Sampai kapanpun. Sampai aku mati!” kataku tegas. Pilu. Kulihat Pandu menatapku nanar, tersembunyi dalam seyum pedihnya. Aku tak tahu kenapa aku seegois ini. Namun inilah janjiku yang mungkin telah sampai pada langit.
“Loe mentingin perasaan orang lain tapi loe nggak pentingin perasaan loe dan orang yang sangat mencintai loe. Ple…” “Cukup! Sampai kapanpun di dunia ini, kita gak akan bisa bersama menjadi pasangan. Demi apapun itu gak akan terjadi. Kita hanya teman. TEMAN! Mengerti?” ucapku menebas perkataannya dengan intonasi tinggi. Dia tertawa sarkas lalu berubah layu. “Baiklah. Baiklah, Bil. Aku menyerah. Loe menghancurkan perasaan gue. Loe menghancurkan mimpi-mimpi gue buat bersama loe. menikah, punya anak, dan hidup bahagia. Kandas. Impian itu nggak akan bisa gue raih. Gue akan pergi. Selamat tinggal!” “Maafin gue. Kita berteman saja.” Kali ini suaraku melemah. Raga dan jiwaku pun ikut melemah. Pandu meringis pelan dengan mata yang sudah merah dan basah. Dia berbalik meninggalkanku. Ditembusnya rintik hujan yang sejak tadi mengguyur bumi. Langkahnya timpang. Menunduk dalam.
Rasa gelisah menyeruak dalam rongga dadaku. Tiba-tiba dari arah belakangnya, sebuah mobil Avanza melaju dengan kencang. Pandu masih menunduk dalam tak menghiraukan. “PANDU, AWASSS!” Aku berteriak histeris dan berlari kencang. Naas. Aku terlambat. Tubuh Pandu terpental jauh.
Langkahku menjadi ringan nyaris melayang di atas tanah. Bumi seakan runtuh menghimpitku. Sekujur tubuhnya bersimbah darah, matanya lebam membiru, telinganya banyak meneteskan darah. Napasnya telah berhenti. Jerit tangisku semakin tak terbendung sambil kudekap tubuhnya yang lemah.
Di bawah guyuran hujan, kuratapi malam kelam dan suram. Selayaknya hatiku yang menangis pilu. “Baiklah. Mari pergi mencari kebahagiaan. Bukan di sini. Kita akan bersama di dunia yang fana.” Aku tersenyum pahit mendekap wajahnya.
Sebuah sorot lampu mobil menyilaukan mataku. Aku hanya diam tak menghiraukan seperti yang dilakukannya beberapa menit yang lalu. Tak lama, duniaku menjadi gelap gulita, bersamaan dengan akhir kisahku yang telah usai.
Cerpen Karangan: Fitri Aisyah Facebook: Fitri Aisyah Asyahla