“Saya terima nikah dan kawinnya Naniya Asya binti Raysan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai…” “Sah?” “Saahh!!” “Sah?” “Saahh!!” “Alhamdulillah hirabbil’alamin…” Seruan lega terdengar dari seluruh penjuru ruangan, tampak para orangtua dibarisan depan ada yang menyeka air mata mereka sebagai tanda haru bahagia dan beberapa saling bersalaman dan berpelukan, semua seperti terhanyut dalam hiruk pikuk itu tanpa ada yang memperhatikan sama sekali bahwa tidak ada raut kebahagiaan di wajah kedua mempelai disana. Mempelai pria tampak mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil menerima uluran jabatan tangan dari sana sini, sedang mempelai wanitanya terlihat menunduk dalam, sebutir air mata tampak menetes dari matanya yang terpejam, tidak ada yang tahu apa arti air mata itu, hanya aku sendiri yang tahu persis apa yang dirasakan wanita itu, karena mempelai wanita itu adalah aku, ya… hari itu aku resmi menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang belum aku kenal sebelumnya.
Aku melepas gaun pengantin yang aku pakai di kamar, aku menghela nafas lega karena acara pesta pernikahan yang diadakan keluarga mertuaku selesai juga akhirnya, kaki dan leherku begitu pegal seharian ini berdiri menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang datang, mungkin kalau saja aku menikmati momen ini sebagai pernikahan yang aku dambakan, lelah ini tidak akan aku rasakan. Ya.. mungkin saja begitu, tapi nyatanya pernikahan ini hanya sebuah perjanjian yang hanya aku dan lelaki yang baru saja menjadi suamiku itu lah yang tahu.
Tok.. Tok… Tok… Suara ketukan di pintu menggagetkanku, aku buru-buru membukanya. Tampak Davin berdiri di depan pintu, dia mengerlingkan matanya melihatku sudah memakai baju tidur. “Wuihh… Ada yang sudah siap-siap buat tidur nih kayanya? Loh.. kok sudah keramas? Kan belum mulai,” Ujarnya tersenyum nakal sambil nyelonong masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Aku mengacuhkannya dengan kembali duduk di depan meja rias membelakanginya sambil melanjutkan membereskan baju yang bekas aku pakai. “Ishh.. aku dicuekin istriku sendiri koh, maafin aku istriku, sudah membuatmu menunggu lama. Ahh… Saudara-saudara yang datang memang kurang peka, mengajak pengantin baru ngobrol sampai larut begini,” Aku nyengir kuda mendengarnya dan melirik ke arah Davin, tampak dia sedang memeluk guling dengan memejamkan matanya, sepertinya merasakan nyaman akhirnya bisa rebahan mungkin. “Ganti baju dulu kalau mau tidur,” ujarku. “Sstt… Sstt…,” Aku menengok “Sabar, aku mandi dulu ya,” Davin dengan muka konyolnya mengedip-ngedipkan matanya menatap ke arahku. Aku geli melihatnya dan memilih membuang muka. “Apa sih kamu, vin.. vin…,” “Huaa… bahkan istriku pun sepertinya tidak mau tidur denganku,” Davin memukul-mukulkan bantal ke mukanya sendiri. “Sstttt…!!! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya,” bisikku sambil melotot ke arah Davin,” kamu mau keluarga denger?,” “Hhmm… ya sudah, aku mandi dulu ah kali saja habis mandi kamu jadi tertarik ke aku,” Davin bangun dari tidurnya dan mulai melepas bajunya. “Wait… waittt… kamu mau apa?,” Aku kaget melihatnya. “Ya ganti baju lah,” jawabnya cuek sambil melempar baju bagian atasannya ke kursi. Kali ini aku melotot ke arahnya, “Davinnn, kamu tahu kan peraturan kita?,” “Haloo.. ini kamarku, ini rumahku, kalau kamu tidak mau lihat ya tinggal merem sih,” Gerutunya. “Daviinnn…” Kali ini aku setengah menggeram ke arahnya, “Pasal 8 point 6 ya..,” “Ya salam… pait.. pait.. pait…,” ujarnya sambil masuk ke kamar mandi kesal. Aku tersenyum menang, dasar… apa semua orang kaya seperti ini? Batinku.
Begitulah aku mengenal Davin, seorang anak laki-laki yang hidupnya dihabiskan di luar negeri dan terpaksa kembali ke Indonesia untuk mengurus perusahaan ayahnya, dibayang-bayangi adik-adik tirinya yang siap mengambil alih apabila Davin gagal dan karena alasan itulah aku ada di posisi sekarang. Aku, seorang anak tunggal yang membutuhkan dana besar setiap bulannya karena harus membiayai pengobatan ayahku, yang dengan percaya dirinya mencantumkan Expectation Salary yang tinggi dengan menjual segudang pengalaman kerjaku selama ini sebagai manager, dipertemukan dengan Davin melalui seorang kolegaku hingga terjadilah pernikahan di atas perjanjian antara aku dengan Davin seperti sekarang ini. Berkali-kali aku berdoa semoga Allah tidak menghukumku karena hal ini, semua aku lakukan demi ayahku. Davin butuh tenaga dan pikiranku dan aku membutuhkan uangnya. Mungkin terlalu konyol jika aku menyebutnya “jodoh”? Ya… Karena sebenarnya aku tidak mencari jodoh, hanya menunggu ditemukan dan Davinlah yang menemukanku.
Aku sudah mulai terlelap saat tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menempel di punggungku, aku terkejut melihat Davin yang ternyata sudah selesai mandi meringkuk tidur di sampingku. “Hei…!!! Di perjanjian kita tidak akan tidur seranjang loh ya?,” protesku sambil turun dari tempat tidur. Davin tidak mempedulikanku, malah dia menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dengan gemas aku menarik paksa selimutnya. “Davin!,” “Haiss… ini ranjangku! Kalau tidak mau tidur di sini denganku ya silahkan tidur di sofa, aku ngantukkkk…,” seru Davin mulai kesal. “Tapi aku cewek masa kamu tega…,” “Cewek jadi-jadian iya!,” Davin menongolkan wajahnya dari balik selimutnya, “Aku bosnya di sini weww…,” Dia menjulurkan lidahnya. Aku mendelik kesal sendiri, menjatuhkan badanku ke sofa, dan melemparkan sandal kamar yang aku pakai ke arah Davin, aku lupa bahwa sandal kamar itu begitu entengnya hingga keburu melengos jatuh sebelum sampai ke Davin. “Lihat… bahkan sandal pun tidak mau dekat-dekat denganmu,” Gerutuku, sedang Davin menyeringai puas dari balik selimutnya.
Pagi itu, aku membangunkan Davin karena beberapa kali sudah ada suara ketukan di kamar untuk sarapan pagi, sepertinya dia begitu lelah, dengan mata setengah merem dia menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Aku sendiri sudah mandi dan sudah siap ke luar menyambut obrolan pagi pertamaku dengan anggota keluarga Davin, sambil menunggu Davin, aku kembali menghapal apa-apa saja yang kemungkinan akan ditanya oleh keluarganya mengenai hubunganku dengan Davin, pasti mereka akan menanyakan itu lebih rinci karena mengingat pernikahanku dengan Davin benar-benar mengejutkan mereka, Davin yang tidak pernah mengenalkan pacarnya tiba-tiba saja mengenalkanku sebagai kekasihnya dan langsung minta dinikahkan, mereka sudah pasti shock. Aku sampai memejamkan mataku saat menghafal nama-nama tempat di luar negeri yang menurut skenario Davin kami sudah sering mengunjunginya selama pacaran, aku tidak pernah ke luar negeri dan disuruh mengaku-ngaku seolah sudah sering berpergian ke sana, ini agak sedikit sulit buatku.
Aku terkejut saat kepalaku basah seperti ada yang menyiramku, saat aku membuka mata, Davin sudah di depanku berdiri memegang gelas air minum. “Apa-apaan kamu?!,” Aku mengusap wajahku yang ikut basah. “Setidaknya sebelum keluar kamar, basahilah rambutmu supaya akting kita sebagai pengantin baru lebih sempurna,” “Ya… So what??, aku sudah keramas semalam!,” Kali ini aku bener-bener kesal. “Kita kan pengantin baru, non,” Davin berjalan ke arahku melempar pelan handuk bekas dia pakai, dan berbisik di telingaku, “Ceritanya kan begitu,”
Davin berjalan dengan cuek ke luar kamar, meninggalkan aku yang masih penuh kegondokan sibuk mengelap rambutku, karena semua pasti sudah menungguku. Aku buru-buru menuju meja makan, dan benar saja ayah, ibu dan kedua adik Davin sudah duduk menantiku. “Wah… Pengantin baru nih ya sampai kesiangan bangunnya,” Sapa ibu tiri Davin penuh senyum, namanya ibu Ross, wanita paruh baya itu tampak masih cantik dan lincah. “Maaf ya semua jadi menunggu,” Aku mengangguk meminta maaf ke semua. “Lihat.. Rambutnya saja masih basah mah hahaa…,” Ayah Davin ikutan meledekku. Davin hanya nyengir kecil dan menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. Aku menendang kakinya di bawah meja begitu duduk, pelampiasan kesalku untuk keisengannya tadi. “Iya betul yah, Naniya benar-benar cantik ya biarpun tanpa make up, Bang Davin beruntung” Puji Zian, adik tiri Davin yang paling besar, umurnya sebaya denganku,” Bang Davin memang pintar memilih istri ya,” Aku tersenyum malu, “Bisa saja nih Zian,” “Jangan dibiasakan memuji milik orang lain, Zian. Nanti bisa timbul rasa ingin memilikinya juga seperti yang sudah-sudah,” Suara Davin terdengar asal tapi menyiratkan sesuatu. Sejenak suasana hening, aku sendiri sedikit terkejut dengan reaksi Davin tersebut, tapi Davin malah mulai sibuk menyendok nasi ke piringku.
“Hayoo… makan, bukankah semua sudah pada lapar? Sayang… kamu pimpin doa coba karena ini pertama kalinya kita sarapan bersama,” “Yaa.. itu ide bagus, ayo Naniya yang pimpin doa kali ini,” ujar Ayah Davin seperti mencoba mencairkan suasana kembali. Iisshh… Lagi-lagi aku yang dijadikan tameng. Aku memanyunkan bibirku ke arah Davin sebagai tanda protes, Davin tersenyum sambil mengangkat alisnya. “Jangan bilang kamu enggak bisa doa mau makan loh ya,” ledek Davin, “Malu sama nino tuh,” Nino, adik tiri Davin yang baru berusia 6 tahun antusias melihat ke arahku. “Kak Naniya mau aku ajarin?,” “Hahaa… tidak sayang, kakak bisa kok. Yuk mari berdoa,” Aku tertawa garing sambil mengusap-usap rambut nino dan kemudian memulai memimpin doa. Tidak ada yang banyak bersuara begitu sarapan dimulai, sia-sia aku menghafal nama-nama tempat tadi karena ternyata tidak ada yang bertanya kepadaku, masing-masing asyik dengan makanannya sendiri. Hanya sesekali suara ibu Ross yang menawarkan ada yang mau nambah lauk ini atau itu tidak?. Aku tidak bisa berhenti berpikir, ada apa dengan Davin? Kenapa dia seperti mempunyai kebencian sendiri? Sedangkan di mataku, ibu dan adik-adik tirinya tampaknya normal dan baik-baik saja.
Hari-hari berikutnya, aku sibuk mengajari Davin untuk mengelola perusahaannya, agak sulit memang karena passion dia bukan di dunia bisnis, dia lebih suka ke hal-hal yang berbau seni terutama melukis, tapi entah ketakutan apa yang dipikirkannya hingga dia tidak rela adik-adik tirinya yang mengambil alih perusahaan. Takut miskin? Aku pikir tidak karena Davin sendiri sebenarnya mampu menghidupi dirinya sendiri dari hasil lukisannya, aku mendengar beberapa kali pameran lukisannya di luar negeri selalu sukses. Ada rasa penasaran terselip di benakku, tapi aku tidak pernah menanyakan ke Davin, bagiku itu bukan urusanku, urusanku dengan Davin hanya bekerja dengan baik hingga Davin bisa berdiri sendiri menjalankan perusahaannya. Semakin cepat Davin mencerna semua proses yang aku ajarkan, semakin baik buatku karena semakin cepat juga aku bisa mengakhiri kepura-puraan ini.
Sayangnya, Davin mempunyai sifat yang semau dia. Dia mau bekerja hanya sesuai mood saja, bahkan untuk berangkat pagi ke kantor saja dia tidak mau membiasakan diri. Dia beralasan karena sudah biasa bangun siang, toh menurut dia ada aku yang menyandang jabatan sebagai wakil direktur yang bisa meng-handle semua pekerjaannya, ini yang membuatku lama-kelamaan gerah dengan sikap Davin, karena sudah berjalan 3 bulan tapi untuk presentasi sendiri di depan customer saja dia tidak pernah mau melakukannya, alasannya selalu sama, dia tidak mau melihat customernya kabur karena presentasinya yang jelek. Berkali-kali aku mengingatkan kalau tidak mau mencoba ya kapan bisanya? tapi dia selalu mengacuhkanku, menurutnya kontrak belajar denganku adalah 2 tahun dan dia merasa masih cukup waktu untuk belajar nanti-nanti. Kegiatan rutinnya adalah datang ke kantor 1 jam sebelum makan siang kemudian jam 3 sudah cabut lagi pergi entah ke mana dan pulang ke rumah selalu diatas jam 12 malam, dia seperti tidak betah berlama-lama di rumahnya sendiri kalau bukan untuk tidur. Tapi herannya saat sabtu dan minggu dia betah di rumah kalau aku libur, karena dia seperti punya mainan meledekku sepanjang hari. Kalau begitu terus, lalu kapan dia belajarnya? Aku mulai gemas, karena hidupku memang sekarang serba kecukupan dan ayahku pun mendapat pengobatan yang layak tapi hidup dalam kebohongan itu sama sekali tidak membuatku tenang.
Untuk urusan perusahaan yang berhubungan dengan keputusan-keputusan penting aku selalu menyuruh Davin berdiskusi dengan ayahnya langsung, ayahnya memang memutuskan pensiun sejak Davin mengambil alih mengingat usianya yang sudah tua, saat menemui ayahnya pasti Davin selalu memaksaku untuk melibatkanku, dan benar saja ujung-ujungnya aku yang sibuk bertanya jawab dengan ayahnya Davin, sedang Davin asyik dengan pena dan bukunya seolah-olah menyimak padahal dia menggambar apa saja yang ditangkap matanya saat itu. Sejauh ini keluarga Davin begitu menerimaku, apalagi ayahnya benar-benar mengganggapku seperti anaknya sendiri. Dia sering berkata, sekarang punya anak perempuan dan dia tidak akan setengah-setengah memberikan semuanya termasuk ilmunya dalam dunia bisnis.
Rumah ini selalu sepi saat malam tiba, hampir setiap malam aku tiba di rumah jam 09.00 keatas, ayah dan ibu Ross pasti sudah masuk kamar, Nino juga sudah tidur karena paginya harus sekolah. Aku paling sering ketemu dengan Zian, entah dia bekerja di mana tapi setiap aku pulang dia biasanya masih asyik dengan laptopnya ataupun sedang menonton TV, kami biasanya sekedar saling menyapa saja, aku menghindari mengobrol banyak dengannya mengingat sikap Davin terhadap Zian tempo hari. Tidak ada yang pernah menanyakan Davin kepadaku, mungkin di keluarga ini kebiasaan Davin pulang malam sudah biasa sehingga tidak ada yang merasa perlu dipertanyakan.
Aku sering lembur membawa kerjaan ke rumah, dan setelah yang lain tidur, aku pindah bekerja ke ruang tamu dengan menyalakan TV sebagai teman supaya tidak terlalu sepi sendiri malam-malam, biarpun TV tersebut tidak aku tonton. Dan beberapa kali Zian keluar kamar memergoki aku yang sedang bekerja, kami saling menyapa ala kadarnya, biasanya dia hanya mengambil minum atau makanan dan masuk kembali ke kamarnya. Pernah suatu malam aku ketiduran dengan berkas-berkas yang masih berantakan tapi begitu aku terbangun jam 3 pagi, berkasku sudah tertumpuk rapi seperti ada yang membereskannya, awalnya aku pikir Zian tapi saat aku kembali ke kamar ternyata Davin sudah pulang dan tidur nyenyak di tempat tidurnya.
Malam itu, aku terbangun oleh perutku yang keroncongan, ternyata aku ketiduran dari pulang kerja tadi tanpa sempat mengganti baju. Ya.. Siang tadi memang cukup melelahkan karena Davin memintaku menemaninya meeting dengan klien dari luar negeri, dan berkeliling meninjau pabrik kami. Aku memilih pulang duluan saat Davin mengajak tamunya untuk makan malam, ya pasti mereka lanjut party di club malam yang sudah jadi kebiasaan mereka.
Dengan mata masih sepet karena mengantuk, aku bergegas menuju dapur untuk mencari makanan, ada makanan yang dibekukan di kulkas sama mba minah tapi aku malas untuk menggorengnya karena pasti suara berisik penggorengan akan membangunkan yang lain. Aku putuskan untuk memasak mie instan, sambil menunggu air mendidih aku merebahkan kepalaku di meja makan, dan sejurus kemudian aku sudah tidak ingat apa-apa, aku ketiduran.
Aku terbangun dari tidurku mendengar suara sendok beradu, aku mengucek-ucek mataku dan terlonjak kaget saat melihat Zian sudah duduk di depanku di meja makan, dia tampak melipatkan kedua tangan di dadanya seperti sudah dari tadi mengamatiku. Dia tersenyum saat melihatku terbangun. “Astagaaa… mie kuuuu…” Aku berlari ke arah kompor dengan tergesa karena tersadar sebelumnya aku sedang merebus air. Tapi aku menemukan kompor sudah dalam keadaan mati dan panci yang aku gunakan tadi sudah berada di tempat cucian piring. “Hei… Mie nya sudah masak, ayo makan,” Suara Zian memanggilku. Aku terkejut, iya benar di hadapan dia ada 2 mangkuk mie yang sudah matang. “Wehh.. kamu masakin buat aku?” Aku kembali duduk di depan Zian. ”Aku benar-benar minta maaf karena ketiduran,” “Iya… Lain kali jangan teledor ya, coba kalau pas tidak ada orang, kan bahaya,” Zian tersenyum sambil menyodorkan satu mangkuk mie ke hadapanku. “Iya untung ada kamu, tapi kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?” “Kamu kelihatan lelah banget jadi tidak tega mau bangunin, kebetulan aku juga lapar jadi aku masak sekalian,” “Mau pimpin doa lagi?” Ujar Zian tersenyum meledekku. “Aisshh… berdoa sendiri-sendiri saja, lapaarrr…” Aku segera menyantap mie yang sudah tidak panas lagi. Sambil makan, kami berdua banyak bercerita, mungkin karena kami yang seumuran jadi kami berdua nyambung tentang banyak hal dan kami mempunyai banyak kesamaan, sama-sama hobi membaca dan nonton film.
“Davin sibuk banget ya? Pulangnya malam terus, ke mana memang dia kalau malam-malam begini?” Tanya Zian di tengah-tengah obrolan kami. “Entahlah, aku sendiri tidak tahu,” Jawabku sambil menyeruput teh manis yang baru saja aku bikin. Aku menawarkan diri “Kok tidak tahu, memangnya dia tidak memberi kabar” “Ihh… mana mungkin dia ngasih kabar, memangnya aku siapa?” Jawabku spontan. “Loh kan kamu istrinya? Lucu kamu,” Zian tertawa. Uupss.. sejenak aku segera tersadar. “Ohh.. Emm.. dia ketemu.. eh nemenin bule, iya nemenin member perusahaan yang dari luar negeri, iya… iya… sedang ada bule yang training di sini selama setahun” Aku sedikit gugup saat mendengar kata “istri”, ya.. aku kan di sini istrinya Davin jadi jangan sampai kelihatan bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang dia. “Oh ya? Hmm…,” Zian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memainkan sendok teh di gelasnya. Zian memanyun-manyunkan bibirnya tidak jelas, dengan mata menunduk memperhatikan gelasnya. Entah kenapa aku melihat Zian begitu cute saat dia seperti itu.
“Entahlah… kenapa aku melihatmu lebih seperti karyawannya Davin ya?” “Wehh.. Ma.. Maksud kamu?” Aku terkejut mendengan ucapan Zian. Zian mendongak dan menatapku. Aku gugup dan membuang muka ke arah jam di dinding. Zian tertawa kecil. “Yaa… habis aku lihat kamu isinya hanya bekerja, bekerja dan bekerja kalau di rumah, jarang sekali melihat kalian mesra berdua, kecuali sarapan pagi kalau weekend baru kalian bareng semeja hahaa…” “Iiishh… masa harus ngasih tahu kamu dulu memangnya kalau mau mesra-mesraan,” Kilahku “Sudah ah, gantian cerita kamu coba, aku belum tahu tentang pekerjaanmu apa?” Aku mengalihkan perhatian dengan bertanya balik ke Zian.
Tidak terasa hampir dua jam kami masih asyik mengobrol di ruang makan, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan, Zian beranjak membukakan pintu, ternyata itu Davin. Davin tampak dipapah oleh Pak Endi, satpam rumah, sepertinya dia mabuk berat. Aku segera menyongsongnya. “Mau saya anter ke kamar tidak, non?” Tanya Pak Endi “Tidak usah pak, biar saya saja sini,” Aku meraih tangan Davin ke bahuku, menggantikan Pak Endi. “Baik non, hati-hati… berat,” Ujar Pak Endi, dan dia pun berpamitan. Zian mengunci kembali pintu dan berjalan mendahului aku yang kesusahan dengan badan Davin yang jauh lebih tinggi dariku. Zian seperti tidak peduli dengan Davin, aku perhatikan dari dia membuka pintu, sama sekali dia tidak berkomentar sedikitpun. matanya pun acuh melihat kondisi Davin yang mabuk seperti itu. Zian malah duduk di ruang tamu dan menyalakan TV. Mungkin dia belum mengantuk.
Aku berusaha keras memapah Davin menuju kamar. Mulutnya begitu bau alcohol dan terus mengoceh tidak jelas. “Haiss… sudah tua masih saja merepotkan kamu ini,” Gerutuku kesal, aku begitu kepayahan menopang badan Davin yang begitu berat. “Davinn… Bangun dulu, jalan sendiri ke kamar ih,” Dengan sebal aku menggoncang-goncangkan kepala Davin dengan kepalaku sendiri karena kepalanya menimpa kepalaku sehingga membuatku susah melihat ke depan, saat menaiki tangga lantai di dekat ruang TV aku tersandung dan kami berdua jatuh. Aoww..!! Kepalaku terantuk bibir Davin dan sakit karena pas terkena giginya. Davin hanya mengaduh lirih, aku benar-benar tidak tahan dengan bau mulutnya, aku jitak kepalanya karena kesal. Tiba-tiba Zian menarik tangan Davin dan memapah di bahunya. “Buruan… Bukain pintu kamarnya,” Zian melihat ke arahku dengan raut terpaksa tentunya. Mungkin karena kasihan melihatku. Aku buru-buru bangun dan membukakan pintu kamar yang tinggal 3 meter lagi dari tempat kami. Zian masuk dengan setengah menyeret Davin dan langsung menjatuhkan Davin di tempat tidur. Aku membantunya mengangkat kaki Davin dan melepaskan sepatunya.
Tanpa seperhatianku ternyata Zian mengamati kamarku. Kening Zian berkerut saat melihat hanya ada satu bantal yang ada di tempat tidur itu sedangkan satu bantal lagi tampak di sofa yang ditata seperti tempat tidur dengan menggabungkan dua sofa, lengkap dengan selimut warna pink diatasnya. “Naniya…” Panggil Zian sambil memandangiku yang sedang melepas kaos kaki Davin. “Ya… “ jawabku tanpa menoleh. “Kalian tidur terpisah?” Tanya Zian bernada aneh. Deg! Tanganku terhenti mendengar pertanyaan Zian. Duhh… aku lupa tentang kondisi kamarku selama ini, tidak terpikir bahwa akan ada orang lain yang masuk ke kamar ini selain aku dan Davin. Aku menoleh ke arah Zian, dan mataku bertemu dengan mata Zian, Ahh… mata itu, entah kenapa hatiku bergetar tidak jelas, dan aku tahu kali ini bukan karena pertanyaan Zian barusan. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku karena tidak kuasa melihat matanya. “Tentu saja tidak” Sangkalku dengan suara sedikit gugup. “Lalu bantal yang di sofa itu kenapa?” “Oohh.. itu anu.. emm.. Davin kemarin tidur di situ, biasalah kemarin dia ngambek ke aku sedikit, dan aku lupa belum bereskan tadi pagi,” “Davin? Dengan selimut pink? Yakin kamu?” Zian terlihat tidak percaya dengan jawabanku. Aku buru-buru berdiri dan mendorong tubuh Zian untuk keluar dari kamar. “Sudah malam Zian… sebaiknya kamu kembali ke kamarmu,” “Nan…” Zian menahan bahuku, dia menatap dalam ke mataku. “Kalau Davin memperlakukanmu dengan tidak baik, beritahu aku” “Apaan sih kamu,” Sergahku sambil membuang pandanganku dan melepaskan tangan Zian dari bahuku. “Kamu bohong, Nan…” Ucap Zian lirih, ”Kamu menutupi sesuatu,” “Maaf Zian… Ini sudah terlalu larut,” Aku segera menutup pintu kamar dan meninggalkan Zian yang masih berdiri dengan penasaran yang masih memenuhi pikirannya.
Malam itu aku tidak bisa memejamkan mataku, bukan karena tertangkap basah oleh Zian tentang keadaan kamarku, tapi karena teringat tatapan mata Zian. Tuhan, jika boleh meminta, aku ingin dialah orangnya.
Cerpen Karangan: Bee Artie Blog: www.ceritapunyaarti.blogspot.co.id