“Naniyaaa!!” Teriakan tepat di telingaku membuatku terlonjak kaget bangun dari tidurku. Aku membuka setengah mataku yang benar-benar masih berat karena merasa baru tidur. Wajah Davin tampak tepat di depan wajahku membuatku terkaget untuk kedua kalinya. “Gila ya kamu!” Semprotku kesal dan menarik kembali selimutku hingga menutupi kepalaku. “Hey… Bangun Naniya! Kamu tidak boleh tidur lagi sebelum memberitahuku apa yang terjadi dengan bibirku,” Sambar Davin dengan sigap menarik selimutku. “Aarrghh… Apaan sih kamu, Davinnn?” Aku bangun duduk melotot ke arah Davin tapi justru kali ini aku kembali terkaget untuk ketiga kalinya melihat bibir Davin. Bibir bagian atasnya tampak bengkak begitu besar dan merah, ada luka pecah terlihat. “Waduhh.. kok bisa begitu?” Tanyaku spontan terbelalak, tapi sedetik kemudian aku malah tertawa karena tidak tahan melihat wajah Davin dengan bibir seperti itu. Davin yang sebal karena aku tertawakan memukulkan kepalaku. “Hihhh! Malah tertawa lagi,” “Aduhh… Sakit!” Aku merasakan sakit di bagian yang dipukul Davin, aku meraba kepalaku, aku baru sadar kepalaku juga bengkak dan terasa di tangan ada sesuatu yang mengering di sana. Davin langsung salah tingkah dan segera meminta maaf. “So… Sorry, aku kekencengan ya mukulnya,” Ujarnya sambil mengusap rambutku, dia kaget saat tangannya merasakan kepalaku yang benjol. “Kepala kamu kenapa? Sini aku lihat coba,” Davin menyibakkan rambutku. “Ini kelakuan kamu tahu,” Ujarku sambil membiarkan Davin yang sibuk menyibak-nyibakkan rambutku, “Semalam kamu mabuk, aku tidak kuat memapahmu dan jatuh, gigi kamu kena kepalaku, makanya bibir kamu juga begitu” “Bodoh! Kamu berdarah ini semalam kenapa bisa tidak terasa?” Davin menoyor jidatku gemas, “Sebentar aku ambil kotak obat”
Sejurus kemudian, aku duduk dengan mata setengah merem karena benar-benar masih mengantuk, membiarkan Davin duduk di sebelahku menyisir pelan rambutku. “Hehee.. Kamu membuatku teringat sama bapakku,” “Ohya… kenapa?,” tanya Davin. “Sejak ibu meninggal setiap sekolah bapak selalu yang menyisir rambutku, bahkan dia tidak mengizinkanku menyisir sendiri. Kata Bapak, menyisir rambut seseorang adalah bentuk kedekatan kita dengan orang itu, saat melakukannya kita bukan hanya secara fisik saja yang menjadi selangkah lebih dekat, tetapi bisa…,” Aku tidak meneruskan kata-kataku. “Bisa kenapa? Ayo lanjutkan,” Kata Davin pensaran. Aku menggeleng sambil tersenyum dan menunjuk kepalaku supaya Davin segera mengobatinya. Diam-diam aku melanjutkan perkataanku dalam hati, “Ya… saat kita menyentuh kepala orang yang kita sisiri rambutnya itu bisa menumbuhkan rasa sayang dan selangkah lebih dekat juga di hati dan akan menimbulkan perasaan yang tenang mendadak dan akan muncul sekian persen rasa ingin dimanja sejenak”. Kalau Davin mendengar ini, dia bisa mengolok-olokku jadi aku memilih melanjutkannya dalam hati saja.
“Maafin aku ya Nan…” Ucap Davin lirih, tangannya menempelkan pelan kapas yang sudah dibasahi air hangat. Wajah Davin begitu dekat denganku, tarikan nafasnya begitu jelas di telingaku membuatku sedikit aneh. “Nan…” Davin memanggilku karena tidak mendengar responku. “Naniyaa..” Davin kembali mengguncang bahuku. Aku membuka mataku dengan berat. “Vin…,” Aku menoleh ke arah Davin dan menatapnya serius, “Boleh aku ngomong?” “Ohya.. Silahkan” Ujar Davin sambil balik menatapku. “Mending kamu mandi deh sekarang,” “Ahh nanti saja, aku kelarin ngobati kepala kamu dulu,” “Kalau begitu, bisa tidak kamu pakai masker sekarang?,” “Wehh… Kenapa memang?” Alis Davin berkernyit. “Mulut kamu bau,” Ucapku dengan suara lemas. “Iissh.. Naniyaa.. Jujur banget sih kamu,” Davin melotot mendengar kata-kataku, dia segera meletakan kapas yang sedang dipegangnya dengan kesal dan segera menuju ke kamar mandi dengan malu tapi tetap saja mulutnya menggerutu. “Pokoknya kamu juga harus bertanggung jawab dengan bibirku ini loh… Kita sama-sama terluka,” Seru Davin sambil menutup keras pintu kamar mandi. Aku mencibirkan bibirku sendiri mendengarnya dan kembali menarik selimut untuk tidur kembali.
Baru memejamkan mata belum ada setengah jam, tiba-tiba aku merasakan perutku mules mendadak. Aku berlari ke kamar mandi berharap Davin belum mulai mandinya. “Vinn… Aku dulu dong yang ke kamar mandi!,” Aku mengetuk keras pintu kamar mandi. Davin yang baru saja selesai menggosok giginya segera membuka pintu dengan hanya kepalanya saja yang nongol di pintu. “Ada apa sayang? Kamu mau mandi bareng?” Davin tersenyum jahil “Please… jangan sekarang bercandanya, aku kebelet,” Sambarku dengan raut menyeringai menahan perutku yang sakit. “Loh… Aku sudah buka baju loh, ya sini kalau mau bareng,” Ledek Davin sambil tetap menyembunyikan badannya di pintu. “Jangan bohong kamu, keliatan dari cermin di dalam tuh kamu masih pakai baju kok,” Aku mendorong pintu kamar mandi dan berniat menarik tangan Davin untuk mendorongnya keluar, tapi karena aku terlalu buru-buru aku terpeleset dan Davin pun ikut jatuh menimpa badanku karena tangannya yang aku pegang otomatis ketarik olehku. Kali ini wajahnya tepat menyentuh pipiku. “Aowww…!,” Aku merasakan sakit di bagian tulang ekorku. Sesaat aku meringis menahan sakit. Davin terkejut, sejenak dia tertegun seperti patung dan tidak segera bangun. Hening… dan aku mendengar suara detak jantung yang berdegub kencang. ”Vin… Ini bukan suara jantungku sepertinya,” Ucapku lirih memecah suasana hening. Davin seperti tersadar dan segera bangun dan membantuku berdiri dan langsung melangkah ke luar dari kamar mandi. “Vin… kamu tidak apa-apa kan?,” Tanyaku khawatir karena Davin tidak berkata apa-apa. Davin hanya melambaikan tangannya ke belakang tanda dia baik-baik saja, aku pun segera menutup pintu kamar mandi.
Di luar kamar mandi, Davin berdiri terpatung di depan wastafel, dia memegangi dadanya yang entah kenapa masih berdetak kencang, Davin yakin ini bukan karena dia kaget karena jatuh, debar ini beda dari biasanya yang dia rasakan. Dia memandangi wajahnya di cermin, dan terbayang kejadian yang baru saja terjadi, saat dia terjatuh dan tanpa sengaja mencium pipiku. “Apa itu yang membuat jantungmu berdegub kencang, Vin?” Davin bergumam lirih kepada diri sendirinya yang ada di cermin. Tuhan, jika boleh meminta, aku ingin dialah orangnya.
Jam di kantor menunjukan pukul 11.00 malam, staf kantor sudah pulang semua, tinggal aku sendiri yang masih sibuk dengan pekerjaanku ditemani Pak Nyoto, OB kantor. Ya… Sebulan lagi opening pabrik baru di Batu, Malang, aku harus menyusun materi dan presentasi produk untuk Davin, acara ini memang lumayan penting karena akan mengundang orang-orang penting dari pejabat-pejabat di daerah dan beberapa investor dari luar negeri, aku ingin se-perfect mungkin menyiapkan ini untuk Davin, karena ini adalah saatnya dia dilihat kemampuannya oleh orang-orang yang akan bekerja sama dengan perusahaannya.
Aku berhenti sejenak mengetik di laptopku dan meraih cangkir kopiku di meja ternyata cangkir itu telah kosong, ini cangkir kopi ketigaku hari ini. Biasanya perutku hanya mampu menampung 1 cangkir kopi, tapi hari ini aku sudah overdosis. Aku beranjak hendak memanggil Pak Nyoto yang menungguku di luar ruanganku untuk mengambilkanku air putih, tapi ternyata Pak Nyoto ketiduran di salah satu kursi staf, wajah tuanya tampak begitu lelah membuatku tidak tega membangunkannya dan memutuskan untuk membereskan perlengkapanku dan memilih segera pulang. Aku membangunkan Pak Nyoto, dia tampak terkejut melihatku berdiri dengan tas di tangan siap untuk pulang. Aku mengajaknya pulang dan menawarkan diri mengantarnya pulang, kebetulan rumah kami searah dan selain itu aku tidak bisa membiarkan Pak Nyoto yang sudah mengantuk begitu pulang berkendara. Pak Nyoto memang sering menemaniku lembur seperti ini, karena aku takut sendirian di kantor.
Hampir pukul 12.00 malam saat aku tiba di rumah, seperti biasa sepi, Davin pastinya juga belum pulang, aku tidak langsung ke kamar melainkan menuju ruang tengah dan kembali menggelar kerjaanku berniat menyelesaikan yang tertunda di kantor tadi karena ini akan dijadikan bahan meeting besok pagi. Aku menyalakan TV sebagai teman dan beranjak ke dapur mengambil air minum. Saat kembali aku kaget saat melihat Zian sudah duduk di sofa.
“Hei… Aku berisik ya?,” Tanyaku tidak enak hati melihat dia bangun. Zian mengangguk. “Maaf ya… aku masih ada yang harus dikelarin soalnya buat besok,” Aku meminta maaf ke Zian. Zian tersenyum dan malah pindah tempat duduk ke depan laptopku. “Sini, mana yang belum kelar? Aku bantuin biar cepet kelar,” Ujarnya. “Ooh.. tidak perlu, aku cuma tinggal bikin slide ppt saja kok, tadi di kantor sudah selesai bikin materinya jadi tinggal copas,” “Tidak apa, Naniya. Kamu duduk gih istirahat, aku yang kerjain, kebetulan aku juga lagi tidak bisa tidur,” Aku menyerah, aku pun memberitahu Zian file pekerjaanku dan duduk di samping Zian sambil sesekali berdiskusi.
Ditengah obrolan, Zian mendapatiku ketiduran dengan kepalaku tanpa sengaja menyandar ke bahunya, dia membiarkannya dan melanjutkan mengetik dengan pelan-pelan seperti takut mengganggu tidurku. Tidak ada setengah jam Zian sudah selesai mengerjakan pekerjaanku, dia menoleh ke arahku yang benar-benar terlelap, niatnya untuk membangunkanku dia urungkan karena tidak tega mengganggu tidurku. Zian mengamati wajahku yang penuh kelelahan, aku tertidur dengan mulut sedikit terbuka sehingga air liurku menetes ke baju Zian, tapi Zian tetap membiarkannya, dia hanya tersenyum sendiri melihatku dan mengambil handphone dari sakunya, sangat pelan sekali dia selfie sendiri memotretku yang tidur di bahunya, beberapa kali dia mengambil gambarku sebelum dikagetkan suara pintu gerbang terbuka, sebuah mobil tampak memasuki halaman. Davin pulang. Zian terkejut dan buru-buru membangunkanku dengan menepuk-nepuk pipiku, aku terbangun dan terkaget mendapati kepalaku sendiri bersandar ke bahu Zian, sesaat aku baru sadar bahwa aku ketiduran.
“Ahh… aku ketiduran ya? Maaf yaaa…,” Zian hanya tersenyum mengangguk sembari menggeser tempat duduknya menjauhiku. Tergagap aku mengelap ujung bibirku yang terasa basah. “Wehh.. aku ngiler ini??,” Lagi-lagi Zian hanya tersenyum. Spontan aku mengambil tissue di meja dan segera mengelap-elapkan ke baju Zian dibagian bahu yang tampak basah, dengan muka memerah menahan malu aku berusaha membersihkan baju Zian. Zian mencoba melarangku dengan mengatakan bahwa itu tidak apa-apa, tapi aku tetap berusaha membersihkannya, pikirku setidaknya bau air liur/iler yang aku tinggalkan tidak akan begitu bau kalau aku terus menggosoknya dengan tissue.
“Sedang apa kalian?!,” Suara Davin mengejutkanku. Aku terpaku, dan Zian segera berdiri. Davin menatap tajam ke arah Zian. “Ada yang bisa jelasin, ada apa ini?,” Davin bertanya sekali lagi. Aku buru-buru berdiri dan menjelaskan ke Davin. “Emm… ini, Zian tadi bantu kerjaanku dan tidak sengaja aku numpahin air ke bajunya,” Tatapan Davin tetap tajam ke arah Zian seperti tidak menghiraukan jawabanku. “Masuk kamu ke kamar!,” Davin mengalihkan pandangannya ke arahku, tatapannya penuh amarah, baru pertama kalinya aku melihat Davin semarah itu hingga aku tidak berani menatap ke arahnya. “Ahh.. sudahlah, aku benar-benar lelah hari ini, tidak punya tenaga lagi untuk ribut,” Aku segera menuju kamarku meninggalkan mereka berdua.
Davin melangkah mendekati Zian, Zian berdiri membalas tatapan Davin dengan tajam. “Sudah aku peringatkan kamu diawal, jangan suka mengganggu milik orang lain karena bisa saja kamu menginginkannya juga, Zian” “Santai, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Vin.” Zian menjawab Davin dengan santai, “Aku cuma membantunya menyelesaikan pekerjaan kantornya,” “Pintar sekali kamu beralasan, pekerjaan kantor? Hahh… persis seperti ibumu dulu,” Suara Davin penuh tekanan. Zian bereaksi mendengar nama ibunya disebut. “Apa pedulimu dengan Naniya memang? Aku heran, dia istrimu? tapi kamu tidak pernah ada di sampingnya. Dia karyawanmu? Tapi kamu juga tidak pernah peduli dengan pekerjaannya, hampir tiap hari dia membawa pekerjaannya ke rumah pun kamu tidak pernah tahu itu karena kamu tidak peduli, yang kamu pedulikan adalah kehidupanmu sendiri di luar yang kita semua di sini termasuk istri kamu tidak tahu seperti apa!,” “Hati-hati kamu kalau bicara!,” Davin mencengkram lengan Zian tapi Zian mengibaskan tangan Davin dengan keras. “Aku tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kalian,” Zian seperti menantang Davin yang nafasnya mulai penuh emosi, “Dia orang baik, jadi kalau kamu tidak bisa membahagiakannya, beritahu aku.” Zian beranjak pergi meninggalkan Davin yang menatap langkah Zian dengan penuh kebencian. Davin menatap meja yang penuh dengan berkasku yang belum sempat aku bereskan, dia membereskannya dan memasukannya ke tas kerjaku dan membawanya ke kamar.
Di dalam kamar, Davin melihatku sudah tertidur pulas di sofa dengan posisi tengkurap, satu kakiku menggantung ke lantai. Dia melangkah mendekatiku, lama dia mengamati raut lelahku, kata-kata Zian kembali terngiang di telinganya, tiba-tiba ada rasa takut kehilangan menyusup di hatinya. Davin mengusap pelan rambutku yang berantakan, aku menggeliat dalam tidurku sehingga posisi tidurku berganti terlentang, Davin sedikit tercekat melihat posisi tidurku, fantasi aneh sekilas melintas di benaknya, tapi segera buyar saat dia melihat ke arah wajahku, mulutku melongo dan mulai mendekur kecil. “Iisshh… ini cewek bener-bener deh,” Gerutu Davin sendiri. Dia mengambil selimutku yang jatuh dan melemparnya menutupi mukaku dan berjalan ke arah tempat tidurnya. Tapi langkahnya terhenti, dia menatap tempat tidurnya yang luas dan nyaman, dia menatapku kembali yang tidur di sofa, Davin tiba-tiba merasa malu dengan dirinya sendiri yang selama ini begitu egois tidur dengan enak di tempat tidur, dengkuran kecilku yang masih terdengar membuatnya merasa semakin bersalah, bagaimana Naniya tidak mendekur kalau dia tidur di tempat yang tidak nyaman? Pikirnya.
Davin pun berjalan kembali ke arahku, dia tersenyum konyol saat kembali melihatku yang tidur dengan mulut melongo. Dia mengambil handphone dan iseng memotretku beberapa kali, kemudian dia membopongku dan memindahkanku ke tempat tidurnya. Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi, raga dan pikiranku benar-benar lelah luar biasa hari ini, sesaat aku hanya merasa tubuhku menjadi lebih nyaman saja dan kemudian kembali lelap tertidur.
Davin merebahkan diri di sofa tempatku tidur sebelumnya, dia membuka handphonenya dan tersenyum-senyum sendiri melihat potoku yang dia ambil tadi. Davin sebal melihat tampangku di poto itu karena dia tidak suka wanita tidur melongo tapi entah kenapa hatinya tersenyum senang. Sementara itu, di ruangan lain, tampak Zian berbaring di tempat tidurnya, dia juga tampak tersenyum-senyum sendiri dengan matanya lekat menatap ke handphonenya, ternyata dia juga sedang menatap potoku yang tidur melongo bersandar di bahunya tadi. Ya… Dua orang pria sama-sama tersenyum dalam waktu yang sama karena orang yang sama, yaitu aku, ya… aku yang sedang bermimpi tidur di pangkuan ayahku yang mengelus-elus sayang rambutku. Sungguh, skenario Tuhan tidak bisa ditebak.
Sejak kejadian malam itu, Davin mengajakku pindah dari rumah ayahnya, dengan alasan ingin belajar lebih mandiri, keluarga mengizinkan keinginan Davin. Aku tahu Davin sengaja menjauhkanku dari Zian sehingga mengajakku pindah tiba-tiba, tapi aku tidak bisa protes, bagaimanapun aku memang terikat kontrak dengan Davin dan setelah aku pikir kepindahan ini juga bagus buatku supaya lebih fokus ke tujuanku menyelesaikan tugas mendampingi Davin. Hari itu, semua membantu kepindahan kami ke apartment dekat kantor, hanya Zian yang tidak terlihat mengantar kami. Mungkin dia sibuk, pikirku. Tapi entah kenapa aku sedikit kecewa saat melihatnya tidak ada.
“Kalian baik-baik ya, yang rukun, kalau ada apa-apa segera telepon ayah,” Pesan Ayahnya Davin saat mereka berpamitan pulang. “Iya… cepet-cepet bikin cucu yang lucu ya,” Ibu Ros berseloroh. “Wah… itu yang wajib, sudah 6 bulan kalian berumah tangga, sudah cukup masa bulan madu berduanya, sekarang saatnya kalian mempunyai momongan,” Ujar Ayah Davin bersemangat. Aku dan Davin tertawa kaku. “Nah… Ayah tahu itu, kenapa Ayah masih berlama-lama pamitannya? Kami berdua akan membuatkan ayah cucu yang lucu sekarang juga, iya kan sayang?,” Davin memeluk lenganku mesra, aku menggerutu dalam hati, bisa-bisanya Davin bercanda mengenai anak yang jelas-jelas tidak bisa kami wujudkan. Aku tertawa sambil menyubit lengan Davin menanggapi ucapan Davin itu. Kami mengantar mereka sampai lobi, tangan Davin tidak berhenti memeluk lenganku, entahlah berakting mesra seperti itu menurutku tidak perlu, tapi dia tampak senang melihat Ayahnya tersenyum bahagia melihat kami.
Begitu mobil ayahnya Davin berjalan meninggalkan kami, aku segera menyingkirkan tangan Davin. “Sudah aktingnya!,” Seruku sebal. Entahlah di mataku Davin selalu menyebalkan. “Haiss… Kenapa aku tidak boleh memeluk istriku sendiri?,” Davin menimpaliku dengan sengaja bersuara keras, orang-orang di sekitar kami sampai menengok ke arah kami. Aku buru-buru berjalan meninggalkan lobi meninggalkan Davin. “Sayang.. tunggu. Dengar kata Ayah kan? Dia ingin cepat punya cucu loh,” Davin mengejarku sambil tertawa-tawa, sampai-sampai resepsionist lobi ikut tersenyum-senyum mendengar seruan Davin.
Aku baru selesai menggosok gigiku saat melihat Davin menata barang-barang di sofaku. “Hey.., kenapa ditumpuk di situ? Itu tempatku tidur,” Ujarku heran. “Tidak ada yang tidur di sofa lagi mulai hari ini, semua tidur di tempat tidur,” “Jangan mulai deh kamu, Vin,” “Sudah sini…,” Davin menarik tanganku dan memaksaku untuk berbaring di tempat tidur,” Sekarang di sini tempatmu tidur, aku juga akan tidur di sebelahmu, aku janji tidak akan macam-macam ke kamu. Ok?,” “Awas ya kamu kalau kurang ajar,” Ancamku sambil menata guling di tengah-tengah kami. Davin tertawa dan dia menumpuk satu guling lagi di atas gulingku sehingga kami berdua tidak bisa saling melihat. “Nah… Tenang kan kamu sekarang? Aku sudah bangunin tembok tinggi tuh buat kamu,” Aku tersenyum sambil menarik selimutku sampai kepalaku. Tuhan… Semoga Davin menyenangkan seperti ini seterusnya.
Cerpen Karangan: Bee Artie Blog: www.ceritapunyaarti.blogspot.co.id