Hari itu, hari Minggu, pukul sembilan tepat, aku bertemu dengannya di taman. Seseorang yang kini menjadi bagian dari kenangan hidupku, sedang kurindukan.
Mataku bergulir melihat jalanan pekarangan rumahku di pagi hari ini. Lewat jendela kamarku di lantai dua ini, rasanya aku bisa melihat seisi komplek perumahanku. Terlihat anak-anak yang sedang berlarian di bawah sana. Dengan cerianya, mereka berlari sambil berseru kegirangan.
Mataku beralih kepada seseorang yang sedang berjalan lurus, lalu, berbelok ke rumahku. Aku dapat melihatnya dari atas sini, ia mengenakan jaket biasa dengan tas tergantung di punggungnya. Mataku menyipit untuk melihat wajahnya, tapi terlambat, ia sudah masuk ke teras rumah yang tak dapat kulihat lagi.
Rasa penasaranku terus bertambah besar. Lalu, aku berlari menuruni tangga menuju ruang tamu. Kudengar ibuku membuka pintu dan langsung tertawa senang karenanya. Kupercepat langkahku agar segera sampai di ruang tamu.
Deg! Aku terpaku di ujung ruang tamu. Mataku membesar seraya detak jantung yang berdetak sangat kencang. Aku bertemu dengannya. Aku bertemu dengannya lagi. Seseorang yang kurindukan. Aku segera berlari dan memeluknya. Aroma tubuhnya tak berubah sama sekali, masih terasa sejuk dan menenangkan hatiku. Rasa rinduku terbalas sudah.
Waktu pun berlalu, di ruang tamu ini, aku berbicara banyak dengannya. Lelaki yang sudah lima tahun tak kutemui, lelaki yang menjadi cinta pertamaku, kini, bertambah dewasa. Rain bilang, ia akan pindah rumah di komplek perumahan tempatku berada. Tentu saja aku senang dan antusias mendengar alasan Rain pindah ke sini. Namun, saat yang menyenangkan bagi hidupku hancur saat dering telepon berbunyi. Kuangkat telepon yang terus berdering itu di ruang tengah. Suara lelaki yang sangat kukenal terdengar di sana. Itu adalah suara pacarku.
“Halo.” “Halo, Rean. Udah lama banget, ya, kita gak ketemu. Aku kangen,” sahut Faris di seberang sana. Faris itu sudah tiga bulan menjadi pacarku. Dulu, dia menembakku di sekolah, tepatnya di taman sekolah, saat aku dan para murid kelasku -XI-Biologi- sedang meneliti berbagai tumbuhan. Awalnya aku mau nolak, tapi, dia itu termasuk cowok berprestasi yang memang kukagumi sejak lama. Tapi sekarang, dia tinggal di kota yang berbeda denganku. Katanya, dia harus mengikuti kemauan orangtuanya untuk pindah rumah. “Aku juga,” balasku singkat. Aku tak mau berlama-lama teleponan dengannya. Jujur, aku memang menyayanginya, tapi, entah kenapa aku ingin mengobrol seratus atau bahkan sejuta hal dengan Rain yang sedang menungguku di ruang tamu, bukan dengan Faris. “Kamu sehat, kan?” “Iya. Eh, Ris, ada tamu, aku tutup dulu, ya, telponnya,” kataku. “Oh, oke. Dadah.” “Dah.” Segera kututup telepon itu dan berlari ke ruang tamu untuk mengobrol lagi dengan Rain. Tapi, sayang, dia harus pergi lagi. Padahal sudah lama aku menantikan hal ini, menantikan bertemu dengannya lagi.
“Aku pamit, ya, Rean,” ucap Rain seraya berdiri dan mengambil jaketnya. “Oke. Hati-hati, ya.” Aku pun ikut berdiri dan mengantarnya ke teras rumah. Awalnya Rain ingin pamitan ke ibuku, tapi, kubilang ibuku lagi ke tetangga. Menurutku, Rain terlalu asyik dengan obrolan kita berdua sampai-sampai ia tak sadar saat ibuku pamit pergi.
Rain melangkah menyusuri teras rumahku. Aku hanya berdiri di ambang pintu rumahku sambil menatap punggungnya yang berjalan menjauh. “Eh, Rain!” seruku menahannya pergi. “Ya?” Dia pun berbalik dan menatapku. “K-kamu udah punya.. pacar?” “Udah!” sahut Rain sumringah. “Akhirnya aku gak jomblo lagi, kan? Kamu gak bisa ngejek aku lagi kayak dulu, hehe.” Entah mengapa, mendengar omongannya itu, aku merasa sakit. Apalagi, dengan ekspresi gembiranya itu, membuatku tambah sakit hati.
“Kamu kenapa, Rean?” “Eh? Y-yang langgeng, ya!” Nggak, kuharap kamu cepat putus dengannya, Rain! ralat hatiku dengan cepat. Tapi, apa dayaku untuk berkata seperti itu, lebih baik berbohong saja daripada merusak pertemananku ini. “Siap. Aku duluan, ya. Dadah,” ucapnya sambil melambaikan tangannya padaku. Kubalas lambaian tangannya sambil tersenyum.
Setelah Rain pergi, aku kembali ke kamarku. Kurebahkan diriku di kasur. Kepalaku penuh dengan omongan Rain di teras tadi. K-kamu udah punya.. pacar? Udah! Lewat ekspresinya itu, aku sadar, dia benar-benar tulus menyayangi pacarnya itu. Tak seperti diriku, yang cemburu saat tahu teman lamaku punya pacar, disaat, aku sendiri punya pacar. Uh, aku bingung dengan hatiku sendiri! Kututup mataku dan mulai memikirkan Faris. Tapi, tetap saja, malah Rain yang terus muncul di pikiran. Ini benar-benar menyiksaku. Perasaan yang bimbang ini, sungguh menyiksaku!
Ding-dong.. Bel istirahat telah berbunyi. Aku berjalan ke kantin bersama Kina—sahabatku. Kami duduk berhadapan di kantin Bi Nana dan memesan dua porsi nasi kuning untukku dan Kina. Disela menunggu pesanan datang, aku menceritakan pertemuanku dengan Rain di rumah kemarin.
“Wah, pantesan kamu seneng banget gitu,” ucap Kina yang antusias mendengar ceritaku. “Iya, dong, seneng banget!” “Eh, beneran Rain itu cuma temen lama kamu?” Aku menganggukkan kepalaku sambil menerima pesanan yang dibawa Bi Nana. “Gak ada kejadian apa gitu waktu dulu?” tanya Kina. “Gak ada. Kok, kamu jadi penasaran gitu?” “Ya, cuma aneh aja. Kamu selalu ceria ngebahas temen lama kamu itu,” kata Kina seraya menggerakkan jari-jarinya saat mengatakan “temen lama”. “Ah, kamu, tuh, yang aneh!” Ramainya kantin ini menyelimuti kami yang sedang fokus melahap nasi kuning.
“Oh, iya. Kamu masih sama Faris?” tanya Kina. “Masih,” jawabku datar. “Gimana sama dia?” “Gitu-gitu aja,” sahutku masih dengan nada datar. “Gitu gimana?” “Udahlah, gak usah kepo,” kataku sedikit marah. “Tuh, kan, Rean. Tiap bahas Faris, kok, kamu jadi males gitu?” Hah? Emang kelihatan banget, ya? batinku sambil menatap Kina. “Kelihatan banget tahu!” sahut Kina bagaikan tahu isi kepalaku. “E-eh? Ngomong apaan, sih, Kin?” “Aku tahu, Rean. Kamu suka, kan, sama Rain?” “Ng-nggak!!” bantahku dengan cepat. Saat aku mengatakannya, otakku berpikir bahwa aku telah berbohong, tapi aku pun tak mengerti hatiku tertuju pada siapa. “Gak usah bohong, Rean. Aku tahu banget kamu itu gimana.” “Ih, Kin. Jangan mojokin aku gini, napa?”
“Denger, ya, Rean.” Kina menaruh sendoknya di piring, lalu, fokus menatapku. “Hm?” Aku pun berhenti makan dan fokus mendengar setiap perkataan Kina. “Disaat kamu suka sama seseorang, apapun yang kamu lihat akan berwarna. Bintang-bintang di langit pun akan bersinar. Hati dan pikiran kamu juga pasti cuma tertuju ke orang itu, dan kamu bakalan damai dan bahagia selama mengingatnya.” Aku mencerna kata demi kata yang diucap Kina. “Woah. Kamu tahu dari mana, Kin?” “Ah, gak penting itu.” “Eh? Hahaha.” Kami pun tertawa bersama, lalu, menghabiskan makanan di piring kami masing-masing.
Cahaya jingga mulai menyelimuti langit ini. Seperti biasa, aku memandangi perumahanku dari jendela di kamarku. Pemandangan sore ini sangat indah, aku bisa melihat burung-burung beterbangan di langit sore ini bagaikan melihat sunset. Terlintas di benakku ucapan Kina tadi siang. “Disaat kamu suka sama seseorang, apapun yang kamu lihat akan berwarna. Bintang-bintang di langit pun akan bersinar. Hati dan pikiran kamu juga pasti cuma tertuju ke orang itu, dan kamu bakalan damai dan bahagia selama mengingatnya.” Tapi, bagiku, ini tak semudah yang Kina katakan. Aku masih bingung dengan dua orang yang ada di kepalaku. Kalau aku benar-benar menyukai satu orang, pasti aku tak akan kebingungan seperti ini.
Kriing.. Telepon berbunyi. Aku segera menuruni tangga dan berjalan menuju ruang tengah tempat telepon rumahku berada. Ibuku sedang tak berada di rumah, jadi, aku yang mengangkatnya. “Hallo?” kataku. “Hallo, Rean?” Dari suaranya itu, aku bisa langsung tahu siapa yang sedang menelponku, Rain!! “I-ini aku. Kenapa Rain?” ucapku gelagapan. Jantungku berdegup lebih cepat, tak seperti biasanya. “Besok aku mau ke Toko Buku Harnaya.” “Oh, yang deket sini, kan?” “Iya. Mau, gak, nemenin aku ke sana? Kan jalannya bolak-belok, aku gak hapal jalan itu.” “Boleh.” Seulas senyum terpampang di wajahku saat mendengar ajakannya. “Jam 2 aja ketemuan di depan gerbang komplek rumahku. Jadi, pulang sekolah aku bisa langsung nganter kamu.” “Oke-oke! Makasih, ya, Rean. Kututup telponnya, ya. Daah.” “Daah.” Kututup telepon itu.
Aku kembali berjalan menaiki tangga menuju kamarku. Lalu, kembali melihat pemandangan luar lewat jendela kamarku. Matahari sudah mulai tenggelam. Anehnya, bagiku, semua terasa indah saat langit kebiruan datang. Padahal, semua biasa saja seperti hari-hari lainnya. Ah, ngapain dipikirin, yang penting aku senang.
Bel pulang sekolah yang telah kutunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Dengan gembira, kumasukkan buku-buku ke dalam tas, lalu, berjalan ke gerbang sekolah. Di sepanjang lorong kelas menuju gerbang sekolah, pikiranku dipenuhi ajakan Rain kemarin. Sesampainya di gerbang sekolah, aku berniat menaiki angkot seperti biasa. Tapi, semua niat itu bersamaan dengan kegembiraanku hilang saat aku melihat dia. Orang yang tak ingin kulihat —Faris.
“E-eh?” Mataku membesar melihatnya tepat di hadapanku. “Rean! Aku kangen banget sama kamu. Akhirnya kita bisa ketemu lagi!” ucap Faris sambil menatapku. “Kok, kamu ada di sini?” “Lho, kamu gak suka aku ada di sini?” “Bukan gitu. Tapi, kan, rumah kamu jauh banget dari sini, pulangnya gimana?” tanyaku mencari alasan. “Aku mau nginep di rumah paman. Kan, rumahnya di deket sini,” jelas Faris. “Ayo, jalan-jalan!” Ingin sekali kutolak ajakannya itu. Tapi, mau bagaimana lagi, ia sudah jauh-jauh ke sini, masa, aku tinggal begitu saja. Tapi, bagaimana dengan Rain? Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Sungguh.
Motor Faris berhenti di sebuah cafe bernuansa Belanda. Aku pun turun dari motornya dan berjalan masuk ke cafe bersamanya. Setelah kami duduk di meja dekat jendela, Faris bercerita bagaimana kehidupannya setelah pindah rumah. Aku mendengarkannya dengan baik, berusaha menghapus semua rasa khawatirku pada Rain. “Dari tadi, kok, kamu resah gitu, Rean?” tanya Faris yang akhirnya menyadari kekhawatiranku. “Nggak ada apa-apa, kok,” ucapku sambil mencoba tersenyum. Sekali lagi, hatiku berteriak aku telah berbohong. “Udahlah, jujur aja.” Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Kuhela napasku. Hatiku masih bimbang memilih ke mana tujuanku. Kata-kata Kina masih terus terdengar di kepalaku, berulang-ulang, sampai aku muak mendengarnya. Disaat kamu suka sama seseorang, apapun yang kamu lihat akan berwarna.
Aku melirik Faris yang memberi tatapan hangatnya padaku. Kulirik juga jalanan luar cafe lewat jendela besar ini. Lalu, kupandangi seluruh ruangan cafe. Tak ada warna apapun. Tak ada satupun yang menarik bagiku. Mungkinkah aku tak menyukai Faris? Mungkinkah selama ini aku hanya bersikap baik saja padanya? Mungkinkah aku hanya mengagumi dirinya? Pertanyaan yang terus terngiang di kepalaku ini benar-benar menggangguku. Kucoba memikirkan Faris dengan sepenuh hatiku, tapi, yang muncul terus saja Rain, Rain, dan Rain. Sampai akhirnya, aku mendapat jawaban dari hatiku.
“Faris,” ucapku menatap Faris dalam-dalam. “Ya?” “A-aku..” Faris menatapku, menanti ucapan yang keluar dari mulutku. “Aku menyukai.. orang lain.” Akhirnya aku mengatakannya! Aku menghela napas panjang. Entah mengapa, mataku memerah, aku ingin menangis. Padahal aku senang telah mengatakannya. Tapi, kenapa? Kenapa? Kenapa?! Faris menatapku dengan wajah terkejut. “J-jadi, kamu mau putus?” “Maaf, Ris. Maaf,” ucapku terisak. Mataku mulai berkaca-kaca. Padahal aku yang melukai hatinya, tapi, kenapa aku yang menangis? Bendungan di mataku hampir saja pecah. Aku benar-benar ingin menangis! Aku tak mengerti mengapa aku ingin menangis, padahal aku senang telah mengatakannya. Apa ini? Aku berdiri dari tempat dudukku. Faris menatapku dengan wajah kecewa. “M-maaf, Ris.” Kuraih tas sekolahku, dan segera berlari ke luar cafe. Aku berlari sekencang-kencangnya, meninggalkan Faris yang selalu kukagumi, meninggalkan semua kenanganku dengannya.
Aku benar-benar bingung dengan perasaanku sendiri. Hatiku senang aku telah putus dengannya, tapi, hatiku juga sedih karena mengecewakannya. Air mata berjatuhan di sepanjang jalanku berlari menuju tempat Rain berada. Aku tak peduli jauhnya perjalan ini, yang penting aku bisa sampai di tempat Rain menungguku. Kulewati ruko-ruko yang berjejer rapi sepanjang jalan ini. Mataku sudah tak mengeluarkan air mata lagi. Jantungku berdegup cepat. Aku mulai kelelahan. Tapi, sebentar lagi aku sampai di gerbang komplek rumahku. Aku tak boleh menyerah.
Akhirnya aku sampai di gerbang komplek rumahku. Rain tidak ada. Deru napasku yang terengah-engah mulai melemah. Aku jatuh terduduk di dekat pohon besar di samping gerbang komplek. Mengingat semua kejadian yang telah kuperbuat, aku menyesal. Mengapa aku putus dengan Faris cuma gara-gara teman lama yang sudah punya pacar? Aku ini kenapa?
Puk.. Aku menoleh ke belakang, seseorang telah menepuk pundakku. Mataku membesar sekaligus berbinar melihat sosok orang itu. “Rain!!” Aku mencoba bangkit dari dudukku. Tapi, aku terjatuh lagi. Kakiku sudah tak kuat menopang tubuhku. “Kamu kenapa, Rean?” “Ng-nggak tahu. Aku gak kuat jalan lagi.” Rain berjalan ke depanku, lalu, berjongkok membelakangiku. “Cepetan naik.” “Eh?” Aku terdiam. “Udah, sini, aku gendong,” ucapnya sambil menepuk punggungnya menyuruhku naik. Aku pun naik ke punggungnya. Aroma sejuk yang menenangkan hatiku tercium lagi. Rain pun berjalan mengantarku ke rumah dengan menggendongku.
Langit jingga berubah kebiruan, lalu, berganti dengan langit hitam tempat rembulan singgah bersama bintang-bintang kecilnya. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Rain masih menggendongku, kami berjalan di bawah lampu yang remang di sepanjang jalan ini.
“Wah, kamu jadi gendut, Rean,” sahutnya sambil tertawa kecil. “Aku gak gendut!” sanggahku. Aku merasakan wajahku memanas, pasti sudah semerah tomat sekarang.
“Rain.” “Ya?” “Maaf, gara-gara aku, kamu gak jadi ke toko buku,” rintihku. Mataku memerah lagi, bersiap mengeluarkan air mata. “Gak apa-apa. Pasti ada sesuatu, kan?” “Maaf, ya, Rain.” Aku mulai terisak, air mata mulai berjatuhan. “M-maaf. Maaf!” Tangisanku semakin menjadi. Air mata dengan derasnya mengalir di wajahku. Hanya kata “maaf” yang bisa aku katakan. “Maaf, Rain. Maaf. Huu.. huu..”
Suara Kina terdengar lagi di benakku. Disaat kamu suka sama seseorang, apapun yang kamu lihat akan berwarna. Benar. Jalanan ini, langit ini, lampu yang remang ini, bahkan, udara yang kuhirup ini, semua terasa berwarna. Semuanya indah meskipun aku sedang menangis.
Bintang-bintang di langit pun akan bersinar. Ya. Bintang di langit bersinar dengan sangat terang menyinari aku dan Rain.
Hati dan pikiran kamu juga pasti cuma tertuju ke orang itu, dan kamu bakalan damai dan bahagia selama mengingatnya. Iya! Itu benar! Semua kenangan burukku rasanya menghilang saat aku bersama Rain. Di samping tangisanku ini, yang aku rasakan, yang aku pikirkan, hanyalah Rain.
Aku bahagia bersamanya.
Tangisku masih mengalir dengan deras di sepanjang jalan ini. Air mataku terus berjatuhan membasahi punggung Rain yang masih terus berjalan menggendongku.
“Maaf, Rain.” Maaf, karena telah mencintai dirimu yang telah dimiliki orang lain…
Cerpen Karangan: Laila Nur Hanifah Instagram: @lanur09