Beribu kali ucapan cinta terdengar. Hantaman kuat bak kilat menyambar menerobos jauh ke dalam relung hati. Menyayat serpihan hati yang tersisa. Kali ini aku mundur. Aku membiarkanmu memilih bunga yang lebih indah. Tak apa, aku sadar tidak ada yang patut dibanggakan dalam diriku.
Suara gemercak hujan menggoyahkan lamunanku. Seketika ingatan itu terbuang dengan sendirinya. Bukan tanpa sebab, tapi kali ini tubuhku memilih diam. Di depanku dua manusia sedang tertawa bahagia. Aku tahu, mereka pasti mengira dunia ini milik berdua. Bukankah begitu yang namanya cinta?
“Minggir dong! Gue mau lewat.” Aku menggeser kakiku, memberi jalan pada mereka. Dengan tatapan yang sinis perempuan itu melewatiku. Sementara lelaki di sampingnya memilih bersikap biasa saja. Mimik wajah itu? Itulah yang selalu kurindukan.
Aku mengusap pelan dadaku. Ternyata sesakit ini ditinggalkan tanpa kepastian. “Hmm.. sabar ya Qiya lo pasti bisa lewatin ini.” Aku bergumam pelan.
Tepukan kasar di bahuku membuat aku menoleh. Aldi tengah berdiri lesu di belakangku. Keningku mengernyit heran. “Hari ini kamu boleh numpang mobilku dulu, lagian hujan deras banget.” Katanya sambil menghela nafas. “Gak usah aku naik ojek kok.” Balasku jujur. “Takut pacarku marah? Gak, aku udah ngomong sama dia.” Katanya meyakinkan. Aku menggeleng cepat. Dulu aku akan dengan senang hati menerima tawarannya. Tapi kali ini dia bukan milikku. Aldi mencintai perempuan lain. Hilda namanya, dia jelas lebih cantik dariku. Mungkin itu alasan Aldi lebih memilihnya.
“Ayo Qiya, pacarku pasti ngerti.” Benarkah dia mengerti? Tadi saja Hilda menatapku sinis? Yang benar saja, aku satu mobil dengan pacarnya itu. Bukankah lucu kalau Aldi membawa mantan sekaligus pacarnya dalam mobil yang sama?
“Qiya, dari dulu kita temenan, sampe akhirnya kita pacaran dan sekarang udah jadi mantan. Tapi aku masih peduli sama kamu. Apapun yang terjadi pertemanan itu jangan sampe putus. Jadi ayo, pulang bareng kita.” Dengan ragu aku mengangguk. Maaf Hilda aku kembali melanggar kesepakatan. Hidupku sama sekali tidak bisa jauh dari perhatiannya. Aldi adalah setengah hembus nafasku. Selamanya akan tetap menjadi bagian hidupku.
Aldi menarik tanganku. Bersama kita menerobos keheningan. Tuhan pasti mempunyai rencana akan ini. Aku tahu, ada sesuatu yang membuat Aldi memilih berbalik menjemputku. Dia masih peduli padaku.
Waktu cepat berlalu. Kemarin adalah sebuah kenangan. Hari ini adalah kisah yang harus kembali diukir. Aku sedang menyisir rambutku, ketika dering ponsel berbunyi. Kuletakan benda pipih itu di telingaku. “Gue udah bilang! Jauhin Aldi, dia itu pacar gue! Bukan punya lo lagi.” Aku tidak heran lagi. Inilah rutinitas yang biasa kujalani. Dicemburui tanpa alasan pasti. Padahal mendekat pada pacarnya saja aku tidak berani. Sejujurnya Aldi yang memberikan perhatian padaku bukan aku. “Iya kak aku bakal jauhin dia. Bukankah itu yang kulakukan tiap hari?!” Aku mematikan sambungan telpon. Kesal juga kalau tiap hari dicemburui.
Aku melempar sisir yang kupakai. Secepat mungkin menggendong ranselku. Rasanya ingin pergi jauh dari hidup Aldi tapi selalu tidak bisa. Dia terlalu indah di hidupku. Lelaki itulah yang pertama kali memperkenalkan arti cinta padaku. Dia terlalu berarti Tuhan.
Suasana sekolah sangat ramai. Sebuah tangan tiba-tiba menarikku dengan kasar. Dia Hilda, perempuan ini sedang menggiringku ke tengah lapang. Aku pasrah. “Aldi! Sekarang aku minta kamu milih dia atau aku? Dia mantan dan aku pacar.” Katanya tegas. Aku memutar bola mata malas. Hilda bodoh ternyata, namanya pacar, ya pasti sudah menjadi pilihan. Aku yang sudah jadi mantan jelas sudah tersisihkan. Kulihat Aldi menghembuskan nafas sejenak, sebelum akhirnya menatap mataku lekat. Dia menggenggam tanganku, memberikan ketulusan lewan tatapan. Benarkah dia masih mencintaiku? Hilda yang melihatnya segera menepis tanganku. Tak apa, sudah diberi kesempatan menyentuh tangannya lagi aku sudah bersyukur.
“Kamu milih dia Di? Aku loh pacar kamu.” Aldi hanya mengangguk. Tatapannya kembali mengarah padaku. “Qiya aku sayang kamu. Perempuan pertama yang membuat aku kenal arti cinta adalah kamu. Kamu itu jelas akan menjadi sosok terindah bagiku. Kita temenan lantas pacaran, disitu aku belajar banyak hal. Aku tahu arti ketulusan, kebahagiaan dan juga kebersamaan. Aku sayang kamu.” Aku tersenyum bahagia. Kalau saja aku lupa batasan, sudah pasti aku akan menubruk dada bidangnya. Aku mencintainya, sangat.
“Tapi jelas kamu tahu kali ini ada Hilda dihidupku. Dia juga perempuan berharga bagiku. Dia pacarku. Aku sangat mencintainya.” Kalimat itu membuatku sakit. Denyut jantung bersamaan dengan perihnya hati seakan bersatu untuk membuatku menyerah dan memilih pergi.
“Aku mengerti.” Ucapku singkat. “Percayalah kamu memang bukan perempuan pilihanku, tapi kamu adalah perempuan dimana aku sempat memilihmu. Yakinlah, aku menyayangimu namun hanya sebatas teman. Sama halnya seperti awal perjalanan kita dulu.” “Tak apa aku mengerti.” Kali ini aku memilih pergi dari hadapannya. Meninggalkan semua kenangan kita. Aku tahu, semua perjalanan kita dulu hanyalah persimpangan semata. Nyatanya aku bukanlah pilihanmu.
Untukmu lelaki yang kupuja, terimakasih telah jujur padaku. Semua perkataanmu sama sekali tidak membuatku menyerah untuk mengenal arti cinta. Darimu aku belajar bahwa cinta harus mengenal luka. Pun sama, seperti manis yang harus mengenal pahit. Itulah kehidupan. Terimakasih Aldi, berkatmu aku tahu cinta dan luka.
Cerpen Karangan: Linda Yunikasari Facebook: Lindasarii Nama: Linda Yunikasari FB: Lindasarii Aku hanyalah seseorang yang suka menulis.