Nila tak tahan jika harus berpisah dari suaminya, Mas Pram. Sudah setahun ini mereka menjalani hubungan jarak jauh. Sejak 10 bulan lalu Nila mengajukan pindah pada instansi tempatnya bekerja. Selama itu pula dia terus memantau sudah sejauh mana permohonannya itu berjalan.
“Mbak Nila yang sabar ya, insyaAllah dua bulan lagi akan ada mutasi. Sudah kami tembusi sampe pusat mbak”. Bu Ratih menyampaikan itu padaku. Syukurlah bu Ratih… terima kasih untuk supportnya selama ini.
Siang itu Nila pulang dengan perasaan bahagia. tak sabar rasanya ingin menyampaikan berita gembira itu pada Mas Pram. Nila mengambil handphone dari tas kecil. Tapi diurungkan niatnya itu. Nanti sajalah kalau Mas Pram pulang hari sabtu, gumam Nila.
Seperti biasa setiap sabtu pagi, Nila dan aisyah putri satu satunya bersiap siap menjemput Mas Pram di stasiun tawang. Kali ini rasanya kangen sekali. Sudah sebulan Mas Pram tidak pulang, maklumlah banyak tugas luar kota. Apalagi dengan jabatan Mas Pram sekarang ini. Pastilah sulit untuk bisa setiap pekan pulang. Nila maklum dan bisa memahami itu semua. Tapi dua bulan lagi, kami akan selalu bersama, setidaknya setiap malam bisa bertemu menghabiskan waktu bersama. Seraya membatin.
Setelah setengah jam menanti, dari kejauhan Mas Pram tengah berjalan, keluar dari pintu timur stasiun dan kian dekat menuju tempat Nila berdiri bersama aisyah. “pa… gimana perjalanannya?” sapa Nila “yah begitulah ma. Papa bawa oleh oleh nih buat aisyah dan buat mamah juga” “Mama gak mau oleh olehnya ah… mama mau di samping papa aja selamanya” “Ih mama, ntar papa gak bisa kerja dong kalau ditungguin istri papa yang cantik ini” “Hahaha… segitunya sih pa”
Pram mengambil alih setir. Nila menceritakan semua hal tentang permohonan mutasinya ke jakarta. Mas Pram menarik nafas, sambil terus menyetir, Pram menyampaikan keberatannya “Sebaiknya urungakan saja niat mama untuk pindah jakarta ma. Nika terkesiap dan heran “Lho kenapa pa, bukannya papa juga sudah setuju kalau mama minta pindah? “Iya ma, papa tahu mama sangat ingin kita bersama sama terus. Namun setelah papa pikirkan masak masak, hidup di jakarta itu kurang bagus buat perkembangan aisyah. Mama tidak bisa pulang cepat seperti yang mama selama ini rasakan di semarang. Minimal jam 7 malam mama baru sampai rumah. kasihan aisyah juga kan” Nila menarik napas dalam dalam… Hatinya yang tadi begitu bahagia dan bersemangat pada akhirnya harus kecewa. Namun apa yang dikatakan Mas Pram ada benarnya juga. Aku tidak boleh egois dan mengedepankan perasaan ketimbang akal. “Ya sudahlah…”
Tak terasa sudah sampai di depan rumahku Mas Pram melepas sabuk pengaman. Seraya menggenggam tanganku “jangan sedih ya ma” Aku tersenyum meskipun berat. Masih akan terus berlanjut hari hari sepiku, gumam Nila dalam hati “Oh ya ma, papa besok senin mulai cuti sampe sabtu. Kita jalan jalan ya. Mama ambil cuti juga ya”. “Siap Mas Pram ku Sayang, papanya aisyah yang paling keren”
Siang itu kami bertiga menikmati indahnya pantai bandengan jepara. Bahagia melihat Mas Pram berkejaran di antara deburan ombak. Nila hanya memotret saja dari pinggir pantai, sekaligus menjaga barang barang bawaan. Notification whatsapp Mas Pram yang dipopup berbunyi. Popup wa itu terbaca jelas “lagi di mana say… kok gak keliatan dari pagi” pesan wa dari arini, begitu nama yang tertera. Tiba tiba dada Nika bergemuruh, siapa dia berani beraninya panggil say. Rasa ingin tahunya semakin membuatku penasaran “Lagi cuti” “Kenapa cuti gak bilang bilang sama rini Mas… lebih sayang sama yang di rumah ya?” “Bukan begitu rin, Mas Pram kan sudah sebulan ini gak Pulang” “Hehe… iya Mas, sebulan ini kan nemenin rini terus. Biasanya sabtu minggu sendirian terus, alhamdulillah, rasanya hepi banget melewati hari berdua dengan mas pram. Mas bilang apa ke istri selama sebulan itu?” “Ya bilang sama istri kalau Mas lagi banyak kerjaan” “Mas Pram pinter deh… muach…” Ya Allah Nila mulai merasa mules… air matanya tumpah tak terbendung. Nika tak mampu melanjutkan sandiwara whatsappnya berperan sebagai Mas Pram. Arini sekali lagi mengirim pesannya “Mas, persiapan nikah kita sudah 99 persen. Mas tenang aja, pokoknya semua sudah beres”
Dunia serasa gelap, diiringi hujan yang rintik yang kemudian menjadi begitu deras. Aisyah dan Mas Pram terus saja bermain di derunya ombak tanpa mempedulikan hujan yang kian deras. Nila berlari menuju mobil yang terparkir 100 meter dari tempatnya berada. Tubuhnya serasa lemas, air mata terus saja mengalir. Nila tak pernah mengira musibah ini menimpanya. Jadi ini alasan kenapa Mas Pram menyuruhnya membatalkan permohonan pindahku ke Jakarta. Tega-teganya suami tercinta mengakhianati kesetiaan.
Nila menghapus chat dengan arini tadi. Ia pura pura tidak tahu. Akhirnya Mereka kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang Nila hanya terdiam. Ia begitu benci melihat Mas Pram. Mas Pram heran dengan perubahan sikap istrinya itu. Beberapa kali ia mencoba mengajaknya bicara. Nila tak mampu berkata-kata hanya air mata saja yang tak bisa kubendung. Mas Pram menyerah, mungakin hatinya bertanya tanya apa yang sudah terjadi.
Pram kembali ke jakarta, rasa rindunya pada arini tak terbendung. “Malam ini kita ke mana sayang?” “Ke manapun kau membawaku, aku ikut, oh ya makasih ya untuk upaya mas meyakinkan istrimu, sehingga dia percaya kalau mas memang gak bisa pulang karena banyak kerjaan” “Maksudmu?” Pram terkesima dan tak mengerti maksud perkataan Arini “Lho kemarin senin kita sempat wa nan kan mas” “Jam berapa rin?” “Sekitar jam 11 Mas… masa lupa sih” “Coba mas liat wa mu” “Ini lho mas, belum aku hapus” Pram membaca percakapan whatsapp di handphone rini. Seketika itu pula wajah Pram jadi pucat pasi. Kini Pram baru menyadari, kenapa istrinya menunjukkan perubahan sikap. Pram seperti orang bingung, panik. Pram menelpon Nila istrinya, tapi tak juga diangakat.
“Rin, aku harus pulang malam ini juga” “Tapi Mas… bagaimana dengan rencana pernikahan kita?” Rini menjadi gusar “Lupakan saja rin, aku benar benar Pusing, aku mau ke bandara, semoga masih ada tiket ke semarang.”
Pram menulis pesan whatsapp untuk Nila “Ma, maafkan papa ya… telah melukai hati mama. Papa janji akan memperbaiki semua ini. Papa akan pindah semarang dan menjalani kehidupan bahagia seperti dulu. Papa khilaf ma” Tak lama kemudian Nila membalas pesan tersebut “Tak perlu ada yang diperbaiki Mas Pram, hati saya sudah hancur berkeping keping. Saya sudah tidak mau melihat Mas Pram lagi. Lanjutkan hidupmu bersama Arini, wanita yang kau cintai itu yang mampu memberikan kebahagiaan. Kalian sudah mau menikah kan? Artinya hubungan kalian sudah sangat mendalam” Pram membaca pesan itu, tangisnya pecah diujung malam, bagaimanapun ia sangat mencintai Nila. Selama ini ia memang tergoda dengan Arini. Karena seringnya bekerja dalan satu tim, akhirnya kedekatan itu pun terjalin.
Ya Tuhan… Pram merasa benar benar hancur. Duduk di antara penumpang pesawat, pikirannya pergi entah ke mana. Kilas balik kehidupannya bersama Nila seakan semakin menegaskan, sepotong hatinya telah pergi dan membawa luka yang perih. Dan berharap Tuhan mengembalikan semuanya seperti dahulu
Cerpen Karangan: Widi Facebook: Widij[-at-]facebook.com