Tiga tahun kupendam perasaan yang begitu dalam. Begitu dalam hingga sulit bagiku untuk keluar. semakin dalam semakin sesak, tapi apa daya dengan cara inilah aku bisa selalu dekat dengannya meski sebatas teman. Aku takut dia akan berubah jika tahu aku mencintainya. Biarlah ini menjadi rahasiaku seorang, apalagi aku bukan seseorang yang memiliki kelebihan, cukup bagiku untuk sadar diri siapa aku. Ditambah lagi Aku dan dia berbeda keyakinan, semakin sulit. jurang begitu terjal.
Sore itu ketika matahari menurunkan kesombongan di langit tua tak bertepi, di kamar diam-diam aku memandangi wajah seseorang dibalik bingkai foto yang aku cinta, namanya Bob. Dia baik dan sangat baik padaku, karena itulah aku jatuh cinta.
Drett… drettt Handphoneku bergetar, kuamati nama pemanggil yang tertera. astaga Bob? “Halo Bob ada apa?” “Hoshi” Panggilnya pada nama kecilku. “Aku memimpikanmu semalam, kamu baik-baik aja?” “I-ya…” Jawabku sambil menatap bingkai foto dengan keheranan. “Memang mimpi apa?!” “Hemf, syukurlah. kupikir Hoshi kenapa napa. Aku mimpi Hoshi Pergi tinggalin aku sendiri. sedih banget rasanya. Oh, ya sudah. nanti malam jangan lupa latihan Dance ya, bye Hoshi.” Jantungku berdetak keras, Mungkin kalian pernah mengalami hal ini, saat dimana orang yang kita sukai memberi perhatiannya walau hanya sedikit. Ya. Aku seorang Dancer. Adalah hobiku untuk bersatu dengan setiap alunan musik. Mana mungkin aku lupa latihan, apalagi bertemu orang yang kucintai.
Tanpa terasa aku sudah berada di Studio. Sambil menunggu yang lainnya datang tak ada salahnya aku memandangi sejenak langit dari lantai tiga. aku bergegas. Tangga demi tangga kunaiki hingga aku tiba, pemandangan malam ditaburi bintang memang tak ada duanya. Aku menempel di salah satu dinding yang menutupi kaki hingga dadaku, tenang, sesekali kupejamkan mata.
“Ayo, tebak siapa ini” “Bob, iya kan?” Aku meraba tangannya yang dingin. saat itu juga dia memegang tanganku. “Hoshi, ada hadiah buatmu, ini.” Bob memberikanku hadiah, kecil namun apapun itu asal darinya semua berharga di mataku. “Ini… kalung? buat aku?” “iyaa. orang terbaik pantas dapat yang baik, hoshi yang selalu ada disetiap saat. tetaplah seperti itu” Bob memegang tanganku, aku tidak mengerti arti dari pemberian kalung perak yang memiliki bandul lebar seperti bunga. “Terimakasih…” Aku sedikit kecewa, seharusnya dia tidak memperlakukan aku seperti ini, ini hanya akan menambah harapanku untuk menjadi miliknya. Bob memakaikan kalung di leherku. “Shi, simpan kalung ini. jangan hilang ya” Bob masih memegang tanganku, hatiku terbakar asmara. Rasanya aku ingin terbang. Kuhabiskan malam dengan latihan bersama. Malam itu aku sangat bahagia. Walaupun aku sadar betul, semakin bahagia semakin aku akan terluka.
Pagi Menyongsong, kejadian semalam adalah mimpi terindah dalam hidupku. mimpi? tapi kenapa kalungnya menggantung di leherku. “Astaga! Ini bukan mimpi, karena terlalu indah kupikir ini mimpi, jam berapa ini? Astaga sudah jam 9 pagi? Tidak!! Aku terlambat?!” Hari ini di tempat kursus Bahasa Jepangku ada ujian. Apa yang harus kulakukan, tak ada waktu untuk mencari angkutan umum. aku berinisiatif menelepon Bob, semoga saja dia mau mengantarku. Benar saja, dia mau.
Sesaat aku tiba di Lokasi. “Tutup?! Astaga, aku lupa ini kan hari Minggu?! Duh, maaf Bob, sudah jauh-jauh, ngebut juga ternyata aku salah, ini hari Minggu” Ucapku sembari terduduk lemas di Depan Lembaga Kursus Jepangku. “Hoshi dari dulu gak berubah ya, ceroboh dan pelupa. Hemf. Sudahlah… bukan dirimu kalau tidak begini kan…?” “A-ah, ak-u aku…” Akh. Apa aku mengecewakannya, tidak mungkin kukatakan gara-gara terus memikirkan kalung pemberiannya makanya hari ini aku kacau. “Mau gimana lagi, gimana kalau kita cari sarapan, belum makan kan?” “Ya. Ayo!!!”
Sesuai rencana aku dan Bob kini berada di meja makan bundar. Bob menarik kursi plastik untukku duduki. Aku tersanjung dengan perlakuannya. Aku tersenyum ke arahnya. “terimakasih” “Ya, sama-sama tuan putri, aku ke toilet bentar. pesan aja dulu makanannya” Bob beranjak, meninggalkan sebuah Handphone di atas meja. aku duduk sambil melihat sekeliling. Pikiranku tak jauh dari kalung yang kini sedang kupakai. Lamunanku buyar, handphone di atas meja itu mengeluarkan suara pesan. Line yang tanpa sengaja terbaca olehku.
-from Vita- Bob, gimana jadi nanti malam ketemuan? Gak Sabar nunggu kamu, jangan terlambat ya say
Apa yang baru kulihat adalah jelas. Bob mempermainkan perasaanku. Vitha, aku kenal gadis itu, dia teman satu dancer kami. ternyata selama ini mereka? Hatiku hancur. Tapi tiada hakku untuk marah, aku bukan siapa-siapanya. Seketika air mataku menetes. Mungkin inilah jawaban atas doaku. Aku beranjak dari kursi, nafsu makanku hilang. Berlari keparkiran adalah niatku.
Air mataku jatuh terurai. aku sudah tidak sanggup. aku dipermainkan! Tak berapa lama kudengar suara langkah kaki terburu buru menuju ke arahku. “HOSHI! ke-napa per-gi?” Suara Bob terengah engah. “Kau… me-nangis” Bob memegang pundakku, tapi aku menepisnya. “Tolong berhenti bersikap baik padaku, hh..h perhatianmu membuatku terus berharap, semakin dalam berharap aku semakin sadar nantinya lukaku pasti akan sulit disembuhkan” Bob memaku, dari wajahnya menggambarkan keterkejutan serta keheranannya. “Apa maksudnya?” “Sudahlah, Aku sudah tahu semuanya. Aku hanya seorang yang bisa kau permainkan hatinya, sesukamu! mulai sekarang aku akan menjauh dari kehidupanmu. maaf… maaf…” Aku berlari, ke manapun asal bisa menghindarinya. Yang kusadari adalah perasaanku hancur berkeping keping sebelum aku menyatakan rasa cintaku.
Aku kembali ke rumah, kudekap ibuku. dan mencurahkan seluruh isi hatiku. “Dengar nak, sudah jangan kau tangisi, ibu tahu perasaan itu. sudahlah, lupakan.” Ibu memelukku erat. “ingat dengan Jun? Teman masa kecilmu dulu? Dia datang ke sini menagih janjimu dulu.” “Jan-ji apa bu?”, Tanyaku sambil menghapus air mata. “Kau berjanji akan menerimanya. ingat itu janji yang pernah kau buat sebelum dia pergi, jangan mengingkarinya. Sekarang Jun pulang dari Jakarta, dia sudah siap. Dan secara resmi melamarmu pada ibu.” Jun. Kenapa aku bisa lupa pada janji yang kubuat sebelum dia pergi, perasaanku bertambah runyam dan tak menentu, belum siap dengan satu masalah aku sudah dihadapkan pada masalah lainnya. “Dia inginkan jawaban darimu malam ini, tenangkan pikiranmu sayang. Terimalah Jun, tepati janjimu”
Aku kembali ke kamar, sakit hati ini adalah tanda betapa besar rasa cintaku pada Bob, Tapi di sisi lain aku memiliki janji yang tak bisa disingkirkan. Aku harus bagaimana, melanjutkan cintaku yang masih terpendam, atau membuka lembaran lama bersama Jun dengan menepati janjiku? Saat ini aku benar-benar berada di posisi yang sulit untuk kupilih.
drett… Bob calling. Aku memandangi layar LCD handphoneku, aku ingin sekali mendengar suaranya tapi aku sedang tidak ingin bicara sekarang, aku bingung. tanpa sengaja aku menyentuh tombol answer, disaat yang bersamaan pintu kamarku diketuk, Ibu kembali masuk kekamarku, “Jun ingin bicara” Ibu memberikan teleponnya padaku. “Hoshi, ingat aku Aku Jun, ibumu pasti sudah cerita. aku menunggu jawabanmu, aku tak bisa tidur memikirkannya” “Jun? Kalau k-au serius melamarku, da-tanglah ke ru-mahku se-karang-” Aku langsung menutup telepon dari Jun. Disusul dengan tangisan yang tak dapat berhenti. Mulai malan ini, akan kusimpan perasaanku dan menguburnya bersamaan kenanganku dengan Bob. Aku sudah memilih.
Sementara itu di seberang sana, Bob mendengar semua percakapanku lewat handphone. Entah apa yang akan terjadi, aku sudah pasrah dengan keadaan ini. Tak lama berselang, Seorang pria tinggi dengan baju kemeja putih dipadukan dengan celana bahan panjang mengetuk pintu rumahku. Ya. aku membukanya. “Hoshi” Panggilnya. “Apa kau terlalu bahagia karena kulamar sampai-sampai matamu bengkak?” “Jun, kuterima lamaranmu.” Jun terdiam untuk sesaat. “Kau tidak perlu setegang itu, paling enggak suruh tamumu untuk masuk dulu. dari dulu kau tidak pernah berubah, pelupa dan ceroboh.” Kata-kata itu lagi, mengingatkanku pada Bob.
Tak lama berselang kudengar suara langkah kaki terburu buru. Aku menghampiri pintu depan dan melihatnya. “Bob?” Aku terkejut. Tanpa aba-aba dariku Bob memelukku erat, seakan akan aku akan pergi jauh. Aku mematung mencoba artikan semua situasi ini. Ditambah ada Vita. Aku semakin tak mengerti. “Kau mencintainya?” Tanya Bob dengan mata berkaca kaca. “Ya. aku mencintainya” Jawabku mantap. “Bohong! Kau hanya mencintaiku!” “Kalau sudah tahu kenapa kau masih mempermainkanku, Kau tidak mengungkapkan perasaanmu!!! Kau membuatku menunggu pengakuan cinta darimu selama tiga tahun! Tapi apa yang kudapat? Kalian berhasil membuatku terpuruk.” “Kau salah paham” Suara Vita memecah keadaan “Kau pasti baca Line yang kukirim ke Bob, seharusnya malam ini Bob mengajak bertemu denganku karena dia bingung rencananya tidak berhasil, Bob memberikanmu kalung, apa kau tahu yang tersembunyi di belakangnya? dia bingung apa kau membacanya atau tidak, melihat ekspresimu yang terkejut sekarang aku tahu kau tidak membaca tulisan di belakang bandul kalungmu. tapi itu bukan salahmu, harusnya perasaan itu langsung diungkapkan, melihat kalian berdua yang saling mencintai tapi tak pernah mengungkapkannya buat kalian menderita” Semua terdiam, Jun yang ternyata dari tadi di belakangku ikut menyimak.
“Jadi, kau menagis karena lelaki ini hoshi, apa kau mencintainya? katakan Hoshi.” Jun memandangku fokus. “Ya. aku memang mencintainya, tapi ini sudah cukup. Tiga tahun perasaan yang kupendam sudah kudapatkan jawabannya, kufikir aku senang mendengar pengakuan cinta, tapi setelah mendengarnya aku merasa menjadi teman selamanya adalah hal yang terindah selama ini, maafkan aku” Lagi lagi air mataku menyapu pipiku, setelah semua ini terjadi aku menyadari satu hal, ada rencana Tuhan yang lebih baik, juga aku salah mengartikan cintaku pada Bob, cinta itu luas, rasa cintaku selama ini bukan untuk memiliki, namun untuk kebersamaan sebagai teman. Aku belum terlambat menyadarinya.
“Ho-shi” panggil Bob. “Aku pernah bilang, orang terbaik pantas dapatkan yang baik. Aku mengalah, ternyata mimpiku semalam benar-benat terjadi. terimalah lamarannya. Aku selalu mendukungmu. Kurangi cerobohmu, bagaimana mungkin aku mendengar kau dilamar lewat telepon yang pasti tak sengaja terjawab olehmu. Aku pergi shi, selamat untuk lamaranmu” Bob membalikkan badannya, dari belakang aku tahu hatinya sama parahnya dengan hatiku. namun ini yang terbaik. Untukku juga dirinya. Dan malam yang dingin membisu menyamarkan Bob yang semakin lama semakin hilang ditelan kegelapan. Jun memegang pundakku dari belakang, seakan memberiku dukungan. Tapi lagi-lagi hanya air mata yang bicara.
Dua bulan berlalu, hari ini adalah hari pertunanganku. Sambil menatap cermin di hadapanku aku membuka kalung dari Bob untuk pertama kalinya. kulihat belakang bandul kalungku, dan kudapati tulisan yang mengatakan: Hoshi, Maukah kau menjadi belahan jiwaku? Aku tersenyum memandang tulisannya. Kami sama-sama bodoh. “Hoshi,” Panggil ibuku. Jun dan rombongan sudah datang, cepat kemari dan keluar dari kamarmu!”
Sudah kubulatkan tekat, niat baik akhirnya pasti baik. Dan Jun, aku tahu betul pria yang mencintaiku sejak lama itu, dia akan membuatku bahagia. Kuletakkan kalung pemberian Bob di dalam kotak kecil. Selamat tinggal cintaku. Kamu pernah ada di hatiku.
End
Cerpen Karangan: Agnes Rizah Facebook: agnes_rizah[-at-]yahoo.com