“Aku nggak tahu mesti gimana nanggapin kabar itu, Dit. Kenapa harus sejauh itu? Kenapa nggak di Jakarta saja?,” protes Indah disela-sela tangisnya. Tak ada jawaban yang terdengar, hanya sebuah pelukan hangat yang ia rasakan. Setidaknya pelukan itu mampu menenangkan hatinya. “Kamu tau alasannya!” jawab Radit saat ia merasa Indah sedikit tenang. “Itu memang tujuanku sejak aku mulai masuk SMA. Apa kamu mau aku melepas begitu saja kesempatan ini?”
Indah diam seribu bahasa. Kelulusan Radit membuatnya begitu sedih. Bagaimana tidak? Cowok yang baru setahun dipacarinya itu harus meneruskan kuliahnya di Singapura. Walaupun ia tahu itu cita-citanya untuk kuliah di sana, tapi tetap terasa berat saat ini baginya melepas kakak kelas yang selalu mengisi hari-harinya itu.
Angin laut menerpa wajah mereka. Wajah yang mengguratkan kesedihan menanti perpisahan yang tinggal menghitung hari. Sore itu mereka habiskan tanpa suara, menatap lekat ke tengah laut yang mulai pasang.
“Ra… kenapa Radit susah dihubungi ya?” keluh Indah kepada Rara yang asyik dengan bukunya. Indah mulai membuka kotak bekal yang ia bawa dan mulai menikmati santap siang di bawah pohon belakang sekolah bersama sahabatnya, Rara. Merasa tak dapat respon dari Rara, Indah menarik ujung rambutnya. “Aduudududuh… sakit tau!” ringis Rara memegang rambutnya yang ditarik. “Salah sendiri, tau temen lagi galau kok malah dicuekin!” “Lagian kamu kok aneh sih. Radit itu ke Singapura buat kuliah bukan maen, wajar dong kalau dia sibuk!” “Iya juga sih! Udah 6 bulan dia di sana, tapi cuma ngasih kabar 2 kali. Kuliah di negeri orang emang susah kali ya?” Indah menatap kosong ke arah lapangan basket yang sedang dipakai berlatih teman sekelasnya.
“Indah… AWAS!” tiba-tiba dari arah lapangan seorang siswa berteriak. “JDUG…!” sebuah bola basket mendarat mulus di kepala Indah. Alhasil, Indah tersungkur dan refleks Rara membuang buku novel kesayangannya demi menolong Indah. “Aduh… sakit!” ratap Indah mengeluh kepalanya yang terasa benjol.
“kamu nggak apa-apa? Maaf… aku nggak sengaja!” seorang cowok berlari dari arah lapangan basket. “Apanya yang nggak apa-apa! Nggak liat nih kepalaku benjol?” sembur Indah kesal kepada Raihan, cowok tadi yang notabene teman sekelasnya itu. “Coba sini lihat!” tanpa ragu Raihan menarik Indah mendekat. Indah yang memang bertubuh kecil malah tersungkur ke dada Raihan. Tercium olehnya, bau khas cowok yang membuatnya gugup. Tanpa tau kegugupan Indah, Raihan mengelus rambut Indah, membuatnya semakin salah tingkah.
“Mana? Nggak benjol kok!” seru Raihan masih mengelus bahkan terkesan mengacak-acak rambut Indah. “Apaan sih, kamu malah bikin rambutku berantakan tau!” Indah menepis tangan Raihan dari kepalanya. “Ya udah kalau nggak apa-apa. Sorry ya…!” kata Raihan sambil berlari kembal ke lapangan dengan membawa bolanya. Meninggalkan Indah yang masih terpaku di tempatnya.
“Jangan kelamaan lihatnya… nanti naksir!” tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Indah. “A… apaan sih!” elak Indah setelah sadar kalau Rara tahu apa yang ada di pikiran dan hatinya. “Nggak salah sih kalau suka. Toh dia single, ganteng, pinter. Apalagi yang kurang?” “Radit mau dikemanain? Asal aja kalau ngomong!” sembur Indah menutupi perasaannya. “Putus dari Radit! Habis perkara!” “Sembarangan kalau ngomong! Aku bukan tipe cewek begitu. Aku setia!” jelas Indah bangga. “Gimana kalau malah Radit yang nggak setia?” tanya Rara mengintrogasi. “No comment!” jawab Indah sekenanya. Dia tahu Rara tidak suka kalau dia jadian dengan Radit. Dia menganggap Radit cowok playboy. Tapi, selama ini Radit setia padanya, bahkan setelah ia berjauhan sekarang.
Malam minggu kota Jakarta seperti biasanya kota-kota besar pada umumnya. Sorot lampu kendaraan menambah terangnya suasana ibukota di malam hari. Segelas jus jeruk masih utuh menemani malam minggu Indah menghabiskan waktu di sebuah cafe bernuansa klasik. Indah bosan sendirian di rumah jadi ia memutuskan keluar, tapi yang ia menyesal sesampainya di cafe. Pemandangan yang membuatnya iri tersebar di penjuru ibukota, bahkan memenuhi hampir seluruh cafe ini. Banyak pasangan yang menghabiskan waktu bersama.
“Boleh nemenin nggak?” sebuah suara yang tak asing mampir di telinganya. Saat ia menoleh, sosok yang beberapa waktu lalu sempat membuatnya gugup sekarang ada di hadapannya. “Raihan…! Kamu di sini juga? Kok sendiri?” tanya Indah antusias. “Waah… satu-satu dong nanyanya! Segitu senengnya ya ketemu aku di sini?” goda Raihan. “Hehe… seneng aja karena akhirnya aku ada temen ngobrol malam minggu gini.” “Rara?” “Jangan tanya dia deh! Dia lagi sibuk jalan sama cowoknya. Dia udah nyuruh aku diem di rumah biar nggak ‘baper’ lihat orang pacaran. Tapi, karena ortu lagi nggak ada jadi keluar deh biar nggak boring” “Oooh. By the way, Radit masih betah di Singapura? Kok nggak pulang sih? Padahal ini lagi musim liburan.” “Entahlah. Boro-boro pulang, ditelepon aja susah!” “Sibuk mungkin. Positif thinking dong!” “Selalu. Kalau nggak begitu, aku udah lama putus sama dia. Aku masih belajar setia.” jelas Indah sembari menyeruput jus jeruknya. “Senangnya punya pacar setia kayak kamu. Tapi, kalau malah Radit yang selingkuh gimana?” “Nggak tau. Nggak kepikiran aja! Kenapa ya, banyak yang ragu sama Radit, sedangkan aku yang pacarnya fine-fine aja?” “Yaaah… nggak nuduh sih cuma waspada aja. Salah-salah nanti dia kecantol bule Singapur lagi!” “Hahaha… bisa aja. Kamu sendiri, kenapa nggak pacaran?” tanya Indah balik. “Lagi nunggu seseorang.” jawab Raihan singkat. “Waaah… siapa tuh? Emang dia ke mana?” “Dia nggak pergi ke mana-mana. Hanya saja, masih belum saatnya.” jawab Raihan menatap lekat ke arah Indah.
Indah sadar kalau Raihan menatapnya. Untuk mengurangi kerisihannya, Indah memalingkan wajahnya menyusuri ruang cafe. Pandangan matanya terhenti saat seseorang yang ia kenal ada di cafe itu. Ia berjalan mendekati meja itu dengan antusias tanpa menghiraukan Raihan. Raihan hanya terdiam di mejanya setelah tahu tujuan Indah.
“Ra..dit, kamu di sini? Kapan kamu pulang dan kenapa kamu nggak ngasih kabar kepulangan kamu ke aku?” tanya Indah pada sosok yang selama ini dirindukannya. “Indah! Kok kamu di sini?” Radit balik bertanya kaget dan terkesan kikuk. “Aku… aku lagi…” “Hai sayang… udah lama ya nunggu aku?” tiba-tiba seorang cewek datang tanpa melihat ke arahnya dan langsung mencium pipi Radit, membuat jantung Indah serasa berhenti. Wajah yang tak asing baginya. “Rara? Siapa yang kamu panggil sayang?” tanya Indah membuat Rara menjadi pucat pasi sàat melihat Indah berdiri menatapnya. “Indah?? Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku… aku cuma…” jawab Rara terbata-bata.
Indah berlari ke luar cafe tanpa memperdulikan teriakan Rara dan Radit yang memanggilnya. Ia tahu sekarang, kenapa Rara tidak suka ia pacaran sama Radit dan kenapa selalu cuek saat Indah curhat soal Radit. Apa ini juga alasan Rara melarangnya keluar rumah hari ini? “Tega sekali!” batinnya.
Indah berhenti di sebuah halte kosong dengan mata sembab. Ia menunduk menutup wajahnya yang masih terasa panas menahan amarahnya. Sebuah tangan tiba-tiba meraihnya dalam pelukan. Wangi tubuh yang sama yang membuat jantungnya berdegup kencang. Dada bidang yang hangat menenangkan. Indah tak perlu melihat wajah orang itu karena ia tahu siapa orang yang berani memeluknya. Meringankan beban hatinya. Sebuah suara hangat berbisik di telinganya.
“Aku menunggu seseorang sadar dari perangkap kebohongan sahabat dan pacarnya sendiri. Aku menunggu kamu, cuma kamu.”
THE END
Cerpen Karangan: Veronica Facebook: veronica za