Dari kacamata bulat berjenis minus ini kupandang lekat dirimu. Entah apa yang menarik perhatianku, aku tak tahu. Kau tampan, namun tak indah. kau tak atletis, meski tubuhmu terlihat proporsional. Kau tak pintar, kau cenderung pendiam dan penyendiri. Oh, mungkin aku sudah gila jika aku benar-benar menyukaimu.
Dari balik kaca jendela yang kusam ini kuperhatikan dirimu yang diam tak bergeming sementara kawan di dekatmu sbuk dengan ponselnya. Sesekali kau menanggapinya, namun seadanya. Entah, mungkin kau sedang tak enak badan. Aku bahkan tak melihatmu tertawa atau tersenyum saat temanmu tadi tengah melucu. Kenapa? Kenapa aku begitu memperhatikanmu? Apa aku meyukaimu? Apa yang sebenarnya menarik perhatianku darimu? Apa kau seistimewa itu sehingga ku tak mampu memalingkan wajahku meski hanya sedetik saja? Oh, kau benar-benar membuatku ta…
“apa yang kau lakukan, hana-chan? Apa aku mengganggu?” aku tersentak, sebuah suara yang begitu familiar menyapa. “satouru? Ah, tidak. aku hanya memperhatikan langit. Sepertinya nanti sore akan hujan.” Bohongku. Tentu saja, tidak mungkin aku berkata bahwa aku sedang memperhatikan Aruka -juniorku yaang terdiam tadi. dan dia- pria yang menjadi lawan bicaraku hanya melirik sekilas keadaan di luar sebelum duduk di bangku sebelahku. “ini, aku membawakan kamu ini.” ucapanya menyodorkan bingkisan seukuran buku berwarna biru langit kepadaku. Dengan senang hati kuterima bingkisan itu dan membukanya. Dan semakin giranglah diriku saat mendapati bahwa yang ada di dalam bingkisan tersebut adalah beberapa jenis kue buatan tangan yang aku tahu dia sendiri yang membuatnya. Ah, betapa bahagianya hidupku saat ini.
“ayo, makanlah. Makan yang banyak. Aku membuatnya untukmu.” Aku tersenyu senang menanggapi kata-katanya. Dengan cepat kuambil sepotong kue coklat berbentuk hati dan memakannya. seperti yang sudah-sudah, makanan yang selalu ia bawakan untukku rasanya… “enak?” tanyanya. dengan cepat aku menangguk. Segera kutelan habis yang ada di mulutku sebelum mengambil kue yang lainnya. sengaja kuambil dua potong yang mana satu potong aku berikan pada satouru yang disambut dengan senang hati.
“seperti biasa, kau selalu pintar membuatku senang. Kue buatanmu benar-benar enak.” Ucapku. Dia mersenyum tipis tak menjawab, hanya mengambil coklat lainnya untuk ia suap padaku. Dan kegiatan kami berakhir dengan acara saling menyuap persis seperti pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara. Oh, bukan. Kami hanya teman. Teman yang menikmati masa kebersamaan yang tak kami dapatkan setiap hari.
Saat tengah bercandaria dengan satouru, diam-diam aku sering mencuri pandang ke arah luar, tepat ke arah sang junior yang masih tak beranjak. Ia terus diam. Tak berbicara ataupun melakukan sesuatu. Ia bahkan hanya mengangguk singkat saat temannya pergi meninggalkannya sendiri di tengah taman. Kenapa sih dia? Apakah dia ada masalah atau apa? Sifatnya itu sungguh membuatku heran. “hana?” kembali aku terkaget oleh panggilan satouru. Ah, benar. Sekarang aku sedang bersama dia, dan aku melupakan itu. bahkan aku melihat tanganku yang memegang sepotong kue tepat didepan mulut satouru. Ya ampun, bagaimana bisa aku tidak sadar?
Segera kuarahkan kue di tanganku kedekat bibirnya yang sedikit terbuka. Ia terdiam sebentar sebelum menyambut kue dariku. Selagi ia mengunyah, matanya menatap keluar, ke arah dimana aku melihat Aruka terdiam. Namun beruntung, ia telah pergi entah ke mana sehingga yang didapati Satouru hanya taman sekolah yang kosong. Dan aku hanya memasang wajah polos sembari mengangkat kedua bahuku saat ia menatapku seolah meminta penjelasan. “jangan pernah mengalihkan perhatianmu saat sedang bersamaku.” Ucapnya tegas. Aku mengangguk cepat dan kembali menyuapinya tak ingin dia marah padaku.
Klangggggg “upssss… maaf. Sepertinya aku salah tempat” aku terdiam. Bukan kaget akan suara kaleng jatuh ataupun kami yang kedapatan tengan saling menyuapi. Tidak. Ini jauh lebih parah. Dia, Aruka. Junior yang diam-diam mencuri hatikulah yang mendapati kami. Mendapatiku. AKU?! “sebaiknya aku pergi. Maaf” dia beranjak menjauh. Aku hanya diam. Meski sekilas, kulihat ekspresinya yang sulit diartikan itu. bagaimana ini? apa yang harus kulakukan?
Dengan berteman secarik kertas dan pensil serta beberapa bungkus makanan serta minuman bersoda aku terus menggeluti kegiatanku. Tak peduli keadaan kantin yang sepi ataupun ibu kantin yang terus menatapku menunggu aku membayar makanannya tanganku masih saja berkutat tak berhenti. Ahhh… sedikit lagi. Tinggal beberapa garis lagi. Dannnnn…
“sedang apa kau? Kau membolos?” aku terdiam. Tak dapat berkutik seperti seorang maling yang tertangkap basah. Bahkan mengeguk liur pun rasanya susah sekali. Bagaimana ini? “ahhh… hehehehe… Satouru. Kenapa kau di sini? Bukankah kau harus masuk di kelas Miguki-senei?” elakku sembari menyembunyikan lembaran yang telah menjadi proyekku sejak 20 menit yang lalu. Namun sepertinya ia menyadarinya dan segera merampasnya. Sial. Aku kalah cepat. “hmmm?” dia mengernyit, tampak tak mengerti. Ahhhh… bagaimana? Apa dia akan marah padaku? Bagaimana kalau dia berhenti membawakanku makannan dan… dan… “Hana-chan, Tou-kun, love forever. You’re my dream. Oh, my lovely guy” ejanya dengan suara lantang membuatku hanya mampu meneguk liur dengan paksa, bersiap-siap dengan kemungkinan terburuk. “siapa dia? Siapa Tou-kun?” tanyannya serius. Ia bahkan memegang daguku, memaksaku untuk menatap matanya. “i…itu.. dia… dia… ARGGHHHHH… kembalikan. Itu bukan urusanmu.” Segera kurampas kertas itu dan menyembunyikannya di belakangku. Kutundukkan kepalaku sedalam mungkin menyembunyikan wajahku yang kuyakin sudah seperti kepiting rebus.
Dia tak bersuara. Namun aku sangat yakin dia tengah memandangku. Dan itu membuatku semakin salah tingkah. Namun tiba-tiba sebuah belaian lembut mendarat tepat di atas kepalaku. Sontak kudongakkan kepalaku menatap wajahnya yang tersenyum. EHHHH… dia… tidak marah?
Ia segera beranjak ke arah ibu kantin dan berbincang sebentar sebelum mengeluarkan dompet dari saku celananya. Kemudian ia kembali lagi dengan minuman dingin di tangannya. “ughhhh, dingin.” Protesku begitu dia yang seenaknya menempelkan minuman dingin yang dibawanya tadi ke pipi kananku. Segera kurampas minuman itu. Namun dia hanya tersenyum. “ayo Hana-chan, aku antar kau ke kelasmu dan memastikan kau tidak membolos lagi.” Serunya sembari merapikan barangku dan menggandeng tangan kiriku yang bebas. “ehh. Tunggu. Makananku?” protesku ingin melepaskan diri. “sudah kubayar. Ayo!” aku aku terdiam dan hanya mengikutinya. Koridor yang sepi mebuat kami dengan leluasa berjalan sambil bergandengan tangan seperti ini. terlihat romantis. Namun tidak bagiku. Ini aneh. Ada apa dengannya? Kenapa dia sangat berbeda dari biasanya? Harusnya dia marah jika aku membolos dan hanya sibuk menggambar di kantin. Harusnya dia marah jika aku berkata kasar padanya. Tapi dia… dia tersenyum? Bagaimana bisa? Dia telihat sangat senang. Terlihat jelas dari matanya yang meski meatap lurus ke depan namun memancarkan sebuah kebahagiaan. Dan genggaman ini. kenapa terasa lebih hangat dari biasanya? Apa dia sakit? Sedari tadi dia juga senyum-senyum sendiri. Apa jangan-jangan dia…
“ayo Hana-chan, aku antar kau ke kelasmu dan memastikan kau tidak membolos lagi.” aku tersentak mengingat ucapannya tadi. Hana-chan? Apa dia berfikir Tou-kun itu adalah dia? Apa dia berfikir kalau aku menyukainya? Ahh, benar juga. Satouru-kun sangat mirip pengucapannya dengan Tou-kun. Wajar jika dia salah mengira. Tapi biarlah, aku tak tega jika merusak kesenangannya.
“satouru-san.” Sebuah suara menginterupsi kami, sontak kami berbalik ke belakang. Dan untuk kedua kalinya aku dibuat terkejut karena yang memanggil adalah… “Aruka-kun, ada apa?” taya Satouru. Terlihat yang ditanya melirikku sebentar sebelum kembali fokus pada penanya. “anda dipanggil kepala sekolah. Katanya ini sangat penting.” “baiklah, terima kasih informasinya, Aruka-kun.” Satouru-kun berusaha ramah. Namun bukannya membalas, sang junior itu justru tak acuh dan melewati kami begitu saja. Aku yang melihatnya begitu sungguh tak mengerti. Dia… banyak berubah.
“Tou-kun.” bisikku lirih. “ya?” aku tersentak. Panggilanku dijawab. Bukan dari orang yang kumaksud, tapi pria yang tepat berada di sebelahku, Satouru. “kenapa dia selalu mengganggu kita?” elakku tak ingin membuatnya curiga. “ahhh… benar. Dia selalu muncul diwaktu yang salah. Baiklah, aku akan mengantarmu sebelum ke ruang kepala sekolah.” Dia kembali melangkah namun segera kutahan. “tidak perlu. Aku bisa sendiri. Kau pergilah, sepertinya sangat penting.” Ucapku mengambil tas milikku yang ia bawa. “kau yakin” aku mengangguk mantap. Dapat kulihat wajahnya yang sedikit ragu, namun aku tersenyum untuk meyakinkannya. “baiklah. Hati-hati, oke?” ucapnya sebelum mencium puncak kepalaku dan pergi. Aku terdiam.
Bagaimana ini? haruskah kubiarkan atau aku berterus terang padanya? Dia… terlalu baik untuk aku sakiti. Namun aku tak ingin bohong padanya. Tuhan. Semoga ia akan baik-baik saja.
Cerpen Karangan: Yuka Prastiwi Facebook: Nur Afila