Jesica mendekatkan dirinya pada Prayoga di sofa. Prayoga kelihatan aneh dan kikuk. Selain itu dia masih capek baru saja pulang kerja. Mungkin karena mereka duduk saling berdekatan. Memang saat itu hanya mereka berdua yang duduk di sofa ruang tamu, seraya menonton TV. Jesica tersenyum karena dia masih merasa usahanya akan berhasil untuk merayu Prayoga.
“Aku dari tadi mikirin kamu, sengaja nungguin kamu di sini…” sambil meletakkan tangannya di lengan Prayoga. “Sekali waktu saja coba sempatkan waktumu untuk ngobrol denganku, aku butuh teman ngobrol…” “Jesi, aku…” Jesica terus ngomong tanpa henti. “Atau mungkin kamu bisa ngajarin aku cara nulis novel, seperti yang biasa kamu kerjakan di waktu luangmu, asyik banget kan…? aku salut sama kamu, novelmu kini laris di pasaran…” “Baiklah, kapan-kapan kalo ada waktu luang…” sambil berusaha melepaskan tangannya dari tangan Jesica. “kamu capek, kan… sini aku pijitin ya…?” dia tersenyum lalu berusaha memegang kembali tangan Prayoga, kini dengan kedua tangannya. Lama-lama Jesica mengelus lembut tangan Prayoga, “Selama ini kamu nggak tahu, kah, Prayoga? Salah nggak bila aku juga mencintaimu, Prayoga…? Berani taruhan pasti ada sejuta cewek lagi di luar sana yang juga naksir kamu.” “Jesi…!” dengan lebih canggung Prayoga berusaha melepas kembali pegangan tangan Jesica. “Tidak mungkin Jesica, kamu iparku, kamu… kamu… adik dari istriku…”
Yang lebih ditakutkan Prayoga adalah sikap Jesica itu kemudian diketahui oleh istrinya, apa yang akan terjadi…? sebaliknya Jesica malah memandang Prayoga dengan wajah malu-malu kucing, dengan matanya yang hitam dan lentik, tajam, dan menggoda. Jesica nyaris duduk di pangkuan Prayoga. Kini dia merebahkan kepalanya di pundah Prayoga, rambutnya terurai di lengan Prayoga.
Tiba-tiba Prayoga bangkit, sehingga kepala jesica terhempas ke sofa. Tangan jesica tak sengaja menjatuhkan air minum dalam botol kaca di meja kaca depan sofa. Meski tidak jatuh ke lantai tapi botol itu menimbulkan bunyi, dan airnya menumpahi lengan kanan Jesica. Hingga suara itu membangunkan semua penghuni rumah yang sederhana itu. Pintu kamar ibunya terbuka, ibu Jesica keluar, prayoga lebih terkagetkan. Pintu kamar adik Jesica juga terbuka, Putri, adik bungsu Jesica juga ikut keluar dari kamar. Prayoga memandang ke satu arah, dengan sedikit gemetaran, prayoga menunggu pintu kamarnya juga akan dibuka oleh istrinya dari dalam.
“Ada apa Jesica…?” ibunya setengah teriak dari pintu kamarnya. Sedangkan Putri hanya melongo memperhatikan Prayoga dan Jesica. Jesica masih sibuk membenahi botol minum dan meja sofa serta lengannya yang tersiram. “Saya juga kaget, Bu… baru masuk rumah… mungkin Jesica kaget saya masuk tanpa ketuk pintu dulu…” Prayoga berusaha ngeles, sembari berusaha mengelap meja dengan taplak meja. Setelah membalikkan badannya, Desy, istrinya, juga telah berdiri di depan kamarnya, dia juga terkaget. Prayoga langsung meninggalkan meja, dan mendekat menuju istrinya. Prayoga mengecup kening istrinya, lalu memegang pundaknya dan mengajaknya masuk ke kamar.
“Mana tasmu, Kak…?” “Oh… ya… lupa..” dengan gugup Prayoga keluar kamar dan mengambil tasnya yang masih tertinggal di sofa. “Mau saya bikinkan kopi, atau angetin air untuk mandi, kah…?” seperti kebiasaan setiap kali suaminya pulang lembur kerja Desy menawarkan hal itu. Apalagi di Malam minggu ini suaminya pulang selarut ini mungkin sangat lelah. “Tidak usah… aku capek banget…” dia langsung merebahkan badannya di tempat tidur. Memejamkan matanya, pura-pura tidur, meski dia tidak habis pikir, tentang apa yang dilakukan adik iparnya baru saja.
Sebenarnya Prayoga ingin sekali mengajak istrinya ke rumahnya sendiri, agar rumah tangganya lebih baik dan tertata. Namun dia menyadari keadaan keluarga istrinya. Apalagi sepeninggal bapaknya, Desy adalah tulang punggung keluarga. Desy adalah guru di sebuah sekolah swasta di Kota Balikpapan, sedangkan Jesica kuliah semester VII. Dan adik bungsunya Putri dia juga hampir lulus SMA, sebentar lagi juga akan masuk ke bangku kuliah. Ibunya hanya berjualan ikan di pasar pagi pelabuhan Pal 6. Memang Prayoga dan desy baru saja merayakan ulang tahun pernikahan yang pertama, apalagi dia belum dikarunia anak, sehingga Prayoga belum bisa memaksa Desy untuk tinggal di rumah mereka sendiri. Mungkin nanti setelah Jessica lulus dan bekerja, Prayoga akan beranikan diri mengajak istrinya untuk tinggal di rumah mereka sendiri.
Sebelum menikah Prayoga sudah mempersiapkan rumah impiannya, dengan membeli rumah sederhana di pinggir kota Balikpapan. Rumah itu sangat strategis, hanya 10 menit dari tempat kerja Prayoga di Percetakan buku. Selain itu dia juga lebih bebas untuk mengerjakan apapun yang dia inginkan di rumahnya. Dan lebih-lebih dia juga kadang merasa risih dengan adik Desy. Namun semua itu juga demi kebahagiaannya, kebahagian istrinya, dan kebahagiaan keluarganya.
Keesokan paginya, Hari Minggu yang cerah, Putri mengajak kakaknya untuk bersepeda di taman kota, karena dia nggak berani jika bersepeda sendirian. Jesica harus mengantar ibu berjualan ke pasar, sedangkan Desy ada kegiatan pramuka di sekolahnya, maka Desy meminta tolong kepada suaminya Prayoga agar menemani adiknya untuk bersepeda ke taman kota. Betapa senang hati Putri, karena dia akhirnya dapat bersepeda hanya dengan Prayoga. Sebenarnya dia sudah sejak lama ingin mengajak Prayoga bersepeda keliling kota, sambil ngobrol berdua dan menghabiskan minggu pagi hanya berdua saja.
Sesampainya di taman kota, Putri, pura-pura terjatuh dari sepedanya. Prayoga segera menolongnya. Memang tidak ada bekas luka atau lecet, namun Putri masih merintih kesakitan. Seaakan ada yang kesleo kakinya. Kemudian Prayoga mengurut kakinya dengan penuh kasih sayang. Prayoga menganggap Putri adiknya sendiri, sehingga dia memperlakukan adik iparnya itu layaknya adiknya sendiri. Apalagi Prayoga tidak punya saudara perempuan, sehingga dia mencurahkan semua kasih sayangnya seperti layaknya kasih sayang kepada saudara kandungnya sendiri.
Putri meminta bantuan untuk dipapah dibantu diberdirikan, prayoga pun segera membantu Putri untuk dapat berdiri. Ketika dalam pelukan Prayoga itu putri berbisik, “Kak Prayoga…!” “Ya… kenapa… masih sakit…?” jawab Prayoga. “Kakak baik sekali… sudah baik, ganteng, perhatian,… seandainya kelak nanti aku juga punya suami seperti kakak…” mendengar itu Prayoga hanya tersenyum dan menyuruh Putri duduk di sepedanya bagian depan. Prayoga mengayuh dengan hati-hati. Mereka berdua bersepeda pulang ke rumah, dan meninggalkan sepeda Putri di taman.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah putri menyandarkan kepalanya di dada Prayoga, ketika hampir sampai, Prayoga turun dari sepeda dan mereka berjalan kaki karena Putri berbisik kepada Prayoga, “Kak Prayoga…, bolehkah aku bertanya sesuatu…?” “Boleh… mau tanya apa..?” “Kalau dari sisi agama, bolehkah jika seorang suami mempunyai istri yang masih kakak beradik,… Aku Mencintai Kak Prayoga…”
Cerpen Karangan: Marsono Reso Diono Facebook: Marsono Aja