Laki-laki itu kembali tersenyum. Masih sama seperti tiga tahun lalu sejak aku pertama kali menemuinya. Namun senyuman itu bukan untukku, melainkan untuk perempuan yang dicintainya. Mereka berdua sangat cocok satu sama lain, terlihat dari tatapan mereka yang tulus. Apalagi perempuan yang sekarang berada di depannya itu, dia tipe perempuan yang cantik dan lembut. “Lu masih sama ya, cuma kini perempuan itu sudah berada di depanmu. Gak seperti tiga tahun yang lalu, kalian gak sempat satu sekolah.” Gumamku tersenyum yang mungkin tersenyum senang ataupun sedih.
Dari lantai dua ini, aku masih melihat mereka berdua di bawahku. “Halaahh! lu nyebelin banget si!”, “Dasar pendek.” Mereka asyik bercanda satu sama lain. Sedangkan aku, dengan perasaan yang sama. Menginjak keempat tahun ditahun ini. “Eh, lu masih di sini? gak istirahat?” Seseorang menyentuh pundakku, ku menoleh. “Lah? kamu sendiri?” Sahutku, dengan cepat aku membalikkan badanku berhadapan dengannya. “Tadi udah makan kok di kantin, lu kenapa? dari tadi ngalamun mulu. Lu tau gak? si Dilon, udah ketemu pacarnya kan? dihh iri banget dah gue!” Arin, teman sebangkuku kembali berceloteh seperti burung. Aku memakluminya, “Emang gak boleh kalau gue di sini? di kelas sumpek tau gak. Dilon? masa bodo lah!” Aku merasa malas jika membahas laki-laki itu. “Gue iri woyy!” Arin menghentak-hentakkan tangannya, aku menatapnya aneh. “Iri?”
Setelah Arin menceritakan semuanya padaku, aku kini mengerti. Dia menyukai Dilon, sama sepertiku. Namun ketahuilah bahwa Arin tak tau jika kini aku menaruh rasa ke Dilon selama ini. Semuanya gelap, tak ada celah untuk masuknya cahaya. Harapanku musnah, inikah saatnya aku berhenti mencintainya?
“Lam, jajan yuk?” Arin menyadarkanku, aku mengangguk setuju.
Sepulang dari kampus, aku sengaja tak menaiki becak hari ini. Aku ingin berjalan supaya aku bisa menikmati sore di kota besar. Rumahku dan kampus jaraknya jauh, hingga aku harus ngekos yang gak jauh dari kampus. Kurogoh sakuku, kosong. Ternyata uang bulananku habis. “Argh!” menyebalkan.
Kubuka lembaran buku berisi kalimat-kalimat bahasa inggrisku. Kucoba memahaminya. Gagal. Suara perutku terdengar kembali. “Laperrr” Aku menghela nafas pelan. Juga berpikir “Aku harus bekerja,” Tapi bekerja seperti apa? Ya tuhan gak enak kalau minta uang bulanan lagi ke orangtua.
Malamnya sekitar pukul setengah tujuh aku keluar dari kosku, berjalan menuju alun-alun kota untuk melamar kerja. Ternyata ada sebuah lowongan pekerjaan, yaitu merangkai bunga di Toko Flowersly. Untung saja aku ahli dalam soal bunga. “Lamy, gaji bekerja di sini tergantung pelanggan yang datang ya. Juga seramahlah mungkin ke pembeli supaya banyak yang datang di sini.” Aku menyanggupi perkataan bosku. “Siapp bu!” “Bekerjalah besok, jam 1 siang sampai jam 8 malam.” Aku mengangguk senang.
“Selamat siang dan selamat datang di Toko Flowersly mau memesan apa?” Sapaku ramah kepada pelanggan yang baru saja masuk. Deg! Dia Dilon! “Lu bekerja di sini, Lam?” Ucapnya santai. “I.. iya! mau pesan bunga?” “Mm ya..” Dilon melihat sekeliling, “satu buket bunga dengan harga seratus ribu ya!” Lanjutnya. “Tunggu ya, Di!” Sahutku cepat.
Aku bergegas menuju ke bangku merangkai. Aku membuat rangkaian bunga yang indah, dengan sesuai harga yang diinginkan. Lima belas menit akhirnya rangkaian yang kubuat jadi. Kuserahkan kepada Dilon, lalu menerima bayarannya. Dia sempat tersenyum sekilas ke arahku, namun aku tak menyadarinya.
Kini banyak pelanggan yang datang ke toko tempatku bekerja. Raut bahagia bosku, aku juga senang melihatnya yang sebelumnya ingin menutup toko ini. Bosku percaya dengan keindahan rangkaian bunga buatanku akan memajukan toko bunga ini.
Aneh, sudah seminggu ini Dilon gak masuk ke kampus. Firasat anehku ini semakin mencuat sejak Arin memberitahuku. “Lam, Dilon kecelakaan. Dia kecelakaan seminggu yang lalu, dia udah siuman dari kritisnya. Kelas kita mau menjenguknya di rumah sakit. Mau ikut? ntar aku bonceng kamu ya?” “O-oke Rin,” Apa? seminggu yang lalu juga ia sempat membeli satu buket bunga di toko bosku.
Dengan kendaraan masing-masing dan ada yang ngebonceng. Kami, semua teman sekelas Dilon sehabis pulang kampus berniat menjenguknya. Ada yang sengaja membeli roti ataupun buah.
“Dilon, semoga lekas sembuh ya!” Opi, ketua kelasku memberinya semangat. “Lain kali hati-hati, kan lagi musim hujan” sahut Ila. Mereka satu persatu menyalami Dilon dan mengucapkan semoga cepat sembuh kepadanya. Aku, di sini masih memandangnya sendu. Sehingga kini tiba giliranku untuk menyalaminya. Braakk! pintu kamarnya dibuka keras, ku menoleh. “Sayang!!” Wajahnya yang lembut itu berubah histeris. Ia berlari langsung memeluk Dilon. Aku, menyingkir dari mereka berdua. “GWS sayang! ya ampun, hiks! maaf ya! gara gara aku..” Dilon mengusap rambut kekasihnya perlahan dan menatapnya sendu “Gak papa, sayang,”
“GWS, Di.” Aku masa bodo ia melihatku atau tidak. Mendengarkan ucapanku atau tidak. Yang terpenting aku harus keluar dari ruangan ini, sakit yang kurasa semakin bertambah.
“Lam, gue bareng Yena ya! lu pulang sendiri gak papa kan?” Ku mengangguk, Arin melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahku. Langkahku berat, aku bosan begini. Menunggu seseorang yang tak pernah menoleh ke belakang dan melihat keberadaanku.
“Lam,” Suara asing itu memanggilku, “Apa?” “Tolong berikan ini ke Dilon ya! aku berharap dia bakal ngerti. kamu suka dia kan?” Apa maksudnya? “Apa maksudmu?” “Aku gak bisa jaga Dilon, jagain ya demi aku!” Olan, kekasih Dilon tersenyum lembut ke arahku. Ia pun pergi berlari meninggalkanku. Kulihat surat di genggamanku. Bingung.
“Dil, ini dari Olan.” Tanganku gemetar memberinya surat dari Olan. “Apa ini?” “Gak tau” Dilon membuka surat itu, dan membacanya. Ekspresinya berubah.
“Apa apaan! lu!” “Apa maksudnya?” Aku gak ngerti apa ucapannya yang tiba-tiba saja menyentakku. “Lu suka gue hah? tapi gak gini juga!” Dia melemparkan surat itu ke arah wajahku, pas. Emosiku meluap, tapi kutahan. Aku bergegas cepat meninggalkannya.
Hingga Di mading sekolah surat itu diperlihatkan, apalagi di gedung utama. Banyak orang yang mengerubunginya. Aku hanya menangis di dalam kelas. “Lam, lu suka Dilon ya? jahat ya lu sama gue! katanya gak suka??! dasar cabe!” Arin menggebrak mejaku keras, aku tersentak kaget. “Rin, gue gak gitu! plis itu salah paham!” Aku memegang tangannya, mencoba supaya Arin percaya padaku “Gue benci lu!” Dia melepas paksa peganganku lalu pergi ke luar kelas.
Bagus! Hanya karena surat itu nama baikku tercoreng. Semua teman sekelasku menjauh. Bahkan Dilon selalu memarahiku. Aku benci semua! seharusnya aku gak nerima surat jebakan itu!
Bahkan Toko Flowersly kini sepi, tapi aku yakin bosku ini tak percaya akan fitnah itu. Aku bahagia, ternyata bosku tak percaya. Tapi tak ada cara lain, daripada bunga-bunga itu layu di dalam toko. Akhirnya Toko Flowersly ditutup. Bosku banyak berterima kasih padaku dan meminta maaf. Sebagai gantinya ia memberiku gaji dua kali lipat.
Di kampus masih sama, aku gak bisa diam dari semuanya. Aku harus cepat menyelesaikan masalah ini. Aku mencari nomor ponsel Olan, berharap ia akan menjelaskan semuanya. Hanya Olan yang bisa menyelesaikannya! Dua hari aku mencari nomornya, entah dari manapun itu.
“Hallo?” Omongku pelan ketika sudah tersambung “Ya? ini siapa?” “Ini aku, Lamy. Ini Olan kan?” “Oh.. Lamy? ada apa?” “Lan, plis balik ke kampus. Jelasin semua ke Dilon. Surat itu hiks.. surat itu membuatku dibully di kampus hiks hiks” “Maaf, Lam. Tapi aku gak bisa. Aku.. bener gak bisa.” “Jadi.. kamu mau kalau aku terus diginiin?” “Gak gitu, Lam. Lam.. aku sakit.. aku gak kuat berdiri..” Dugaanku selama benar. Aku ngerti kata-katanya ketika ia ngomong padaku. Aku memanggil Dilon, dengan ketakutan. Dilon langsung menyahut ponselku.
“Sayang?” “Ini siapa? Dilon?” “Ya, ini aku. kenapa gak bilang kalau kamu sakit? jadi kita putus itu…” “Maaf ya, Semua karenaku kan? Lamy kena kesalah pahaman ini. Gak seharusnya dia mendapat begini. Aku sakit, kata dokter aku gak bisa bertahan lagi. Makannya aku suruh Lamy buat jagain kamu kalau misal aku gak bisa jaga kamu. Dia tulus sama kamu. Maaf juga ya kemarin kamu kecelakan gara-gara kamu emosi karena aku. Waktu itu aku sedang terapi. Aku harap kamu bisa ngerti.” “Gak! sekarang kamu di mana sayang? aku pengen ketemu” “Gak usah ketahui aku di mana, pesan terakhirku, selesaikan masalah ini.” Terdengar suara bising dari telepon Olan. Sepertinya ada sesuatu di sana. “Gak!!”
Aku masih di bawah pohon, melihat Dilon takut. Kulihat wajahnya berair, aku pun juga. Aku tau perasaanmu, Dilon. Dia menghampiriku dan memegang tanganku. Ditaruhnya ponselku di genggamanku, kutatap sedih. “Gue tau perasaan lu, Dilon.” Aku menundukkan kepalaku. “Maaf ya, gue bakal nyelesaiin masalah ini. Tenang aja.” Ucap Dilon dengan suara seraknya.
END
Cerpen Karangan: Latania Rokhim Facebook: Latania Rokhim