Aku mengagumi malam untuk ketenangannya. Adalah waktu yang tepat untuk merebahkan letih di sepanjang siang ini. Lagi dan lagi sepertinya malam senang untuk mempersembahkan hasrat yang semakin menggebu di dalam hati, ya keinginan itu.. Keinginan untuk berbicara, memaksaku mengakui cinta untuk seseorang yang harusnya dia atau mungkin siapapun tak perlu tahu.
Malam-malam lain datang di waktu yang sama, aku seperti berlatih menahan batin. Meyakinkan nurani untuk berhenti. Bukan, bukan meyakinkan tapi sedikit memaksa.
Raka, pria itu selalu datang untuk menitipkan tanya yang lama kelamaan menguraikan isyarat. Salahkah aku yang berprasangka ia ingin, ingin mengutarakan resah namun ia terlalu takut untuk ungkapkan isi hati? Atau ingin utarakan rindu, karena tak kunjung jumpa untuk sekedar beradu pandang? Mungkin.
Kadang dalam setiap perjumpaan kita, ia seolah mencurahkan rasa dalam tatapan. Ada gerak-gerik yang tak biasa sampai akhirnya perjumpaanlah yang mengumpulkan makna.
Kita tersekat pada realita percintaan yang seharusnya rasa seperti ini tidak hadir di antara kita. Segitiga cinta bersemi di antara dia dan dirinya, dan aku telah bersama seorang kekasih yang juga mengenalnya.
Benci juga memendam kebohongan ini, tapi aku pun tak bisa memilih untuk meninggalkan seseorang di sampingku saat ini. Dilema mulai membelenggu, hasrat semakin menggebu namun menggerutu, sebisa mungkin menahan resah di hati yang sendu.
Dua cinta satu hati. Bagaimana akan kubagi? Sepertinya tidak mungkin terus begini. Waktu tak mungkin menunggu, aku telah menghabiskan banyak hari dengan Arga di sampingku, padahal separuh dari hati itu aku simpan di sela-sela ruang cerita ini, sementara di sana Raka terus berusaha mencari wanita lain yang sesekali aku menyaksikannya dari kursi itu.
Iya, kursi dimana Raka tepat di hadapanku dan wanita itu juga di sampingnya. Seperti bersandiwara, aku memainkan peran dengan sangat baik.
“Mau pesan apa beb?” Arga menggubris lamunanku yang sedang terpaku menatap Raka dan wanita itu. “Eh iya, hmm aku mau Orange Juice aja deh” jawabku santai berharap berhasil mengelabui resah yang kala itu mencuat. “Oke, deh” Arga pun memesankannya untukku. “Beb, aku ke toilet dulu ya sebentar” Pamit Arga. Dalam hati menggerutu “aduhhh..!! Arga ngapain sih pake ke toilet segala. Duh, males banget ngeliatin mereka berdua”
Menjadi bulan-bulanan perasaan, bertingkah seolah semua baik-baik saja, memalingkan pandang ke kanan dan kiri hanya untuk menutupi resah ini, resah ketika kau bersamanya.
Lima menit kemudian Arga datang. “Hufft, akhirnya!” gumamku dalam hati.
“Eh photo yuk!!” ajak wanita itu. “Ayok.. Ayok..” Raka menyahut girang Cekrek.. Cekrekk..
Berharap waktu berputar lebih cepat. Ingin segera menyudahi pertemuan ini, namun sepertinya waktu tak bertelinga jadi kunikmati saja saat-saat menyesakan ini. Sendiri..
Lima hari berlalu, masih terasa pilu mengingat semua perasaan yang semakin menyudutkanku hari demi hari, membendung kata-kata untuk menyuarai kejujuran.
“Utarakan!! Utarakan!!” berseteru sendiri dengan batin.
Seperti hari ini, Aku tengah bersama dengan Arga menyusuri jalanan malam hari kemudian memasuki sebuah kedai untuk mengisi amunisi di perut kami yang mulai keroncongan.
Tiba-tiba Arga merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. “Halo.. Ka, lo di mana gue di Kedai Warna nih, kemari deh lo” Lagi dan lagi Arga mengajak Raka bertemu.
Selang beberapa menit kemudian, aku membalikkan pandangan ke belakang dan tepat di belakangku Raka berdiri, kemudian menyapaku dan Arga. Tanpa mempedulikan Arga, Raka mendekatiku dan menyentuh wajahku, dalam sentuhan itu Raka seolah mencoba untuk mengungkapkan sesuatu, entah apa aku juga sulit merangkumkannya namun hanya sebentar saja Raka memandangku dan kemudian..
“Kukuruyuukk.. Kukuruyuuuk..” Alaram ponselku berdering pertanda menyudahi mimpiku. “Ahk!!! cuma mimpi..!!” menggerutu kesal
Selalu seperti ini, dihantui bayang dan dihampiri mimpi tentang dia. Dia yang tak pernah berhasil membuatku pergi. Dia yang tak pernah membuatku jera untuk berkhayal tentang kita.
Sampai dihari ini, di detik ini juga, tak mungkin aku menguntai kata, tak mungkin juga utarakan rasa. Biarlah aku nikmati asa untuk memeluk bayangnya saja. Karena terkadang tak semua rasa harus terungkap, tak semua kata harus terucap dan tak selalu mimpi harus dicapai, seperti ini, cinta yang hanya bisa nyata di mimpi.
Cerpen Karangan: Novalina Pricilia Facebook: Novalina Pricilia