Beberapa hari telah berlalu, sebelumnya hanya dirimulah seorang wanita yang kucinta, jika aku lebahnya maka dirimulah bunga yang sungguh membuatku terpana. Namun kini, seiring berjalannya waktu, di antara sekian banyaknya bunga yang kutemukan di sekitaranku, sekuntum bunga mulai menarik perhatianku, aku menyukai seorang wanita yang mana kau mengenal dirinya. Aku tidak pernah bisa membaca apa yang kamu pikirkan tentang kedekatanku terhadapnya, dan aku tidak bisa menyimpulkan kecemburanmu padaku, karena aku tidak tahu bahwa dirimu juga menaruh perasan yang sama padaku kala itu.
Seiring berjalannya waktu, aku tahu dirinya telah ada yang menjaga, tetapi entah mengapa aku justru merasa nyaman berada di dekatnya. Saat itu aku tidak pernah tahu bahwa nyatanya kau cemburu, kau berusaha membalas kecemburuanmu kepadaku dengan menjalin hubungan dengan pria yang entah aku ketahui asal-usulnya.
Seiring berjalanya waktu, aku tahu aku cemburu pada dirimu. Aku tahu seberapa dalamnya perasaan cintaku padamu hingga kurasakan betapa sakitnya melihat kedekatanmu dengan pria lain. Aku merasa bahwa benar dirimu juga menaruh rasa yang sama terhadapku, tapi nyatanya aku tidak bisa mengungkapkan apa yang kurasa itu kepada dirimu.
Seiring berjalanya waktu, luka di hatiku akibat dirimu terobati oleh dirinya, dirinyalah yang menemaniku, mendengarkan segala ceritaku tentangmu, dan itu terjadi kala aku melawan betapa sulitnya untuk melupakanmu.
Waktu yang terus berlalu, membawa kedekatanku dengannya bagaikan dua kutub magnet yang berlawanan, semua orang berpikiran bahwa aku dengan dirinya begitu serasi selayaknya pasangan elektron atom clor di antara dua atom clor yang terikat oleh masing-masing elektron tunggal di kulit terluar, kalau kau tak mengerti atom-atom terikat oleh elektron, dan clor mempunyai elektron tunggal di kulit terluarnya. Dan akulah elektron itu dan dirinyalah elektron tunggal atom clor yang lainya, apabila atom clor yang kutempati dengan atom yang dirinya tempati saling mendekat, maka aku dan dirinyalah yang membuat ikatan dengan berpasangan.
Waktu-waktu terus berlalu, perlahan kulihat perubahanmu, nyatanya kini dirimu telah memutuskan hubungan dengan orang yang pernah membuatku cemburu terhadap dirimu. Aku tahu, mungkin kamu merasakan seberapa sakitnya yang aku dapatkan ketika melihatmu bersama orang lain, dan kini biarlah kamu menanggung betapa sakitnya apa yang sebelumnya dirimu pernah berikan padaku.
Namun suatu hari, aku terjatuh sakit. Nyatanya kamu masih menaruh rasa simpati padaku, sehingga mengajak teman-teman untuk menjengukku, aku menunggumu, dirinya serta teman-teman yang lainya. Namun saat kutahu kecelakan yang menimpamu dan dirinya di jalan membuatku tergerak untuk segera mencari tahu kabarmu dan dirinya.
Aku melepas semua selang yang menempel di tubuhku, aku berlari menemui dirimu dan dirinya di ruang Gawat Darurat, saat kutanyakan kepada teman-teman tentang apa yang terjadi terhadap dirimu dan dirinya, nyatanya benar. Kamu memanglah baik, kamu mengajak teman-teman menjengukku, dan suatu ketika teror terjadi di jalanan, polisi beradu tembak dengan kawanan penjahat, saat itu bus yang kamu dan dirinya serta teman-teman tumpangi berhenti dan semuanya berhamburan keluar.
Kala itu kamu berlari dan dirinya melihat dirimu dalam bahaya. Mobil kawan penjahat itu melaju kencang ke arahmu, saat itu dirinya menyelamatkanmu dengan mendorongmu ke terotoar, saat itu betapa malang nasibnya, bersimbah darah di jalanan, kala itu dirinya yang terluka parah, menatapmu yang tak sadarkan diri, kamu tidak akan tahu, dirinya lebih memperhatikanmu ketimbang keadaan dirinya.
Aku menunggumu dan aku mendapati kamu akan kehilangan ingatanmu, dan aku mendapati kabar yang buruk lagi bahwa dirinya telah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Betapa sakitnya, betapa hancurnya, bagaikan berada dalam samudera yang tenang lalu awan hitam dan ombak menerjang perahu yang kutumpangi, bahkan meskipun teriris pisau sekalipun, takkan berbading dengan rasa sakit yang aku rasakan betapa aku kehilangan dirinya.
Bunga yang kucinta telah layu dan dicabut di pekarangan rumah pemiliknya, yang maha pencipta dan penguasa alam semesta telah mengambilnya dari kehidupan dunia yang fana, sungguh menyakitkan jika aku harus kehilangannya.
Seiring bergulirnya waktu, aku menghadiri pemakamannya, sungguh betapa inginnya ku memeluknya, memberikan senyum terakhirku untuknya, serta salam perpisan kepadanya, tetapi itu hanya sebuah keinginan yang takkan bisa dibayar dengan apapun di dunia yang fana.
Waktu-waktuku di sekolah, kini terisi untuk meratapi perasaanku kehilangannya, aku belum bisa untuk membayangkan bahwa dirinya telah tiada, namun bagaimanapun juga aku harus bisa untuk menerima takdir dari yang kuasa.
Kian hari kian banyak kuhabiskan untuk mencurahkan perasanku dengan sebuah tulisan, sekiranya inilah obat yang bisa kudapatkan untuk mengobati kesedihanku kehilangannya, dan kini muncul dirimu kembali dalam lingkup kehidupanku. Saat teman-teman menceritakan apa yang terjadi kepadamu sewaktu kecelakan itu, aku melihatmu bersedih, mungkin kamu tahu itulah sebabku menjauhimu serta tak mau ada dirimu di dekatku.
Suatu hari, hujan rintik-rintik. Di tengah pemakaman, aku melihatmu berdiri di hadapan peristirahatan dirinya, saat kulihat tanganmu mengusap patok peristirahatannya, kamu tidak tahu aku melihatmu, bahkan mengalirnya air matamu aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan adalah sama halnya dengan apa yang aku rasakan.
Suatu hari, aku berdiam di belakang kelas. Aku mendengar, temanmu membacakan karya tulisanku “Di antara dua bunga yang memabukan”, dan betapa pandainya temanmu itu menafsirkan bahwa kedua bunga itu adalah dirimu dan dirinya yang telah pergi. Temanmu juga menceritkan tentang kejadian kecelakaan itu, bahkan ketika temanmu menceritakan tentang cerita cintamu, diriku dan dirinya membuatmu bertanya banyak hal yang telah hilang dari ingatanmu, aku bisa merasakan kesedihanmu dari nada bicaramu.
Suatu ketika, aku berdiri di atas gedung sekolah, menunggu senja hilang di pelupuk mata. Kamu berjalan menghampiriku, dan aku berdiri menghadap dirimu, kamu berjalan ke arahku dan kamu berkata “maaf …, seharusnya waktu itu aku tidak seharusnya mengajak dia untuk menjengukmu!.” “kamu salah!, kata maaf tidak seharusnya kamu ucapkan!, bagaimanapun juga itu adalah skenario sebuah kehidupan, aku tidak menyalahkanmu dalam hal ini.” “tapi bagaimanapun juga, aku merasa bersalah melihat kamu seperti ini terus.” “aku seperti ini, karena aku menghukum diriku sendiri, dan inilah hukaman yang bisa aku nikmati, ketika fajar menampakan diri semangat memulai hari sangatelah tinggi, terkadang di tengah hari sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, dan kini senja telah tiba, aku ingin menikmati, sebelum gelapnya malam menampakan bintang yang bertaburan, dan aku ingin segera melihat bintang-bintang bertaburan.” “bagaimana jika gelapnya malam ternyata tanpa bintang yang kamu inginkan?.” “aku akan tetap menunggunya tampak.” “bagaimana jika bunga yang dulu kau inginkan, benar-benar kau dapatkan?, apa kau akan tetap memilih bintang-bintang?.” “bunga yang dulu kuinginkan telah didahului orang, aku telah mengenal bunga yang membuatku senang, namun hanya bertahan sementara sebelum sang pemilik mencabutnya, jika waktu bisa diputar ulang, aku akan tetap memilihnya.” Saat mendengar jawaban terakhirku, kulihat dirimu terdiam, kamu menatapku dan kulihat kesedihanmu, kamu membalikan pandanganmu lalu pergi meninggalkanku.
Kini yang kudapatkan adalah sebuah pukulan, bukan sebuah cinta yang indah, bukanlah sebuah cinta yang membuat bahagia, ataupun cinta yang membuat kebanyakan orang tergila-gila dan dimabuk cinta. Yang kudapatkan adalah apa yang dinamakan hukuman cinta.
Cerpen Karangan: Anonim Underachiever Facebook: https://facebook.com/muhammad.fajaradrianza.3 Muhammad Fajar Adrianza (10/25/2016) Saya senang menulis atas dasar Filsafat, Psikologi dan Astronomi serta ilmu-ilmu alam lainnya