Matahari pagi menyapa tidur Lisa. Pagi ini matahari memancarkan sinarnya melewati ventilasi dan menembus jendela beserta gorden berwarna putihnya. Seketika itu Lisa terjaga dari tidurnya. Ia baru saja melewati malam di rumah barunya. Oh bukan. Mungkin lebih tepatnya di rumah suaminya. Lisa baru saja melangsungkan pernikahannya kemarin. Ia menikah dengan seorang pemuda yang tampan, berkulit putih, cerdas, dan cukup sukses pada karirnya sebagai seorang dokter muda di salah satu rumah sakit pemerintah di kota tersebut. Jika sebagian wanita menyukai pria dengan mata sipit, namun tidak dengan Lisa. Lisa kurang tertarik dengan pria bermata sipit meskipun dirinya juga memiliki mata yang sipit. Pernah terbesit dalam benaknya untuk menikah dengan laki-laki yang memiliki mata bulat besar untuk memperbaiki keturunannya. Namun cita-cita tersebut telah lenyap bersamaan dengan berlangsungnya upacara pernikahan secara adat Bali yang dijalaninya kemarin bersama suaminya.
Dilihatnya lelaki itu sedang terbaring tertidur pulas di sampingnya. Sebenarnya, dalam hatinya ada rasa kalah ketika melihat wajah tersebut. Bagaimana tidak, ia menikah dengan seseorang yang bukan dicintainya. Pernikahan ini karena paksaan dari orangtua kedua belah pihak. Dan sebagai laki-laki, Astara Parastita tidak menolaknya. Entahlah, Lisa tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh laki-laki itu. Namun satu hal yang pasti, sebagai anak perempuan yang selalu menuruti perintah orangtua, Lisa seakan-akan tak berdaya untuk menolak rencana pernikahan ini. Meski ia telah mengakui bahwa ia telah jatuh hati pada seseorang dan telah menjalin hubungan dengannya selama kurang lebih 3 tahun ini.
“Hei, bangun!” Lisa membangunkan Astara dengan lembut sembari menggoyang-goyangkan tubuh suaminya itu. “Ini sudah siang, ayo bangun!” “Hmm … kenapa Lisa?” dengan suara parau dan mata yang masih terbuka setengah Astara mencoba menyahuti Lisa. “Apakah aku sudah terlambat untuk bangun pagi?” “Memangnya jam berapa sekarang?” “Jam 06.45 WITA.” “Belum.” “Belum? Maksudmu? Apakah jam tujuh kurang lima belas menit belum termasuk terlambat untuk bangun pagi bagi seorang istri?” Astara Parastita menatap Lisa dalam-dalam dan menaikkan alisnya mendengar perkataan Lisa “Seorang istri katamu? Apakah Lisa yang aku tahu selama ini menolak keras pernikahan ini sudah bisa menerima kenyataan bahwa sekarang kita sudah suami-istri?” “Ah sudahlah. Jangan berpikir terlalu banyak.” Lisa mengibaskan tangan di depan wajahnya dan kemudian pergi meninggalkan Astara
Hari ini adalah hari pertama bagi Lisa untuk bekerja setelah tujuh hari absen karena pernikahannya. Udara begitu segar. Sehingga menggoda Lisa untuk menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Namun tak lama, udara yang segar terasa sesak di dada ketika Lisa melihat dosen muda fisika berjalan di kejauhan. Masih ingat betul dalam otaknya bagaimana ia menyudahi hubungannya dengan dosen tersebut karena ia harus menikah dengan Astara. Masih tersimpan rapi juga dalam ingatannya bagaimana Harta Wiguna -dosen muda fisika- menungguinya ketika ia menemani para mahasiswa praktikum mata kuliah Mikrobiologi. Harta Wiguna rela menunggu berjam-jam hanya dengan alasan ingin menemui Lisa. Meskipun mereka mengajar pada universitas yang sama, pada fakultas yang sama pula, namun mereka jarang memiliki waktu berdua karena alasan sibuk bekerja. Itulah alasan mengapa Harta Wiguna rela menunggu Lisa dalam hingga hitungan jam.
Dering telepon membuyarkan lamunannya. Ketika dilihat, tertera nama Shivany di layar ponselnya. Shivany merupakan teman kuliah Lisa sewaktu meraih gelar sarjana di kampus ini. Ya.. Lisa, Shivany, Harta dan Sinta kuliah S1 di kampus ini, namun Harta kuliah dengan jurusan yang berbeda. Kemudian Lisa dan Harta melanjutkan pendidikan hingga magister dan menjadi dosen di kampus ini. Sedangkan Sinta dan Shivany kuliah sampai sarjana dan bekerja sebagai guru biologi di salah satu sekolah negeri di kota ini. Semenjak Lisa menjalin hubungan dengan Harta, Shivany dan Sinta juga akrab dengan Harta.
Hari ini Shivany mengajaknya bertemu di taman kota sambil menikmati es teller favorit mereka. Namun Shivany begitu lama, hingga setengah jam menunggu barulah kelihatan tanda-tanda kehadirannya. “Hai Lis, sudah lama menunggu?” “Menurutmu?” jawab Lisa dengan muka datar. “Jamku baru menunjukkan jam setengah lima sore, bukankah aku hanya terlambat setengah jam?” Shivany mencoba menggoda Lisa yang kelihatan sudah lelah menunggu. “Hmm sepertinya kebiasaan burukmu itu harus dihentikan Shivany, tidak mudah untuk menemukan orang yang sabar sepertiku. Tapi omong-omong, ada keperluan apa hingga kamu harus mengundangku kemari?” “Ah bukan hal yang penting hahahaha.” Shivany mulai mengatur tempat duduknya. “Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah menikah dengan Astara. Karena yang aku tahu, kamu begitu berharap bisa hidup bersama Harta”
Lisa kemudian menceritakan kehidupannya setelah menikah dengan Astara. Ia menceritakan bagaiamana mertuanya yang baik hati menerimakanya dengan senang hati di rumah suaminya. Ia juga menceritakan bagaimana ia harus menjadi ibu rumah tangga di rumahnya dan membantu mertuanya untuk menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mengurus suami, dan masih banyak lagi.
“Lalu, kapan kau akan pergi bulan madu?” Shivany menyeletuk dan memotong cerita Lisa. “Oh tidak! Aku hampir saja tersedak mendengar pertanyaanmu. Akan kujelaskan. Aku tak akan pernah mau pergi bulan madu dengan Astara. Jangankan bulan madu, di rumah pun kami tidur berjauh-jauhan meskipun seranjang. Dan dapat kukatakan bahwa pernikahanku ini hanyalah sebuah formalitas.” Tegas Lisa “Oh ya ampun, aku rasa kau harus menerima kenyataan bahwa kau telah menikah dengan Astara.” Shivany diam sejenak. “Lalu bagaimana hubunganmu dengan Harta?” “Sudahlah Shivany, aku tak akan bisa terima kenyataan ini. Dan hubunganku dengan Harta kurasa ia tak akan pernah mau bicara padaku.” Sahut Lisa sambil memalingkan pandangannya. “aku rasa hari sudah terlalu sore, aku harus pulang. Sebaiknya kita sudahi saja percakapan ini sampai di sini.” “Apakah kau marah padaku Lisa? Maaf jika perkataanku tadi ada yang menyinggung perasaanmu. Aku hanya ingin menasehatimu sebagai sahabat.” Shivany mencoba menjelaskan. “Ya, aku mengerti. Tapi mari kita pulang!”
Jam sudah menunjukkan tengah malam, dan Astara baru saja pulang dari rumah sakit. Lisa yang melihat itu pun merasa iba dengannya karena ia terlihat begitu kelelahan. “Kenapa jam segini baru pulang?” “Sebenarnya aku sudah pulang dari tadi. Tapi di tengah perjalanan aku ditelepon untuk kembali ke rumah sakit karena ada pasien yang membutuhkan pertolonganku. Dan syukurlah pasien itu sudah bisa kuselamatkan dan keadaannya sudah kembali normal sehingga bisa kutinggal pulang.” Jelas Astara “Kau begitu kelelahan, apa mau aku buatkan teh hangat untukmu?” “Ini sudah menjadi tugasku. Tidak usah, aku mau langsung mandi saja. Aku tahu kau begitu mengantuk. Bukankah besok kau harus mengajar di pagi hari?” “Tidak apa, aku buatkan saja ya.” “Sudah kukatakan tidak usah, kau tidur saja.” kata Astara dengan lembut kepada Lisa.
Semakin hari antara Lisa dan Astara semakin dekat, Lisa yang sebelumnya acuh tak acuh pada Astara, kini perlahan-lahan lunak hatinya oleh kelembutan sikap Astara yang ditunjukkan kepadanya. Hari-hari berlalu begitu cepat, Lisa dan Astara juga semakin akrab. Meski di hati Lisa hanya ada Harta yang sampai saat ini belum berani untuk Lisa hubungi apalagi bertemu langsung. Lisa telah mendedikasikan dirinya untuk mempertahankan cintanya kepada Harta. Meskipun keadaan saat ini tak sesuai dengan yang diharapkannya. Hingga suatu hari Lisa memustuskan untuk menemui Harta. Kali ini Lisa tidak menghubunginya, tetapi datang langsung ke tempat Harta mengajar.
Seperti biasanya, setiap hari selasa jam setengah sepuluh pagi Harta keluar kelas seusai mengajar Fisika Dasar 1 di kelas semester satu. Ketika melihat Harta, tanpa pikir panjang Lisa langsung berlari ke arahnya. “Harta!” seru Lisa sambil berlari dari kejauhan. “Lisa? Ada apa?” “Hmm .. aku .. hanya ingin bicara sebentar, apakah kau ada waktu?” Lisa mencoba tenang, meskipun dalam hatinya ingin sekali berlari dan menajuh dari pria di hadapannya karena saking gugupnya. “Tentu. Kita bicara di sana.” Harta menunjuk bangku di bawah pohon rindang yang ada di kampus tersebut.
Siang ini cuaca sedang cerahnya. Hanya ada sedikit awan yang tersirat di langit. Meskipun udara hari ini cukup hangat, namun entah mengapa sekujur tubuh Lisa terasa membeku. Tangannya dingin dan pucat, namun keningnya mengeluarkan keringat yang tak wajar.
“Hmm .. Apa kabar?” Lisa kebingungan mencari cara untuk memulai percakapan ini. “Aku rasa keadaanku baik.” “Apa kau membenciku?” Lisa mencoba memasuki topik pembicaraan yang ia inginkan. “Seperti yang kau lihat.” “Maksudmu?” “Kalau aku membencimu, aku tak mungkin mau berbicara padamu sekarang.” Harta menjawab dengan wajah tanpa beban. Seperti biasanya, Harta merupakan tipe orang yang sulit ditebak pikirannya jika hanya melihat ekspresinya. Ia sangat pandai berakting, dan pandai menyembunyikan perasaannya. Mungkin ini didapatnya karena sewaktu kuliah dulu, Harta aktif dalam UKM Teater di kampusnya. Kampus yang sama dengan tempatnya mengajar sekarang.
“Tapi, setelah aku meninggalkanmu dan menikah dengan Astara, apakah tak ada rasa bencimu sedikitpun kepadaku?” Lisa memberanikan diri menanyakan hal yang menurutnya dapat menyinggung perasaan ini. “Aku hanya mencoba untuk menjadi dewasa. Jadi ketika kau meninggalkanku dan menikah dengan Astara, bukan berarti aku harus terlarut-larut dalam kesedihan dan menghancurkan hidupku begitu saja. Itu terlalu kekanak-kanakan. Aku bukan siswa TK yang ketika mainannya direbut maka akan menangis sejadi-jadinya. Lisa, aku bukan anak usia dini.” Harta menjelaskan dengan nada yang lantang. “Mainan?” Lisa mengerutkan dahinya dan sedikit memiringkan kepalanya. “Apa menurutmu aku mainan?” “Oh bukan begitu. Aku hanya sembarang mengumpamakannya.” Harta kemudian berdiri dan melirik jam tangannya. “Aku rasa jam istirahatku sudah habis, aku harus mengajar skarang.” “Oke baiklah, aku juga mengajar Mata Kuliah Genetika sekarang.” jawab Lisa dengan cepat.
Malam pun tiba, Lisa masih memikirkan perbincangannya tadi siang bersama Harta. Di tepi kasur ia duduk dan merenung. “Kamu kenapa sih Lis? Kelihatannya seperti ada masalah.” Harta bingung melihat Lisa yang hanya diam di sisi tempat tidur. “Aku bertemu dengan Harta tadi siang. Awalnya aku ingin meminta maaf kepadanya karena telah meninggalkannya. Namun kelihatannya ia tak acuh kepadaku. Aku bingung. Apakah ia berbohong kepadaku ketika ia mengatakan bahwa ia tak benci padaku? Tapi dari sorot matanya, tak ada rasa kesedihan. Padahal kami telah bersama-sama selama tiga tahun.” Lisa tak dapat membendung air matanya. “Aku mengerti perasaanmu.” Tanpa berbicara panjang, Astara langsung memeluk Lisa. Dalam dekapan Astara, Air mata Lisa mengalir begitu derasnya. Dan sesekali Lisa mengusap air matanya.
“Dalam cinta, kita sering temui bunga mawar sebagai ungkapan cinta. Namun tanpa kita sadari, cinta memanglah seperti bunga mawar. Ia indah, penuh warna, beraroma khas, dan begitu elegan. Tapi kita tidak boleh lupa, ia berduri. Ini menyakitkan. Di balik indahnya cinta yang seringkali membuat kita bahagia, ada sisi hitam cinta yang mampu membuat kita merasa sakit dan terluka.” Lisa kemudian melepaskan diri dari pelukan Astara dan mengambil tisu yang berada di atas meja dan kemudian menyeka air matanya sambil menahan air mata jatuh lebih banyak lagi.
“Lisa, di saat kamu menangisi Harta, percayalah, ada orang lain yang sayang kepadamu dan sakit hatinya jika melihat air matamu seperti ini.” Astara sejenak menatap mata Lisa, namun kemudian mengedarkan pandangannya pada sekitarnya. “Maksudmu?” Lisa bertanya menjawab perkataan Astara, tetapi pikirannya masih membayangkan ekspresi Harta tadi siang. “Aku mencintaimu Lisa.” Sontak Lisa terkejut mendengar satu kalimat tersebut dari Astara. Ia memasang wajah tak percaya. Lisa seketika diam dan membeku karena tak percaya apa yang baru saja didengarnya. “Ya Lisa, aku tertarik padamu ketika kita pertama kali kita dipertemukan oleh kedua orangtua kita di malam itu. Tapi aku cukup kecewa ketika tahu bahwa kau sudah memiliki hubungan dengan Harta. Semakin hari rasa tertarik tersebut berubah menjadi cinta. Awalnya menurutku adalah sebuah kemustahilan bisa memilikimu. Karena aku tahu, kamu dengan Harta sudah tiga tahun. Sedangkan kamu kenal aku baru 5 bulan saja.” Astara diam sejenak sambil mengambil napas panjang. “Tapi Lisa, sekarang kamu sudah menjadi istriku, bukan maksudku untuk memaksakan kehendak ataupun egoisku padamu, tapi tolong, tolong hargai aku sebagai suamimu.” Lisa mencoba untuk tetap tenang meski di batinnya seperti ada batu besar yang sedang menimpanya sehingga sulit untuk berkata-kata. “Maaf selama ini jika aku sudah menyakiti hatimu. Aku terlalu egois. Aku hanya memikirkan diriku sendiri saja. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha menjadi seperti yang kau inginkan.”
—
“Oh tidak! Apa-apaan ini?” Lisa memicingkan matanya dan seakan-akan tak percaya pada apa yang dilihatnya. Di bawah pohon yang rindang di tengah taman kota sedang duduk dua orang yang kelihatannya tak asing bagi Lisa. Tanpa pikir panjang Lisa langsung menuju pada dua orang yang membuat hatinya seperti tersambar petir di siang bolong.
“Oh jadi kalian seperti ini di belakangku?” dengan suara tersayat dan gemetar Lisa berdiri di hadapan Harta dan Sinta. “Sekarang aku tahu mengapa kamu tak sedikitpun menunjukkan rasa bersedihmu ketika berpisah denganku. Karena dia kan Harta? Tak pernah terpikir sebelumnya dalam benakku aku akan dikhianati sahabatku sendiri.” “Maaf Lisa, aku salah. Aku tahu ini perbuatan bodoh. Mengkhianati sahabat sendiri adalah perbuatan yang sangat bodoh. Tapi.. Aku hanyalah manusia biasa, aku hanyalah wanita biasa yang tak mampu menahan rasaku. Aku menyayangi Harta, aku menyayanginya sejak kita masih sama-sama berkuliah dulu. Tapi rasa itu bertahun-tahun kupendam. Aku harap kau mengerti Lisa.. “ Sinta mencoba untuk memeluk Lisa, dan sangat terlihat bagaimana raut wajah bersalahnya. “Aku dengan Sinta sudah berjalan sejak 2 tahun yang lalu. Aku tahu ini akan menjadi hal yang pahit bagimu. Tapi maafkaan kami. Sejak awal ingin sekali aku putuskan hubungan denganmu, tapi aku belum punya keberanian dan waktu yang tepat untuk itu.” Lisa melepaskan pelukan Sinta dan mengatakan, “Aku terlalu bodoh, seharusnya aku tahu ini dari awal. Terimakasih.” Kemudian Lisa berbalik badan dan dengan buru-buru meninggalkan mereka. “Tunggu Lisa!” Harta berusaha mencegah Lisa untuk pergi. “Sudahlah. Nikmati saja harimu!” tanpa menghentikan langkahnya, Lisa dengan cepat pergi menjauh dari mereka.
Selama sebulan ini Lisa belum mampu menghilangkan ingatan tentang siang itu di Taman Kota. Ingatannya itu terus saja menghantuinya dari mulai ia terjaga hingga menjelang tidurnya. Tak pernah ia sangka sebelumnya, sahabatnya sendiri mampu mengkhianatinya. Shivany dan Astara pun sudah tahu masalah ini. Dan kini ia sadar, siapa sebenarnya yang tulus kepadanya. Astara yang sebelumnya tak pernah dipikirkannya ternyata sekarang mampu membuat hatinya hangat setiap hari. Lambat laun Lisa mulai tertarik dan jatuh cinta pada kesungguhan Astara dan mulai menerima Astara, bahkan kini Lisa hanya mendedikasikan cintanya hanya untuk Astara.
Cerpen Karangan: Dina Sutarnitri Facebook: Dina Sutarnitri