“Caraku mendapatkan Radit adalah mendekati sahabatnya, Rangga. Saat Radit cemburu, saatnya aku harus mengorbankan hati Rangga. Rangga maafkan aku. Aku egois karena mengorbankanmu untuk kepentinganku.” Pikirku. Hari itu sangat cerah. Aku segera menghampiri Rangga di kelasnya. Rangga sekelas dengan Radit. Aku pergi ke sana bersama Rani. Mungkin Radit berpikir aku ke kelasnya untuk bertemu dengannya. Aku berjalan mendekati Radit, tapi aku berbelok untuk menemui Rangga.
“Risa? Kenapa ke sini?” Rangga heran dengan kedatanganku. Aku melirik Radit sambil memegang bahu Rangga. Rangga tersenyum heran padaku. Dan Radit buang muka dariku.
“Semoga yang kulakukan ini benar.” Pikirku lalu menatap Rangga. “Rangga, aku mau ngomong empat mata sama kamu. Aku harap kamu gak keberatan.” Pintaku. Rangga lalu berdiri dan berjalan denganku keluar kelas. Kami duduk berdua di koridor. Aku pun memulai perbincangan.
“Rangga, apa kamu mencintaiku sama seperti aku mencintaimu.” Tanyaku. Lalu dia sigap duduk dengan tegak. Ia pun memegang tanganku. Aku pun sama deg-degan sama seperti yang ia rasakan.
“Jadi, ini yang akan kau bicarakan?” Rangga berdiri menjauhiku dan berbalik dariku. Aku pun berdiri dengan memohon mohon agar dia menjadi pacarku. Kedua tangannya memasuki saku celananya. Dia berjalan perlahan ke depan menjauhiku. Aku mulai mendekatinya. “Mana mungkin aku menolaknya. Jika selama ini kau ingin menjadi pacarku mengapa aku menolak?” Dia pun tersenyum padaku dan memegang kedua tanganku. Aku sangat gugup. “Biasanya lelaki lah yang menembak wanita tapi ini wanita yang menembak lelaki. Apa kau ingin membuat rekor. Ini rekor yang sangat menyenangkan.”
“Ini sangat menyenangkan. Kukira kau tidak mencintaiku. Aku sangat bahagia. Ini hiburan yang seru untukku. Ini aneh bagiku. Aku mencintaimu.” Aku memeluknya tapi hatiku berkata lain. “Siapa yang mencintaimu? Aku tidak akan pernah mencintaimu Rangga. Cintaku hanyalah Radit, hanya Radit. Maafkan aku, kau jadi korbannya.”
Keesokan harinya. Saat libur akhir pekan, aku dan teman temanku bermain ke mall dan kami nongkrong di cafe. Kebetulan saat itu juga aku melihat Radit dan Rangga. Aku sangat terkejut mengapa harus ada Radit di sini. Salsa menyenggolku dan berbisik. “Itu Rangga.” Ucapnya. Aku membalas senggolnya dengan penuh canda. “Apa sih?” Tanyaku.
“Ouh. Risa, kamu di sini juga.” Rangga mendekatiku. Aku semakin malu berada dekat dengannya, apalagi ada teman-temanku. “Eh… Rangga, kita pergi dari sini aja yuk…” Ajakku. Dia pun menurutinya. Sebelum kami melangkah, aku menghentikan nya. “Radit?” Tanyaku. “Dia akan ikut. Aku yang ajak.” Jawabnya. “Oke, dia akan semakin cemburu. Semakin seru bukan permainan yang kuciptakan.” Pikirku.
“Radit, ayo.” Ajaknya. Radit pun mengikuti kami. Saat kami berjalan, aku makin memanas manasi Radit dengan memegang tangan Rangga. Rangga tersenyum padaku sementara Radit masih buang muka dariku. “Kuyakin, lama-lama kau tak kan tahan dengan sikapku yang makin dingin padamu Radit…” Pikirku. Rangga pun menggandengku dan aku makin dekat dengannya. Radit pun makin panas. “Aksi ini makin seru. Maaf Rangga.” Pikirku.
“Kita akan ke cafe yang sangat indah di kota.” Ajaknya. Aku duduk di kursi sebelah supir sementara Radit duduk di belakang tengah. Rangga menyupir mobilnya. Tangan kiri Rangga kugenggam dengan erat. Dan Radit tampaknya panas saat aku lirik dari spion tengah mobil. “Ini seru sekali. Sangat menyenangkan…” Ucapku pelan yang terdengar oleh Rangga. “Seru? Ini lebih dari seru dan sangat menyenangkan. Sangat…” Rangga menggenggam tangan kananku dengan erat. Radit makin panas.
1 Bulan sudah aku menjalin hubunganku dengan Rangga yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Kuharap dia tidak benar-benar mencintaiku. Dan hari itu aku benar-benar berani untuk mengungkap semua. Semua kenyataan bahwa aku hanya menjadikannya bahan permainanku. Aku tidak mencintainya dan aku tidak menerima alasan apapun. Aku bahkan tidak peduli jika hatinya terluka.
“Rangga maaf aku tidak mencintaimu.” Ucapku. Rangga dan Radit sangat terkejut. “Kuharap kau mengerti.” Aku makin mempersingkat perkataanku. “Mengerti?” Rangga tertegun dengan perkataanku. Radit mendekatiku dan mencaci makiku. “Aku sudah yakin akan hal ini. Aku tahu semua tentangmu, pembohong! Penghina! Pengecut! Apapun bisa kukatakan padamu, pecundang! Kau ini tidak mungkin mencintai Rangga karena kau hanya mencintai…” Ucapan Radit kupotong. “Kau. Iya, aku hanya mencintaimu. Aku membuat permainan ini agar kau sadar betapa aku mencintaimu…” Selaku. “Dan kau mengorbankan sahabatku sendiri?” Dia makin membentakku. “Apa kau sadar? Apa yang kau lakukan?” “Aku sadar. 100 persen aku sadar dengan apa yang kulakukan dan kuperbuat. Aku tahu aku salah. Jadi, maaf Rangga. Aku tidak akan pernah mencintaimu karena aku hanya mencintai Radit.” “Sudah cukup sudah!” Rangga memisahkan kami. “Hentikan. Jika kalian ingin berdebat, jangan di sini. Ini bukan tempat yang pantas *dia melirikku* untuk berdebat! Ini bukan tempat yang patut untuk dijadikan tempat debat! Kalian ini semakin lama semakin bocah. Masalah sepele pun kalian jadikan bahan perdebatan. Hmm, apakah itu pantas? Dan kau Risa *dia menatapku dengan tatapan airmata* aku memaafkanmu jika kau mau pergi dari hidupku. Jangan muncul di depanku karena sesungguhnya, aku mencintaimu dan tidak bisa melupakanmu. Sampai kapanpun aku akan mengingat dirimu dan semua penghianatanmu. Pergilah, dalam 10 menit kau akan melihat jasadku.”
“Rangga, apa maksudmu? Maafkan aku, aku tidak bermaksud melukai hatimu. Ini salahku, kau minta maaf. Dan kau jangan berbuat nekat.” Pintaku diiringi isak tangis. “Terlambat!” Rangga pun pergi. Radit malah pergi menyetir mobilnya dan meninggalkanku sendiri. Aku turun ke lantai dasar dan melihat seluruh tempat. Isak tangis ini masih membekas. Dan aku melihat ada barang jatuh. Kulihat itu jam tangan seperti milik Rangga. Saat aku menatap ke loteng mall, Rangga berdiri tegak menghadap ke depan sambil melepaskan seluruh aksesoris yang ia kenakan. Aku sangat terkejut dan menelepon Radit.
“Radit, kumohon datanglah kembali ke mall. Rangga mencoba bunuh diri. Ia sekarang berada di loteng mall tempat tadi kita berdebat. Ayo cepatlah tolong dia.” Pintaku dengan penuh tangisan. “Baiklah Risa, aku akan datang.” Suara telepon itu berbunyi seperti Radit mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal. Kehawatiranku bertambah ketika Rangga yang mencoba bunuh diri dan Radit yang mengendarai mobilnya dengan kecepatan maksimal.
Lalu, “Brukkk!!!” Rangga terjatuh dari loteng dan telepon Radit berbunyi hal yang sama. Radit kecelakaan dan peristiwa tersebut tidak jauh dari mall. Banyak orang yang berdatangan ke Rangga dan Radit. Aku pun dilanda dilema. Haruskah aku mendekati Rangga yang celaka karenaku atau Radit yang celaka karenaku juga. Aku sangat bingung. Dilema ini membuatku pusing sampai aku pingsan.
Saat aku membuka mata, kulihat aku ada di rumah sakit. Dan kulihat di sebelah kananku ada Rangga yang dipenuhi darah dan di sebelah kiriku ada Radit yang tubuhnya sedikit hangus karena mungkin mobilnya meledak. Aku mencoba bangun dan membangunkan mereka berdua tapi tubuh ini sangat berat rasanya. Tidak ada yang datang menjenguk aku kah? Aku tidak tahu hal itu tapi aku sangat kapok dengan kejadian ini. Karena permainanku, Rangga dan Radit tewas. Dan aku sudah tidak kuat, aku menghembuskan nafas terakhir di tempat itu juga. Dan aku berharap, aku, Rangga dan Radit dikuburkan di tempat yang sama secara berjajar.
Selamat tinggal semuanya
Aku tidak akan melakukan hal ini jika aku tahu hasilnya akan seperti ini. Maafkan aku rangga & radit.
Cerpen Karangan: Nur Rizki Bi’idnillah Facebook: Nur Rizki Bi’idnillah Nama saya Nur Rizki Bi’idnillah. Saya lahir di Kota Bandung. Berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah. Keseharian saya ialah membuat sebuah Novel/Cerpen di Note, aplikasi yang baru-baru ini saya unduh dari playstore. Awal membuat cerpen terinspirasi dari Sri Yuliani yang juga mencoba membuat cerpen di sini. Terima kasih untuk Sri yang telah menginspirasi bagi saya. Mungkin sekian dan terima kasih.
Jangan lupa membaca cerpen yang akan saya publis juga… Ingin bertanya? Ig: @nurrizzz IdLine: nillah2003