Petir terus menyambar, raga ini rapuh seakan ingin tumbang layaknya dahan pohon di seberang jalan sana. Aku hanya terpaku, terdiam membisu di bawah naungan payung sambil ditemani derasnya hujan. Malam makin larut. Dingin mulai menusuk kulit. Aku berjalan meninggalkan tempat ini bersama kalutnya hati. Masih teringat akan dia yang pernah hadir untuk mengisi kekosongan hati ini. Berawal dari kebodohanku yang telah merasakan perasaan yang tak seharusnya aku rasakan, atau aku yang tidak peka akan perasaannya.
Takdir. Kombinasi dari 1 kejadian dengan kejadian yang lain hingga terjadi sesuatu diluar keinginan. Semata-mata yang akhirnya membuat aku sadar bahwa tiada satu manusia yang sempurna. Bagaimana dengan cinta? Aku mengingat sebuah novel yang sering aku baca karangan Ginger Elyse Shelley. Berceritakan tentang skandal besar percintaan yang dialami oleh Kimberley Tuddles dan Matteus Macgregor dimana mereka sangat berbeda kasta. Matthew yang berstatus bangsawan inggris di zaman Victoria tahun 1800-an, dan Kimberley yang hanya seorang pelayan istana.
Di dalam cerita tersebut terdapat kalimat yang mengatakan “seandainya kebersamaan itu selamanya”, maka ceritaku juga demikian. Berandai-andai dan terus berandai-andai akan kebersamaan dan kebahagiaan bisa selalu hadir di kehidupanku, namun tetap saja pasti akan ada konflik yang ikut serta bermain di dalamnya.
Senja di hari sabtu itu sangat indah, dedaunan yang menari-nari, menggantung di ranting pepohonan rimbun karena desiran angin membuatku merasa ingin terbang. Aku percepat kayuhan sepeda berwarna merah hati. Aku melamun sambil mengayuh sepeda. Aku mulai merasakan ada seseorang yang mengikuti, aku mulai sadar dan mempercepat kayuh sepeda. Ia sepertinya ada di balik ilalang di sebelah kiri, tapi semakin aku mempercepat kayuhan semakin cepat juga ia mengikutiku.
Tiba-tiba… Trakkk!! Seseorang telah melempar keranjang sepedaku dengan batu kerikil. Aku menepi sebentar. Aku turun dari sepeda, dan aku mulai menyadari bahwa aku sudah terlalu jauh bersepeda sore itu, namun tempatnya sangat indah, dibalik tumbuhan ilalang di sebelah kanan terdapat danau dimana kau bisa menyaksikan sang surya yang tenggelam. Tapi tetap saja meskipun tempat itu sangat indah, aku tetap ketakutan. Karena tempat itu memang jauh dari keramaian. Bulu kuduk di leherku tiba-tiba saja merinding…
DUAAAAAAARRRRR!! AAAAAAAAAAAAAAA!!
“Selamat sore Maharani, sore ini kamu mau ke mana?”
—
Dialah Rama, sebut saja raram, itu panggilan kesehariannya. Dia salah satu pria tampan di sekolah yang memiliki reputasi sebagai salah satu siswa teraneh. Tak ada satupun di sekolah yang mau berteman dengannya. Ia salah satu orang yang paling dihindari oleh siapapun, termasuk para guru dan kepala sekolah. Ia anak yang aneh. Ada yang bilang ia gila karena korban perceraian, ada juga yang bilang ia gila karena putus cinta, ahh entahlah. Tadi aku mengatakan bahwa Rama adalah salah satu siswa aneh di sekolah, kalian pun pasti bertanya-tanya apakah ada siswa aneh lain selain Rama? Bagaimana dengan siswi bernama Maharani Kemala? Itulah namaku, panggil saja Rani. Reputasi yang aku miliki di sekolah adalah ‘Maharani, si perempuan pendiam’ atau ‘Maharani, si wanita jenius’, jenius dalam hal apa? Aku tidak merasa begitu pintar dibanding dengan yang lain. Jika memang mereka mengatakan IQ yang aku miliki adalah 129, itu memang benar. Aku yang sejak duduk di kelas 1 SD sampai sekarang ini aku duduk di kelas 2 SMA Pertiwi Garuda, aku selalu meraih peringkat pertama di kelas, dan saat ada test IQ di sekolah dimana seluruh murid wajib mengikutinya. Sempat kesal dan ingin marah kepada guru BK (Bimbingan Konseling) di sekolah ku dimana hasil test seluruh siswa kelas 10-12 di pajang di setiap pintu kelas. Aku yang pagi hari itu dibuat gempar satu sekolah dimana hasil test kemarin, IQ yang aku miliki adalah IQ tertinggi 1 sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa aku memiliki IQ sebesar 129. Aku bukannya merasa senang malahan merasa malu, sangat malu, bahkan kesal. Buatku tindakan yang dilakukan oleh guru BK di sekolah adalah tindakan yang amat berlebihan. Akhirnya aku jadi bulan-bulanan para senior di sekolah, mereka mengatakan aku ini orang yang sombong.
“Huuu. Dia bukan pendiam, tetapi pelit untuk berbicara. Pantas saja IQ nya tinggi, punya ilmu nggak mau dibagi.” “Iyahh, hey bicaralah!! jangan bisanya cuma diam dan diam.” “Hhahhaa, kuper[1] dasar!! hidupnya cuma rumah, sekolah, perpus!!”
Hatiku terasa teriris, pedih, banyak yang menghardik, membicarakan yang tidak-tidak. Aku diam saja, tidak melawan. Tapi ada beberapa kawan yang aku kenal dan faham mengapa aku bisa memiliki IQ sebesar itu. Aku hanya bisa diam dan diam, tidak bicara apapun. Menyesal? Ya!! seharusnya aku tidak ikut test IQ itu, harusnya aku izin saja, pura-pura sakit, atau 1000 alasan lain yang aku sampaikan kepada guruku. Aku mengakui bahwa diriku termasuk murid yang aktif di kelas, aku selalu maju ke depan kelas untuk mengerjakan soal-soal yang guruku berikan dan aku bisa mengerjakannya, itu juga kalau mood-ku sedang baik. Jika tidak yaa kadang kala aku salah mengerjakan, dan guruku juga bisa memakluminya. Tetapi sekali lagi, aku tidak merasa pintar, Albert Einsten pun yang memiliki IQ sebesar 160 saja tidak merasa cerdas, jenius, atau apalah itu. Ia hanya bilang “I have no special talent. I am only passionately corius.” Kecerdasan seseorang itu relatif, aku sama dengan yang lainnya. Sama-sama satu menempuh pendidikan di sekolah yang sama. Ahh, sudahlah!!
Semua berawal dari perpustakaan. Gara-gara aku membantunya untuk mencari buku sejarah. Ia terus bertanya “di mana letak rak untuk buku sejarah kelas 2 SMA”, aku sudah menunjuknya dengan mengatakan “Di sebelah sana, tinggal jalan lurus letak raknya di sebelah kanan”, namun tetap saja. Ia bersikeras untuk menanyakan pertanyaan bodoh itu. Akhirnya aku antar dia ke rak buku yang dimaksud. Tapi konyol, ia meminta untuk diambilkan. Apa yang dimau orang ini? Akhirnya aku mengambil buku yang ia mau. Mungkin karena kesal, aku menyodorkan buku itu secara kasar. Sontak ia terkejut, ia mulai kesal. Akhinya ia membanting buku itu ke lantai sembari menggertak. “Kalau tidak mau membantu ya sudah! Tidak perlu repot-repot membantu. Arggghh. Semua orang di sekolah ini sama saja!!”
Ia berlalu meninggalkanku. Siswa yang berada di dalam perpustakaan terkejut akan keberadaan kami. Aku sampai kena omel penjaga perpustakaan dan mengusirku. Sial!! Aku berjalan menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika aku melewati taman sekolah. Rama, aku terpaku melihatnya. Timbul rasa bersalah atas kejadian barusan. Tapi, ahhh. Lagipula yang bersalah itu dia. Aku tidak salah apa-apa. Aku niat membantu, tapi dia.. ahhh sudahlah.
“Tidak usah mematung di situ, hey. Perempuan aneh!” Dia berbicara, nampaknya berbicara denganku. aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Di sekitarku banyak siswa putra. Hanya aku siswi perempuan di situ.
“Ehh, punya telinga tidak? Kenapa hanya diam di situ? Kemarilah.” Yaa. Dia berbicara denganku. Aku mulai risi, akhirnya aku mulai meniggalkannya. Namun dari kejauhan, ia terus berkicau.
—
“Kamu.. ngapain kamu di sini?” Ia hanya tesenyum, senyum yang menakutkan. Seperti senyum para pembunuh di film yang pernah aku tonton.
“Hey, kenapa diam?” Aku memalingkan pandangan. Ia mengikuti arah pandanganku. Orang ini sungguh menjengkelkan. Mau apa dia?
“Aku mengikutimu karena aku ingin mengajak kau bermain. Aku ingin tahu apakah orang secerdas seperti kamu bisa diajak bermain.” Aku mengerutkan kening. Bermain, aku seperti anak kecil yang diajaknya bermain. Aku bergegas menuju sepeda namun ia mencengkeram tanganku kuat-kuat. “Kau tak perlu mengendarai sepedamu, biar aku yang mengendarainya. Kau duduk di belakang. Aku akan mengajakmu ke tempat yang sangat indah.” Kata-katanya sungguh memuakkan. Aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkeramannya. Lagipula siapa yang mau mengikuti kemauannya untuk bermain? Aku ingin pulang.
“Rani, kau kasar sekali. Hey, dengar!! Aku tidak punya teman!! aku hanya ingin bermain denganmu. Sekali ini saja. Cobalah!! kau tahu reputasiku di sekolah seperti apa? Mereka menganggapku gila. Padahal aku tidak gila. Ayolah, aku mohon. Kau adalah orang cerdas di sekolah, maka dari itu aku ingin memastikan bahwa kau juga tidak menganggapku demikian. Kau pasti bisa berpikir, dengan otakmu yang cerdas bahwa aku tidak gila”. “Kau ini bicara apa? Sudah, aku mau pulang”. “Rani aku mohon”. Ia memelas padaku, entah seperti terhipnotis aku malah mengiyakan ajakannya. Bodoh!! Akhirnya ia mengambil kemudi sepeda. Aku duduk di kursi belakang, diboncengnya. Ia mengayuh sepeda dengan cepat menembus kencangnya hembusan angin sampai rambutku berantakan.
“Ramaaa, pelan-pelan bawanya. Bisa nggak, sih?” “Sudah kamu diam saja, pegangan kuat-kuat.” Lagi-lagi aku menuruti kemauannya. Ia semakin cepat mengayuh sepeda yang entah kita akan bermain di tempat yang seperti apa, dan akhirnya kita tiba di suatu tempat yang memang cukup jauh dari tempat tadi. “Kita sampai.”
Sekilas, tempat ini sungguh indah. Aku belum pernah kemari sebelumnya. Matahari mulai terbenam. Tanganku ditariknya, kami berjalan menuju dermaga. Anehnya, semakin lama tempatnya nampak aneh, seram. Apa dia mengajakku untuk uji nyali? Rasanya aku ingin berteriak meminta tolong, namun tempat ini sangat sepi. Tak nampak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sini, kecuali tanaman ilalang di sekitarnya.
“Ini tempat apa? Aku mau pulang. Matahari akan terbenam. Aku mau pulang.” “Kau mau bermain tidak?” “Hey, aku mau pulang. Besok saja kita bermainnya.”
Aku berlari secepat yang aku bisa. Naas, aku tetap tertangkap olehnya. Ia membopong tubuhku dan membawaku kembali ke dermaga. “Lepaskan, kamu gila!” Akhirnya aku diturunkan juga, aku memasang wajah marah. namun ia hanya tersenyum. lelaki aneh!!
“Ayo kita bermain.” “Kamu gila!! aku mau pulang.” “Ssssttttt… Tadi kamu sudah setuju untuk ikut bermain denganku. Pejamkan matamu.” “Tapi…” “Kalau kamu tidak mau, aku lempar kamu ke danau!!” Aku mulai ketakutan. Orang ini kasar. Aku menurut, aku memejamkan kedua mataku.
—
Hujan di luar masih deras. Aku mencoba untuk relax dengan merendam kaki dengan air hangat yang telah dicampur dengan sedikit garam. Pegal-pegal di kaki sedikit hilang. Aku meraih tas kecil merah milikku dan merogoh isinya. Aku hanya ingin mengambil handphone, namun yang aku ambil malah sebuah album foto berdesain batik dengan warna merah. Sial, aku membuka album fotoku, terismpan banyak kenanganku bersamanya. Dada ini sesak, aku menghela nafas dan air mata ini mulai menitik. Refleks aku melempar album foto itu ke dinding, menangis sekencang-kencangnya sambil di temani derasnya hujan dan petir yang terus menggelegar.
—
“Simpan mawar yang kuberi, mungkin wanginya mengilhami, Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu, Sebelum kau ludahi aku, Sebelum kau robek hatiku”
– Dewa 19, Risalah Hati –
“Kamu nggak usah nyanyi. Suara kamu memang aku akui bagus, tapi.. Aku mau pulang, Rama..” Dia masih terus menyanyikan lagu yang sama, aku terkejut tiba-tiba dia menutup kedua mataku yang sudah terpejam ini dengan sehelai kain, hampir menutup kedua lubang hidung sehingga aku sulit bernapas. “Hey, rama lepasin, aku nggak ngerti mau kamu apa tapi ini sudah keterlaluan, ram. Aku bakal teriak!!” “Teriak saja hey, tidak akan ada yang mau mendengarmu. Kau lupa tempat ini jauh dari keramaian. Tempat ini berjarak 13 KM dari keramaian. Maka teruslah berteriak. Hahahah!!”
Mendengar perkataannya aku menangis sejadi-jadinya. Aku berteriak, akan tetapi ia malah mengikat kedua tanganku dengan sehelai kain yang lain, permukaan kain itu sangat kasar. Aku mencoba melawan, namun tenaganya lebih kuat dibandingkan tenagaku. Aku terus menjerit meminta tolong, aku hanya bisa pasrah. Pikiranku melayang tak tentu arah, mati akibat seseorang yang tidak aku kenal. Namun aku tidak mau mati konyol seperti ini. Mati dibunuh oleh psikopat yang baru aku kenal.
“Hey, teruslah berteriak!! aku suka teriakanmu. Kedengarannya seperti anak kucing yang lehernya terjepit jendela. Hahaah”.
Aku merasakan ia memegang kakiku, aku merasa sepatu yang aku kenakan ia lepas, namun tidak. Ia hanya mengambil talinya saja. Kemudian talinya ia gunakan untuk mengikat rambutku yang tergerai panjang. Aku benar-benar pasrah, badan ini terasa panas, keringat dingin di wajah mulai menitik, kain penutup mata mulai basah karena air mataku.
Seketika hening, tak ada suara ia bernyanyi. Tidak ada, sama sekali. Hening, sunyi, hanya riak air danau yang terdengar, suara jangkrik yang menggelitik, angin yang ikut serta menggoyangkan tumbuhan ilalang sehingga menimbulkan suara khasnya. Rama, ke mana dia? Dia menginggalkanku? Sial!! Tangisku makin menjadi-jadi, aku bersimpuh di dermaga itu, memanggil nama ibu dan ayahku, serta Rama. Layaknya di film-film aku menangis, menjerit ketakutan karena sendirian.
“Buka dong penutup matanya..” “Bagaimana bisa? Kau bodoh!! Tanganku telah kau ikat, aku mana bisa membukanya? Bodoh!!”
Tiba-tiba saja kain yang barusan mengikat pergelangan tanganku telah lepas, sesegera mungkin aku membuka penutup mata namun lagi-lagi ia tahan. “Eiitsss, tunggu dulu.. jangan dulu kamu buka, rani.” “Rama!! mau kamu apa?” Ucapku sambil terisak karena tangis. “Hahhaha, kamu lucu. Kamu kira ini lagi shooting film, pakai adegan nangis segala?”
Aku tak bisa lagi bicara, aku hanya bisa menangis. Pikiranku campur aduk, kesal, takut, jantung memompa aliran darah begitu cepat. Ia berbisik memerintahku untuk membuka kedua mataku dalam hitungan ketiga. “1… 2… 3… buka mata kamu, ran.”
Aku membuka perlahan mataku, dan… Tuhan, apa yang Rama lakukan padaku? Air mata ini terhenti, berubah menjadi senyuman. Semburat warna langit menjadi indah. Rama, apa yang kau lakukan padaku? Apakah ini fantasi saja? Rama, kau membuat hatiku melayang, air mata ini terhenti. Senyumku terkembang. Ia melangkah mendekatiku, berdiri di sampingku sambil terenyum, aku membalas senyumannya. Kemudian ia memelukku erat. Sangat erat.
Cerpen Karangan: Fina Septiani Blog / Facebook: finaseptiani50.blogspot.co.id / Fina Septiani
Nama lengkap : Fina Septiani Nama Pena : Helena Vector Alamat : Jl. Gunung Karang No. 24 Pandegang Banten Status : Mahasiswi, Universitas Esa Unggul, Jakarta Hobi : Menggambar, menulis, fotografi, membaca buku, travelling.