“Kita begitu berbeda dalam semua hal, kecuali dalam cinta…” [2] Begitu yang ia ucapkan saat aku sedang mengerjakan PR yang Pak Thamrin berikan siang tadi. Ia datang dan mendekatiku sembari membawa dua botol air mineral. Aku mengerutkan kening dan menyunggingkan senyum. “Kerjain dulu, tuh. Senyam senyum terus, sok manis betul.”
Aku tertawa pelan dan lanjut mengerjakan soal-soal yang tertera di buku. Ia berencana untuk mengajakku ke suatu tempat dan akan ada kejutan di komunitas. Entah akhir-akhir ini aku selalu diajak ke manapun ia ingin pergi. Lebih sering untuk hunting dan mendaki gunung, ia memiliki hobi yang sama denganku ternyata. Fotografi dan pecinta film fiksi. Kalau ia merasa jenuh kadang kala jalan-jalan ke mall hanya untuk menonton, atau makan. Seminggu yang lalu ia mengajakku untuk hiking. Ia mengikuti komunitas pecinta alam ternyata, aku diajaknya untuk mendaki gunung Lawu.
Entah mengapa aku jadi keseringan ingin naik gunung dan memiliki banyak kawan di luar sekolah. Buah bibir di sekolah makin menjadi-jadi saat aku dan Rama sedang makan pada jam istirahat di kantin. Mereka mengatakan aku dan Rama berpacaran, saat jam pulang sekolah aku selalu pulang bersama Rama, atau saat hang-out tidak sengaja berpapasan dengan beberapa siswa yang satu sekolah dengan kami. Tak hanya itu, beberapa teman 1 komunitas mengatakan hal yang sama, ahh.. aku dan Rama tidak begitu menanggapinya.
“Hey, nanti sehabis maghrib ada pertemuan komunitas. Mendingan ngerjain PR nya nanti aja. Aku bantuin.” Aku mengerutkann kening. “Emang kamu bisa?” “Bisa, zaman sudah canggih. Tinggal searching aja di internet apa susahnya? Manfaatkan fasilitas yang ada. Beresin bukunya, kamu pulang sekarang, prepare, nanti aku jemput, kita berangkat bareng.” “Ahahhaha, kamu nih. Aku udah tahu kok mau ada kumpulan, nggak usah diulang lagi.” “Ya sudah makanya ayo. Sudah mau sore ini, nanti nggak sempat. Belum nanti terjebak macet di jalan.” “Memang kumpulnya di mana? Taman Suropati, kan?” “Iyah, tapi…” “Tapi kenapa? Dekat sama rumah aku, kok. Cuma 15 menit, nggak akan macet.”
Ia memutar bola matanya dan menarik lenganku untuk segera bangun dan bergegas. Beberapa pasang mata di tempat parkir menatap kami, Rama dan Rani. Orang-orang menaruh pikiran kalau aku memiliki hubungan khusus dengannya. Rama merogoh saku celananya, mengambil kunci motor dan mulai menstarter. Diperjalanan ia terus mengoceh tentang komunitas Lidi Rimba, bertanya padaku apakah aku suka naik gunung, mengunjungi air terjun, snorkeling, atau masuk ke goa. Menceritakan juga pengalaman-pengalamannya di komunitas Lidi Rimba.
Sesampainya aku di rumah, ia bilang padaku agar berangkat duluan jika sudah jam 5 ia belum datang menjemputnya. Nanti bertemu di lokasi. Aku mengiyakan sarannya, dan ia berlalu dengan maticnya. Aku segera menyelesaikan PR dengan sisa waktu yang hanya 2 jam. Segera aku bergegas ke kamar dan langsung mengerjakan kembali PR. 15 soal tugas Biologi telah aku lalap dan mempelajari beberapa soal latihan di chapter berikutnya. Mengikuti komunitas Lidi Rimba sejujurnya membuat waktu belajarku tersita, namun dibalik itu semua aku tidak lagi menjadi orang yang kuper. Aku jadi lebih banyak mengetahui bentuk-bentuk keaneka ragaman hayati seperti yang aku pelajari secara nyata saat aku hiking bersama rama dan kawan-kawan dari komunitas. Banyak ilmu yang aku dapat dari Lidi Rimba tentang arti kebersamaan. Lidi Rimba seolah-olah menjadi rumah ketiga bagiku setelah rumah orang tua tempat aku berteduh dan tinggal, serta sekolah dimana aku menuntut ilmu bersama teman-teman. Guru sebagai orang tua kedua, dan kak Fadhil yang sudah aku anggap sebagai kakak kandung. Mengingat bahwa aku juga anak tunggal, nyamannya memiliki senior seperti kak Fadhil.
Jam telah menunjukkan angka 4 tepat. Aku segera mandi, dan solat ashar. Ingat juga bahwa aku belum makan siang, akhirnya aku berinisiatif untuk membeli nasi di warteg dekat rumah dan membungkusnya untuk makan di rumah saja. Sebungkus nasi dengan lauk sambal goreng ati ampela, tumis jamur, dan sayur bayam. Dengan lahap segera mungkin aku habiskan. Setelah selesau langsung aku raih ransel hitam di kursi makan dan menunggu kedatangan Rama di beranda rumah sambil beberapa kali aku coba meneleponnya. Tak sekalipun ia angkat. Jarum jam juga telah melewati angka 5, artinya aku berangkat saja duluan.
Sesampainya di Taman Suropati, sudah banyak yang berkumpul dari komunitas Lidi Rimba. Tua, muda, anak-anak banyak yang berkumpul. Aku belum melihat rama, belum kelihatan juga batang hidungnya.
“Akhirnya nona datang juga.” Ucap seseorang dari belakang. “Rama!!! ishhh, kamu nih aku tunggu dari rumah.” “Maaf-maaf aku berangkat duluan tadi. Hehehhe.” Ucapnya sambil menyisir ke belakang poni belah duanya dengan jari tangan. “Jadi? Kalau tahu begitu aku nggak usah nungguin kamu.” “Hahahah, kamu ngambek? Marah? nggak suka? Ya udah!!”
Aku memasang muka kesal pada Rama. Lagipula jika ia memberitahu ingin berangkat duluan, aku bisa berangkat sendiri. Acara dimulai setelah solat maghrib berjama’ah. Disusul dengan acara pembukaan dan sambutan dari kak Fadhil selaku ketua komunitas, dan ditutup dengan halal bi halal serta hiburan acoustic dari band Walking Time selaku guest star.
“Non, selamat bergabung di Lidi Rimba.” Ucap kak Fadhil sambil tersenyum menjabat tanganku, kami mengobrol panjang lebar, bertanya akan kegemaran, bercanda, dan saling bertanya kesibukan masing-masing diluar Lidi Rimba. Aku sempat bertanya padanya tentang Rama. Seperti apa orangnya di komunitas ini, apakah termasuk orang yang aktif atau pasif, ia menjelaskan dengan tatapan mata yang amat serius. Aku bisa membacanya. Ia mengatakan bahwa otak dari terbentuknya komunitas ini berawal dari Rama. Rama? Kak Fadhil bilang kalau Rama sebenarnya anak yang jenius setara Einstein. Namun karena suatu insiden, dia jadi orang yang sangat lusuh di komunitas. Dia yang awalnya semangat membentuk komunitas ini menjadi menjadi anak yang memiliki setengah nyawa. Seperti zombie saja.
Aku kaget awalnya, namun kak Fadhil meyakinkan itu serius, dan bukan omong kosong belaka. Akan tetapi aku tahu betul reputasinya di sekolah seperti apa, itu pun hanya mengetahui dari mulut ke mulut. Aku belum menyaksikannya langsung karena memang berbeda jurusan. Aku dari IPA dan dia kelas Bahasa.
“Iyah, Rani. Kamu memang belum mengetahui Rama sepenuhnya, karena memang awalnya Rama tidak seperti sekarang. Kamu ingat waktu 2 minggu lalu kita ke Lawu? Dia yang mengajak dan bilang kalau ia punya ide brilliant untuk mengajak warga sekitar kaki gunung lawu untuk menjaga kelestarian alam, terus yang biasanya kita kalau naik gunung tuh cuma naik-naik doang, sekarang enggak. Kemarin kita pada bawa karung bekas, kan? Gue kira itu buat apaan, ternyata buat ambil sampah di gunung. Nggak Cuma itu. 3 hari yang lalu juga kita bersosialisasi tentang komunitas kita ke sekolah-sekolah SMA-Sederajat, hari ini juga gue sengaja kumpulin kalian buat silaturahmi dengan anggota baru, dan lo lihat sendiri banyak yang mendaftar untuk bergabung bersama komunitas kita.” Ucap kak Fadhil dengan serius, ia pun melanjutkan pembicaraan.
“Komunitas Lidi Rimba ini sudah terbentuk selama 4 tahun, otak dari nama Lidi Rimba itu sebenarnya juga dari Rama. Selama gue menjabat sebagai ketua, gue mengakui banyak sekali kekurangan. Tidak mau menampung aspirasi para anggota, struktur organisasinya juga berantakan, jobdesc tiap divisi juga nggak jelas. Rama juga bertingkah masa bodo seolah-olah mengikuti komunitas ini hanya ikut naik gunung, selepas itu sudah. Mau ada kemajuan atau tidak di sini, ya terserah. Mau komunitas ini bubar juga terserah. Tapi jujur, gue kaget setengah mati itu anak bisa-bisanya semalam telpon gue, kita mengobrol banyak selama 2 jam dan itu gue mau nangis sebetulnya. Selama ini dia orangnya pendiam, yang tadi barusan gue bilang sama lo. Dia masa bodo, apatis, dingin, entah kenapa waktu semalam dia punya semangat luar biasa untuk membuat komunitas ini dikenal banyak orang. Dia mau komunitas ini nggak hanya untuk naik gunung, trip, atau kegiatan pecinta alam juga, dia mau kita juga ada kegiatan sosial. Kurang ajar itu anak otaknya!! hahahha!!”
Aku hanya bisa diam dan mengangguk faham. Anak seperti Rama? Aku ingin kembali bertanya, apa insiden yang membuat Rama begitu berubah. Namun belum sempat kak Fadhil menjawab, Rama datang dengan 2 anggota baru lain. “Ehh, berdua aja. Lagi pada ngomongin gue? Nih, gue bawain personel baru kita. Mereka berdua dari Ciputat. Kuliah di UNPAM[3]” Aku tersenyum pada Rama dan kedua anggota baru itu. Rama nampaknya kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya. Kak fadhil mengejeknya dengan menyuruh Rama untuk keramas. Kak Fadhil juga yang mengatakan padaku salah satu rahasia Rama kalau ia jarang keramas, dan sebutan raram itu sebetulnya akronim dari Rama jarang keRamas, disingkat RaRam, menjadi panggilan untuk Rama agar lebih terkenal dengan rambutnya yang berponi depan belah dua serta rambutnya yang jarang ia keramas. Aku terkikik geli mendengar penjelasan dari kak Fadhil saat perkumpulan komunitas Lidi Rimba saat itu.
“Ehh kalian semua pada nggak lapar? Makan, yuk?“ Ucap kak Fadhil sambil menarik tanganku. Aku dan kak Fadhil berjalan menuju tempat barbeque yang dikerumuni oleh para anggota lain, disusul Rama dan yang lainnya. Malam itu kami para anggota komunitas menikmati malam yang amat sangat menyenangkan. Baru kali ini aku merasakan atmosfer kebersamaan. Seolah-olah beban di pundak ini hilang begitu saja. Rama, ia juga menghibur para anggota dengan stand up comedy-nya. Kami tertawa riang dengan rama yang open mic malam itu.
Waktu juga telah menunjukkan pukul 10.00 malam, acara telah selesai. Tak lupa pula kami beres-beres dan membersihkan sekitar area Taman Suropati. Satu persatu dari kami pun pulang ke rumah masing-masing. Nampak tinggal 3 orang yang ada di Taman. Aku, Kak Fadhil, dan Rama.
—
Bila cinta tak mampu menyatukan Bila memang tak mungkin bersama Izinkan aku tetap menyayangimu…
– Izinkan Aku Menyayangimu, Iwan Fals –
Makin malam, hujan makin deras. Aku meraih Teddy Bear pemberiannya, terekam suaranya yang sendu. Lagu yang ia lantunkan khusus untukku, dan ucapan selamat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya, terucap kalimat “Aku membencimu” tapi tak bisa aku lakukan. Bodoh!! aku menjadi orang yang sangat bodoh!! malam ini aku benar-benar menjadi orang paling bodoh. Aku terus menangisi orang yang benar-benar pergi meninggalkanku.
—
Puncak, Bogor 10.00 AM
“Nanti mau ke mana lagi, nih habis ini?” Ucapku sambil terus memotret panorama di area kebun teh. Tapi Rama terus saja menggulung-gulung dan mie cup yang masih dalam keadaan panas. “Ehh, ditanya malah tiup-tiup mie mulu!!” Aku melemparnya dengan ranting kecil pohon teh, ia sontak melototiku dan lanjut makan. “Ihh orang nanya, bener-bener deh nih orang!!” Dia tidak menghiraukanku. Ia terus saja makan, aku mendatanginya dan menarik kumis tipisnya. Ia merintih kesakitan, ahhaah. Aku suka melihat ekspresinya saat kumis tipisnya ditarik. “Ehh jangan narik kumis juga, ran. Asset berharga, nih.” “Hah? Asset?” “Iyah asset, kalau cowok biasanya pakai susuk atau enggak di pelet biar cewek yang dia suka bisa cinta mati, aku sih enggak. Cukup pakai kumis aja, ini kan pemanis hehehe.” Aku tertawa ditemani Rama di hari sabtu yang cerah itu. Kami berencana untuk hunting yang kemudian hasil jepretanku akan Rama posting ke blog website Lidi Rimba. Lewat website inilah banyak yang membuat komunitas kami banyak dikenal oleh para netizen. Aku baru menyadari bahwa Rama telah mengajariku banyak hal. Banyak orang salah menilai tentang Rama bahwa ia orang yang aneh. Mereka semua salah besar, mereka belum mengenal siapa sebenarnya Rama. Sekali lagi, aku pun baru kali ini merasakan bahagianya memiliki teman. Aku memang kuper selama ini. Maaf Rama, aku telah salah menilaimu.
“Rama..” “Hmm, apa?” “Aku mau nanya, deh.” “Mau nanya? Aku mau jawab, ran. Hehee” “Ihh serius.” “Serius? Aku duarius, tigarius deh. Ehh jangan, limarius aja. Ehh jangan.. se..” “Eitssss… Udah. Rama!!” Ia tertawa lepas. Aku senang melihatnya, meskipun terkadang ia sedikit menyebalkan. “Rani mau nanya.” “Iyah nanya apaan, ihh dari tadi ngomongnya mau nanya mulu tapi nggak nanya-nanya. Lama!!” Aku cemberut, memalingkan wajah dan beranjak dari tempat duduk. “Ngambek, marah, sebel, ngamuk? Mau pulang? Pulang sana!! Nggak aku antar pulang.” Aku diam saja, dan akhirnya ia yang luluh sendiri. Hahahaha.. dasar Rama. “Iyah, iyah nanya apaan Ranii?” “Aku mau nanya, kamu kan di sekolah reputasinya dipandang jelek sama orang. Kamu risih nggak sih?” “Risih ya risih sebenarnya. Lagian mereka tuh sok tahu. Nggak tahu seorang Ramadhan Akbar itu seperti apa. Kecuali Maharani Kemala yang kata IQ nya 129 tuh. Dia tahu siapa Ramadhan Akbar. Asik kan orangnya? Yaa rada nyebelin sih dikit. Tapi ya namanya pemikiran orang mau dikata apalagi? Karena setiap orang berbeda pandangan pikirannya. Ya nggak usah terlalu di pikirkan. Biarin aja mereka mau bilang apa, yang penting aku nggak ganggu kehidupan mereka.” Aku terkekeh mendengar celotehnya. “Hahaha, bisa aja. Ehh tapi serius, loh. Ini pertanyaan yang wajib kamu jawab. Kamu pernah nggak jatuh cinta?” Ia berhenti mengunyah mie cup, memandang lurus kedepan kebun teh nan hijau, dan menggeleng kepalanya. “Bohong kamu, ram?” “Jatuh cinta enggak, tapi terlatih patah hati pernah. Sempat ingin memiliki tanpa sempat termiliki. Yaa hadapi aja getirnya, mau apalagi?” “Maksudnya? Tunggu dulu, kamu bilang ‘Sempat ingin memiliki tanpa sempat termiliki’. Berarti sebelumnya juga ada perasaan cinta sama dengan seseorang?” “Yaa begitulah. Tapi, yang pasti aku harus move on dari dia.” “Harus, dong. Life must goes on, Rama.” “Iyah, tapi aku juga mau nanya sesuatu sama kamu.” “Apa?” “Waktu grand opening komunitas di Taman Suropati kamu sama kak Fadhil kan ngobrol, ngobrol apaan kalau boleh tahu?” “Ohh, itu. Yaa kita sharing aja. Tanya-tanya hobi, yaa gitu deh. Dia juga tanya-tanya tentang aku kesibukannya apa aja diluar Lidi Rimba, begitupun sebaliknya.” “Terus? Nanya apa lagi? “Aku juga nanya juga sih sesuatu hal sama dia.” “Nanya apaan?” Aku meliriknya sambil mencubit pelan pipinya. “Kepo! Ehh tapi aku juga mau tanya 1 hal lagi.” Rama tiba-tiba menoleh, memandangku sinis. “Hidup kamu tuh kebanyakan pertanyaan tahu nggak?” Aku mencubit pipinya kuat-kuat hingga ia meringis kesakitan. “Aaaammpun, ammpun… galak amat?!” “Lagian orang nanya serius!!” “Iyah nanya apaan?” “Kenapa nama komunitas pecinta alamnya Lidi Rimba?” “Jawab sekarang, nih? Ya udah, di jawab nih. Kita hidup di alam, ada yang menciptakan. Kalau kita rawat dengan baik yaa alam nggak akan nyakitin kita, begitupun dengan pencipta-Nya. Sebaliknya, kalau kita nggak rawat, nggak ramah, ya otomatis alam juga akan menunjukkan sikap tidak hormatnya. Maha Pencipta juga akan murka. Ibaratnya tuh kamu harus berterimakasih dan banyak bersyukur. Karena dengan itu semua kita bisa hidup. Lidi Rimba. Pasti tahu dong lidi itu seperti apa bentuknya, teksturnya? Maunya tuh komunitas kita seperti lidi. Kuat jika bersama, kita yang memiliki satu hobi cinta dengan alam harus bersatu menjaga alam kita. Kalau Cuma 1 orang yang merawat alam, pasti akan rapuh. Kalau bersama-sama, pasti kuat nggak akan patah. Coba aja kamu ambil satu batang lidi, trus bengkokin. Pasti patah, trus ambil sapu lidi yang jumlah lidinya tuh lebih dari satu. Jumlahnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan, terus patahin. Bisa?” Aku menggeleng dan terus menghayati setiap ucapannya. “Nggak akan bisa. Karena bersatu. Kita kuat kalau bersatu. Jadikan komunitas ini nggak hanya ajang kumpul-kumpul orang hobi naik gunung. Anggaplah komunitas ini keluarga kita juga. Dimana kita sering silaturahmi antar anggota, sharing tentang pengalaman mereka mengunjungi berbagai tempat wisata alam di seluruh Indonesia. Itulah alasan kenapa aku beri nama komunitas ini Lidi Rimba. Kumpulan orang yang kuat bersatu padu menjaga dan melestarikan alam sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya. Jadi ada sentuhan rohani juga di komunitas ini. Selalu bersyukur, kompak, itu kuncinya.”
Aku hanya membisu mendengar ucapannya. Entah kenapa terlintas di pikiranku kalau Rama adalah orang yang memiliki tekad luar biasa. Siswa di sekolah dan para guru memandang sebelah mata akan sosok Rama. Ingin rasanya aku maju ke podium saat upacara bendera, berteriak bahwa yang mereka lakukan terhadap Rama saat ini adalah salah. Rama tidak gila, ia orang jenius. Seharusnya mereka mengenali terlebih dahulu siapa Rama. Setidaknya mengobrol sedikit tentang keseharian Rama di luar sekolah.
“Oh iyah, kamu nggak nanya soal pasangan ke kak Fadhil?” Kami saling berpandangan dan saling melempar senyum. Langit cerah kini mulai berubah menjadi awan mendung. Gemuruh petir mulai terdengar, untung kami berdua memakai pakaian tebal hari itu karena memang sebelum berangkat kami membaca info cuaca Bogor hari ini.
“Ciee yang hujan-hujanan berduaan, pas di bawah naungan gazebo. Untung aku ngasih tahu kamu buat pakai baju tebal.” Ucap Rama sambil mencubit pelan pipiku. Aku hanya tersenyum padanya, ia juga tersenyum padaku. “Ran..” “Hmmm?” Cup… Ia mengecup keningku! “Rama…?”
Cerpen Karangan: Fina Septiani Blog / Facebook: finaseptiani50.blogspot.co.id / Fina Septiani
Nama lengkap : Fina Septiani Nama Pena : Helena Vector Alamat : Jl. Gunung Karang No. 24 Pandegang Banten Status : Mahasiswi, Universitas Esa Unggul, Jakarta Hobi : Menggambar, menulis, fotografi, membaca buku, travelling.