13 November 2015, Mt. Cikuray, 2821 MDPL 13.00 PM
Aku dan kawan-kawan dari komunitas Lidi Rimba mendaki puncak Cikuray. 2821 MDPL aku tempuh dengan kawan-kawan komunitas Lidi Rimba. Diperjalanan aku ditemani Kak Fadhil. Sepanjang perjalanan menuju summit kami bercanda. Anggota komunitas lain yang mengikuti dari belakang mengejek kami berdua. “Cieee kapten lagi pe-de-ka-te..” Aku dan kak Fadhil hanya tersenyum.
“Kita kayak yang pacaran yah, Ran?” “Hahaha, enggak lah kak. Biasa saja. Cuma ledekan doang.” Ia hanya tersenyum dan terus berjalan. Lama kami menempuh perjalanan. Aku tak melihat Rama, ke mana si poni belah dua itu? Ahhh. Aku tak mempedulikannya. Tapi aku masih terus kepikiran atas perlakuannya padaku saat di puncak. Ia mengecup keningku, aku mengelus-elus perlahan keningku.
“Kepala kamu kenapa, Ran? Kamu pusing?” “Ahh, eng… enggak kok, enggak.” “Serius? Kita break dulu. Guys, break!!” Ucap kak Fadhil pada anggota lain. Ia bertanya kepada anggota apakah masih ada yang memiliki persediaan air, dan salah satu anggota memberikan sebotol air mineral pada kak fadhil, menyuruhku untuk minum. “Kamu dehidrasi, wajah kamu pucat.” Aku terkejut dengan ucapan kak Fadhil. Pucat? Padahal aku merasa sehat-sehat saja. Tidak pusing, tidak juga merasa kelelahan. Ia memerintahkan untuk istirahat sejenak, setelah itu melanjutkan perjalanan.
2 jam kita menempuh perjalanan dan akhirnya sampai di puncak. Seluruh anggota sangat senang karena akhirnya sampai juga di puncak Cikuray. Kak Fadhil selaku ketua komunitas sedikit memberi sambutan kepada anggota atas keselamatan dan kelancaran telah sampai di puncak gunung Cikuray. Aku dan kawan-kawan melakukan sesi foto bersama, kami semua sangat senang bisa bersama mendaki, termasuk para pendaki pemula. Sorenya sekitar pukul 16.30 aku dan kawan-kawan turun dari puncak Cikuray dan beristirahat di pondok dekat pos pertama pendakian.
Kak Fadhil datang dan duduk di sebelahku. Kami lagi-lagi mengobrol, kak Fadhil ibarat ensiklopedia berjalan buatku, ia seperti tak ada habisnya memiliki topik pembahasan. Pasti ada saja yang ia bahas bersamaku, entah itu hobi, tempat wisata, film, teknik-teknik mengambil gambar untuk fotografi yang benar, ilmuwan, huffft.. mahasiswa jurusan Teknik Elektro di salah satu Universitas di Jakarta ini ternyata orang yang haus akan pengetahuan.
“Saya memang bukan mahasiswa yang berprestasi di bidang akademik. Mungkin karena saya sering dan suka naik gunung, ayah dan ibu saya saja kadang geleng-geleng kepala melihat IP saya yang tiap semester berbentuk gunung jika ditampilkan dalam bentuk kurva.” Aku tertawa mendengar ucapan kak Fadhil yang menceritakan pengalaman tentang kuliahnya di tiap semester. Pengalaman dimana ia ditawarkan untuk menjabat sebagai ketua unit kegiatan mahasiswa (UKM) bidang pecinta alam namun ia tolak karena kecintaannya pada Lidi Rimba, dan nilai tiap mata kuliahnya yang setiap pergantian semester selalu naik turun, terkadang juga berbentuk datar saja. “Tapi saya akan kasih tahu kamu beberapa hal supaya kamu juga bisa berpikir. Bahwa setiap orang bisa mengukir prestasi di bidangnya masing-masing. Deddy Corbuzier saja pernah mengatakan bahwa ‘Always A+ is useless’. Jadilah nilai A+ di bidang yang bisa kamu lakukan dan kamu fokus dibidang itu. Kamu juga harus mengambil risikonya, karena ini bukan dunia fantasi, dongeng, fable, atau cerita teenlit yang pernah saya baca. Kamu harus berani mengambil keputusan dan terus jalan kedepan. Kamu masih berusia 17 tahun, sedangkan saya 24 tahun. Usia kita memang berbeda, namun pada setiap tindakan yang kita ambil disitu akan terlihat bukti nyata bahwa kamu memang benar-benar serius atau main-main di suatu bidang yang sedang kamu jalankan.” Aku mengangguk faham akan ucapan kak Fadhil. Aku juga berterimakasih atas petuah dan nasihat yang ia berikan padaku dan juga anggota lain. Walaupun ia pernah bilang masih banyak amanat di komunitas ini yang belum terlaksana selama ia menjabat, ia masih terus berusaha untuk menjalankan amanat tersebut. Satu pertanyaanku, di mana Rama?
—
Seperti bintang ia bersinar Temani hariku yang kelam Seperti bintang ia menjelma Mengusir senjaku yang sepi Aku yang dulu padam, telah kau temukan
– Utopia, Seperti Bintang –
“Hallo, Rani.. kamu ke mana habis pulang sekolah?” “Hmmmm, nggak ke mana-mana sih. Palingan juga langsung pulang. Banyak PR nih, besok juga ulangan.” “Ya udah, besok malam aku ke rumah kamu yah?” “Hahh? Ngapain?” “Pokoknya aku jemput kamu jam 7 malam, yahh. Penting!!” Tuut… tuuutt.. tuuutt..
Kak Fadhil yang barusan menelpon, aku lanjut melahap soto ayam yang nampak di depanku. “Siapa, ran?” “Itu kak Fadhil. Dia bilang mau ke rumah besok malam.” “Hmmmm..” “Ehh, dia nelpon aku ngapain yah? Terus besok juga mau ke rumah katanya. Hehhee.” “Girang banget? hahaha, iyah deh. Salamin ya buat dia.” “Tapi serius, dia mau ngapain ke rumah aku? Rama, jawab dong. Kamu kan deket sama dia?”
Rama tidak merespon ucapanku, ia malah terus makan. Aku yang jadi penasaran akan kak Fadhil besok malam untuk datang ke rumahku. Bell masuk kelas berbunyi, selama jam pelajaran aku masih fokus akan materi tentang Koloid yang dijelaskan Ibu Fatma, sang guru kimia. PR, PR, dan PR. Tiada kata “merdeka dari PR” bagi Ibu Fatma.
Sepulang sekolah, seperti biasa Rama mengantarku pulang. Kali ini anehnya ia melawan arah pulang ke rumahku. Ia malah mengarahkan motornya untuk pergi ke bioskop. “Kita mau ngapain?” “Nonton, ada film bagus banget. Aku tadi siang baru lihat trailernya, dan jangan kepo soal synopsis ceritanya.” “Siapa yang kepo? Rama, 2 hari yang lalu baru aja nonton, masa nonton lagi? Boros banget? Aku nggak mau masuk, kita pulang saja. Lagian aku ada PR” Ia tak menghiraukanku, malah terus berjalan. Aku ditinggalnya di lapangan parkir.
“Kok nggak jalan? Ayo.. 15 menit lagi film dimulai. Kita belum beli tiket, keburu habis nanti.” Aku tidak menghiraukannya, aku hanya diam mematung, namun ia datang dan menarikku secara paksa. Aku sempat menepis tangannya saat ingin menggandengku, tapi ia berhasil menarik kembali tanganku dengan paksa dan kasar. Sontak aku menampar pipi kanannya, aku lakukan itu karena aku tidak suka dipaksa. Ia membanting helmnya yang digantung di kaca spion motor hingga retak, menstarter motornya dan pergi meninggalkanku.
Aku terkejut bukan kepalang. Orang-orang di sekitarku menatap kejadian di siang itu, para security juga yang bertugas berdatangan menghampiriku. Aku shock hebat, emosi dari seorang Rama tak terelakkan. Dadaku sesak, kaki ini rasanya berat untuk melangkah, keringat dingin mulai bercucuran keluar dari pori-pori kulitku, wajahku pucat pasi, tanpa sadar pula aku meneteskan air mata. Seorang ibu-ibu bersama kedua anak perempuan menghampiri dan mencoba menenangkanku saat itu. Ibu-ibu itu memberiku segelas air, aku masih terisak karena tangis. Aku menampar Rama…
—
“Kamu di mana? Sudah siap?” “Sudah. Aku di depan rumah, nih…” Aku mengintip dari balik tirai jendela kamar, menatapnya dan terus menatapnya. Aku meraih tas dan menyelempangnya. Dresscode malam ini aku kenakan jeans, mix and match yang aku padukan t-shirt dengan kemeja, serta Nike air max yang senada dengan warna jeans. Terkesan tomboy.
“Whoaaa cantik banget kamu malam ini, non. Mau ke mana kita?” “Lah, kok tanya aku? kan kakak yang mau ajak aku jalan?” “Hahaha, yuk naik. Ada salam special buat kamu.” Aku mengangkat alisku dan menyunggingkan senyum. Kami berjalan menembus angin malam yang menghembus sepanjang jalan.
Malam itu aku diajak ke satu taman kota. Sesampainya di sana, banyak sekumpulan anak-anak muda sepantaranku. “Yuk, turun.” Aku turun dari motor, sedangkan ia memarkir motornya sebentar. Aku melihat sekeliling, terlalu banyak orang di sini. Gerangan apa yang membuat kak Fadhil mengajakku ke mari? “Kita ngapain ke sini, kak?” “Sudah, ayo ikut.” Ucapnya sambil menggandeng tanganku. Aku tiba-tiba tersipu malu saat ia menggandeng tanganku. Kita makan malam sebentar di salah satu tempat makan kaki lima.
“Kamu suka seafood, nggak?” “Banget, kak,” “Suka kepiting?” “Hmmmm seafood yang aku hindari itu kepiting. Soalnya kalau aku makan itu jadi pusing. Hehehe.” Ia tertawa renyah mendengar penjelasanku yang menghindari menu kepiting. Akhirnya aku memesan udang saus padang dan seporsi nasi dengan minuman jeruk hangat. Begitupun dengan kak Fadhil yang menyamai menunya denganku. Setelah dinner, ia mengajakku ke mercusuar tua yang terdapat di taman kota tersebut, sambil mengeluarkan kamera SLR nya. Ternyata pemandangan malam minggu saat itu lebih indah bila dilihat dari atas mercusuar. Warna-warni lampu taman yang mendominasi air mancur di kolam ikan, cuaca malam yang bersahabat dihiasi taburan bintang-bintang diangkasa, serta cahaya bulan yang syahdu.
“Gimana, keren pemandangannya?” Aku menangguk takjub, baru kali ini aku diajaknya. Sempat terlintas dalam pikiranku apakah ia juga pernah mengajak anggota lainnya kemari? “Kakak pernah ajak anggota Lidi Rimba kemari?” “Belum, ehh foto dulu yuk.”
Ia pun mengambil beberapa gambar dari pemandangan sekitar mercusuar, ia juga mengajakku foto bersamanya. Hasil fotonya sangat bagus, aku menyukai hasil jepretannya. Selepas sesi foto-foto, ia mengobrol denganku sembari minum cappuccino.
“Kalau ngobrolnya enak, minum cappuccino nya juga harus pelan-pelan. Biar kalau waktu obrolan habis, cappuccino nya juga habis. Terus, tiup dulu soalnya panas.” Aku tersenyum mendengar ucapannya, terdengar cupu namun berniat untuk menghibur. Mungkin. “Kamu lihat bintang di atas deh, ran.” “Kenapa sudah terlihat kok. Ada apa memangnya kak?” “Percaya nggak sama harapan bintang jatuh?” Aku memutar bola mata sambil terkekeh kecil. Percaya dengan harapan yang akan jadi kenyataan kalau menaruh harapan pada bintang saat jatuh. Aku tidak percaya.
“Kamu pasti punya harapan, dong?” “Punya, banyak malah.” “Hmmm, coba deh kamu bayangkan. Bayangkan salah satu bintang yang menggantung disana itu jatuh, dan kita cepat-cepat untuk membuat harapan.” “Oke. Caranya bagaimana, kak?” “Pertama, genggam tangan kakak.” Awalnya aku tidak mau mengikuti instruksinya, ini pasti modus atau trik agar dia mengerjaiku. “Kenapa diam? ayolah, kakak nggak akan apa-apain kamu. Percaya sama kakak.”
Akhirnya aku mengangguk dan menggenggam tangannya. Instruksi selanjutnya ia menyuruh untuk memejamkan mataku dan segera membuat harapan. Aku membuat harapan agar aku bisa bahagia dengan seseorang untuk selamanya, bisa membawaku ke tempat terindah. Namun di sisi lain, sepertinya ada seseorang yang mendekatiku, makin mendekat ke arah telingaku. Sepertinya ia mencoba untuk berbisik, namun kalimatnya kurang jelas. “I love you”.
—
Kamis pagi, Jakarta di guyur hujan deras dengan anginnya yang berhembus kencang. Aku yang sedari tadi sudah siap, kini berpikir dua kali untuk berangkat ke sekolah karena cuaca yang amat tidak memungkinkan untukku bisa berangkat. Ponselku yang ternyata dari subuh terus menjerit-jerit karena ada panggilan masuk, kulihat layar ponsel ternyata kak Fadhil menelponku. Belum sempat aku ingin mengirim pesan padanya, ia kembali meneleponku.
“Hallo, kak?” “Hallo, ran. Kamu sekolah? hujan deras loh. Aku antar, yah.” “Nggak tahu nih, hujannya deras.” “Ya sudah, tunggu yah.” Ia menutup telponnya.
Kurang dari 10 detik, ia mengirim pesan BBM padaku. “Aku antar kamu ke sekolah. Prepare dulu kamunya, tenang aja yah J.” Ia berniat untuk mengantarku, sambil menunggu aku memasang handsfree ke telinga, mendengarkan satu lagu dari Endah N’ Rhesa, Wish You Were Here. I know its hard for you to stay And so I let you go, but you promise to never let me down And say “I love you so..”
Sempat terlintas di pikiranku akan Rama. Apakah ia masih kecewa denganku? Aku ingin mencoba untuk menghubunginya namun aku masih tidak berani, entah kenapa. Mungkin sikap ego yang masih mengganjal perasaanku saat ini. Semua ini salahku atau salahnya? Ia yang memaksaku untuk menonton tapi aku tidak mau, sontak saja aku waktu itu tanganku refleks menamparnya. Nampaknya ini salah keduanya, atau bisa jadi.. ahhh sudahlah. Aku tak mau terlalu memikirkannya. Tak ada lagi candaan tengah malam suntuk saat masih berhubungan dengannya, tak ada lagi orang yang bisa aku cubit sampai pipinya kesakitan.
Tiiiinnnn… Tiiiinn… Suara klakson mobil yang berhenti di depan rumah dan seseorang juga yang keluar dari pintu mobil sambil tergesa-gesa membuka payung. Itu kak Fadhil? “Ayo masuk cepat, nanti kamu telat.” “Iyah, tunggu sebentar aku kunci pintu rumah dulu.”
Sesegera mungkin aku menghampirinya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, kaca mobil juga mulai berembun karena suhu didalam yang dingin ditambah di luar sana hujan deras.
“Kamu kedinginan? Pakai jaket aku aja, ambil tuh di jok belakang. Kebetulan aku bawa jaket dua.” Aku meraih jaket yang ada di jok belakang. Hmmm, jaket ini membuat suhu badanku terasa normal kembali.
“Rani, thanks yahh.” Aku menatapnya dan tersenyum. Ia mengelus kepalaku. Gerbang sekolah sudah ditutup. Sial, aku sedari tadi tidak melihat jarum jam menunjuk angka berapa. “Gerbangnya ditutup tuh, gimana? Masih tetap mau masuk?” Aku cemberut, ia hanya mencubit pipiku sambil tersenyum. “Biasa aja kali, neng. Ya udah sekarang mau kemana?” “Nggak tahu. Bete kalau gini.” “Bete kenapa?” Aku menggeleng kepala dan menunduk. Sesekali aku melihat gerbang sekolah, kulihat juga ada seseorang yang baru datang. Badannya basah kuyup, namun ia tidak mempedulikannya. Ia panjat gerbang sekolah, sekilas aku lihat wajahnya, Rama. Segera aku turun dari mobil dan menyusulnya. Aku berteriak memanggil-manggil namanya, namun yang keluar malah satpam sekolah. Aku dilarang masuk, malah diusirnya. Namun si Rama itu, ahh sial! Kak Fadhil juga ikut turun dari mobil, menarik lenganku dan masuk ke dalam mobil.
“Kamu tadi ngapain? Tuh, kamu kebasahan. Sekarang aku antar kamu pulang. Kamu bisa sakit kalau kayak gini.” Aku tidak berani berbicara. Tadi aku melihatnya, sangat jelas. Rama, aku ingin berbicara denganmu. “Hey, kita pulang saja. Nggak bisa aku lihat kamu basah-basahan kayak gini.” Aku mengangguk patuh, memang dingin. Aku menggigil, tidak sampai 20 menit kami sudah tepat berada di depan rumah. Dibawanya aku kedalam. Mama menyambutku dan kak Fadhil. Aku belum bisa diajak berbicara, akhirnya kak Fadhil pulang. Tak lupa pula mama mengucapkan terimakasih padanya karena sudah mengantarku. Aku masuk ke dalam kamar, mengganti pakaian, kemudian mama datang ke kamar membawa semangkuk sup dan teh manis hangat untukku. Rama, masihkah kau marah padaku?
Cerpen Karangan: Fina Septiani Blog / Facebook: finaseptiani50.blogspot.co.id / Fina Septiani
Nama lengkap : Fina Septiani Nama Pena : Helena Vector Alamat : Jl. Gunung Karang No. 24 Pandegang Banten Status : Mahasiswi, Universitas Esa Unggul, Jakarta Hobi : Menggambar, menulis, fotografi, membaca buku, travelling.